Oleh: Abdul Chair Ramadhan
UMAT Islam – melalui tokoh-tokoh pemersatunya – sedang mengalami berbagai tekanan sistemik dan terstruktur sedemikian rupa. Tidak dapat dipungkiri, dan semakin jelas arah tujuannya, yakni tidak lain, tidak bukan dalam rangka meneguhkan kepentingan-kepentingan tertentu yang sulit untuk dianalis secara nalar. Jelasnya, telah terjadi kriminalisasi dan ini merupakan suatu keniscayaan.
Kadang, kepentingan politik lebih determinan dari kepentingan hukum. Ketika, kepentingan politik bertentangan dengan kepentingan hukum, maka demi kepentingan politik, adalah suatu yang ‘halal’ kepentingan hukum terpaksa harus ‘dikorbankan’.
Iklim dan suhu politik memang cenderung meninggi, tidak dapat dilepaskan dari kepentingan Pilkada dan proses persidangan Ahok sebagai salah satu calon yang mendapat sokongan kuat dari “The Ruling Class“.
Menjadi masuk akal, ketika Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF)-MUI sebagai inisiator Aksi Bela Islam, dianggap oleh sejumlah pihak sebagai lawan politik yang mengganggu kepentingan politik menjelang Pilkada harus berurusan dengan pihak Kepolisian. Sejumlah peristiwa biasa telah menjadi tindak pidana dan oleh karenanya harus dipertanggungjawabkan secara pidana pula.
‘Kriminalisasi Ulama’ harus Bangkitkan Puncak Kesadaran Umat
Munarman, SH, juga mengalami hal yang sama “tersangka” atas sangkaan ujaran permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap golongan penduduk tertentu.
Terbaru, adalah adanya klaim dari pihak Bareskrim bahwa telah diduga adanya tindak pidana pencucian uang (money laundering) dengan tindak pidana asal (predicate crime) berupa pengalihan atau penggelapan uang umat. KH. Bachtiar Nasir. Lc., dan lain-lainnya terancam pelabelan yang sama pula “tersangka”.
Saya tidak habis berfikir, sudah demikian menguatkah api fitnah terjadi di negeri ini?
Mengapa dan untuk siapa sebenarnya bekerjanya hukum ini diproyeksikan? Sepertinya, kebangkitan Islam selalu menjadi momok dan oleh karenanya memang harus dikerdilkan, sebab Islam sebagai “din” dianggap sebagai ideologi tertutup yang tidak rasionalis, bertentangan dengan nasionalisme.
Bahkan adanya anggapan bahwa kebangkitan Islam akan menggusur 4 (empat) pilar kebangsaan.
Perlu dicermati dan dihayati, Islam sangat identik dengan kepentingan bangsa dan negara, Islam sejalan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari awal perjuangan kemerdekaan hingga saat ini, umat Islam – melalui tokoh-tokohnya – berupaya berkontribusi nyata untuk membangun kemaslahatan bangsa dan negara tanpa ada niatan sama sekali untuk merubah bentuk negara dan mengganti ideologi Pancasila.
Justru Islam sangat menghargai kebhinekaan dan sekaligus menjaga keharmonisannya, sesuai dengan konsepsi “Rahmatan lil Alamin,” termasuk di dalamnya “justice for all”.
Umat Islam tidak akan pernah berkhianat, kaum Muslim hanya ingin meninggikan agama Allah, dan sudah tentu termasuk didalamnya membangun ukhuwah kebangsaan guna tercapainya cita-cita dan tujuan the founding fathers, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pada Aksi 212, umat Islam telah ‘mengetuk pintu langit’ (demikian istikan KH Bachtiar Nasir) untuk kemaslahatan bangsa dan negara, kami percaya pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala mengalahkan berkumpulnya semua manusia dan jin dalam memberikan perlindungan, hanya kepada-Nya kami panjatkan pertolongan.
Saya pribadi, sebagai anak bangsa menangis dengan jeritan hati yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sebenarnya apa yang akan terjadi? *
Doktor bidang hukum, Anggota Komisi Hukum MUI Pusat