Oleh: dr. Ifa Mufida
“BEBASKAN Pikiranmu bahwa perempuan adalah sebuah keterbatasan, langkahkan kakimu jauh ke depan bersama kebebasan, menjadi Kartini-kartini Baru”.. demikian lah pendapat salah satu ibu Menteri Indonesia di hari Kartini 21 April kemarin.
Kita bisa melihat dari pendapat beliau bahwa Kartini dianggap adalah wanita yang bebas, wanita penggagas Kebebasan. Apa maksudnya?
Kita urai dari makna kata bebas. Bebas berarti tidak terikat dengan aturan, bersikap sesuka hati, tidak mau diatur dengan seperangkat tertentu. Lalu Aturan apa yang mengikat?
Selama ini wanita dianggap rendah karena adanya aturan bahwa dia harus dipimpin oleh seorang laki-laki di dalam rumah tangganya, bahkan dia harus mengikuti laki-laki sebagai pemimpin di dalam rumah tangga nya. Ada aturan harus izin ketika keluar rumah, ada aturan bahwa peran utama dia adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang menjadikan dia harus berperan besar di area domestiknya.
Wanita terikat juga untuk menutup aurat ketika keluar dari rumahnya. Hal ini lah beberapa yang menjadikan anggap bahwa perempuan bukanlah wanita yang Bebas, dianggap wanita penuh keterbatasan karena harus terikat dengan seperangkat aturan.
Berbeda dengan seorang laki-laki yang memiliki peran utama sebagai qowwam, sebagai pemimpin di dalam rumah tangga. Laki-laki juga memiliki peran utama di luar rumah mereka yakni memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka, yakni sebagai tulang punggung keluarga, sebagai sang pencari nafkah. Belum lagi dengan adanya kebolehan poligami, hal ini dianggap semakin mendeskritkan perempuan.
Seperangkat aturan inilah yang dianggap menjadikan wanita serba terbatas, dan tidak bisa melangkah kan kakinya jauh ke depan bersama laki-laki. Ironisnya ini dianggap sebagai gagasan yang dibawa Kartini. Pertanyaannya apakah benar Kartini yang membawa ide-ide kebebasan tersebut?
Pemaknaan perjuangan Kartini oleh kaum wanita sekarang ini nampaknya telah melampaui batas. Petikan surat Kartini berikut ini menegaskan kesalahan penterjemahan kaum wanita Indonesia.
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama ” (Surat Kartini kepada Prof. Anton Dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.
Atas nama perjuangan Kartini, para wanita justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide barat yang justru ditentang sang pahlawan.
Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.
Kartini bertekad untuk menjadi seorang muslimah yang baik dengan memenuhi seruan Surat Al Baqarah 257: Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya telah mendoronganya untuk merubah diri dari pemikiran yang salah kepada ajaran Allah. Tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa tujuan Kartini adalah mengajak setiap wanita untuk menjadi muslimah yang memegang teguh ajaran agamanya.
“.. tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu2nya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna ? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).
Maka ketika kita menilik sosok Ibunda Kartini maka sesungguhnya Ibunda Kartini adalah sosok wanita yang pemikir, mencari kebenaran dan taat dengan syariat, meskipun dia belum secara sempurna belajar syariat Islam. Ada beberapa fakta yang bisa kita pelajari dari perjalan perjuangan hidup R.A Kartini.
Antara lain sebagai berikut;
Pertama. Kartini melihat bahwa kehidupan adat Jawa selama ini sangat mengekang perempuan karena tidak memberikan haknya secara utuh terutama tentang pendidikan. Yang perlu digaris bawahi adalah yang mengekang bukanlah syariat Islam, tetapi adat Jawa dimana beliau tinggal.
Kedua. R.A Kartini berusaha mencari hakikat kebenaran tentang kehidupan sehingga mendorong beliau untuk belajar tentang syariat Islam. Yang akhirnya mengantar beliau belajar dengan KH.Mohammad Sholeh bin Umar, dan ini akhirnya merubah pemikiran beliau terhadap kemajuan Barat.
Ketiga. R.A Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya, dan beliau sangat taat terhadap ajaran Islam. Yang awalnya beliau menenteng poligami, tetapi setelah mengenal ajaran Islam, beliau mau menerima dengan lapang.
Keempat. Beliau pun menyadari bahwa Islam nya yang telah menunjukkan jalan dari kegelapan kebodohan menuju cahaya yang terang benderang. Salah satunya berkenaan dengan kedudukan wanita bukanlah untuk menyaingi Laki-laki tetapi untuk menjadikan mereka perempuan yang berpendidikan sehingga mampu menjadi ibu dan pendidik utama anak-anak mereka.
Hanya saja beliau wafat, saat usia beliau masih sangat muda. Terlebih belum tuntas mempelajari Islam. Maka pantaslah banyak slogan “Andai Kartini khatam mengaji” pasti lah beliau akan berusaha menerapkan syariat Islam secara sempurna.
Dengan demikian, menjadi Kartini-kartini baru bukanlah membebaskan diri dari seperangkat aturan yang mengikat perempuan, dan menganggap itu sebagai keterbatasan. Akan tetapi sejatinya justru kaum perempuan meneladani R.A Kartini untuk bersemangat mempelajari Al-Qur’an, dan mendalami Islam. Kemudian Berusaha dengan semaksimal mungkin melaksanakan aturan Allah, karena hanya Aturan Allah lah yang sesuai dengan kapasitas kita sebagian manusia. Dan aturan Allah lah yang telah mengantarkan kita kepada jalan kebenaran.
Dan yang terakhir, Muslimah harus menjadi agen perubahan di tengah-tengah Masyarakat. Perubahan apa? Bukan perubahan untuk menjadi sejajar dengan laki-laki tapi menjadi agen pelopor perubahan untuk umat menjadi peradaban yang tinggi, menemukan setiap akar permasalahan yang dihadapi mayarakat dan memberikan solusi yang tepat dan solutif.*
Penulis adalah praktisi kesehatan