Draf Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun oleh Tim Pengarusutamaan Gender (PUG) bentukan Departemen Agama telah memicu kontroversi besar di kalangan umat Islam Indonesia. Bagi banyak kaum Muslim, belum terbayangkan, dari perut Departemen Agama, akan keluar satu rancangan keputusan penting yang membongkar sejumlah aspek hukum Islam yang ‘mapan’ dan telah disepakati keabsahannya sejak zaman Nabi Muhammad saw.
Padahal, jika kita cermati, munculnya draft KHI versi baru ini adalah konsekuensi logis dari meruyaknya paham liberalisme dan pluralisme agama di Indonesia, yang sudah ditanamkan dan disebarkan selama puluhan tahun. Banyak kalangan Muslim yang masih tidak menyadari, bahwa mereka sedang menghadapi zaman baru, tantangan baru, dalam bidang keilmuan khususnya, yang sangat berbeda dengan beberapa puluh tahun lalu.
Sejumlah pasal dalam draft KHI kali ini memang ganjil. Poligami dilarang. Perkawinan antar-agama disahkan. Kawin kontrak diizinkan. Batas minimal perkawinan adalah 19 tahun. Laki-laki – sebagaimana wanita — juga memiliki iddah. Rumusan draft KHI itu didasarkan atas empat pendekatan utama, yakni gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Jadi, menyimak dasar pijakan penyusunan draft KHI, sebenarnya pola pikir yang mendasari tim penyusunnya bukanlah pola pikir yang berkembang dalam tradisi Islam. Epistemologi atau metodologi penafsiran al-Quran dan Sunnah yang digunakan bukanlah metodologi yang digunakan kaum Muslim selama ini. Mereka lebih suka meminjam metodologi hermeneutis. Mereka lebih percaya kepada Paul Ricour, Ferdinand de Saussure, Emilio Betti, Michel Foucault, Antonio Gramsci, John Hick, Wilfred Cantwell Smith, dan teman-temannya, ketimbang percaya kepada al-Imam al-Syafii atau al-Ghazali. Seolah-olah, bagi mereka, para orientalis dan filosof Barat itu adalah penunjuk jalan ke sorga.
Hingga kini, para pengguna hermeneutika (filsafat) belum menunjukkan satu metodologi dan karya yang utuh dan menyeluruh. Fazlur Rahman, misalnya, dengan menggunakan metode Betti, baru mendekonstruksi sejumlah aspek hukum Islam. Nasr Hamid Abu Zayd, dengan meminjam metode de Saussure dan lain-lain, baru menyentuh sejumlah aspek hukum Islam, seperti haramnya poligami, persamaan hak waris laki-laki-wanita, dan justifikasi terhadap bunga perbankan modern. Mereka tidak mau atau tidak berani menyusun satu ‘Kitab Fiqih’ yang komprehensif, yang berisi misalnya, bagaimana dengan metode hermeneutis, mereka sampai pada kesimpulan hukum tentang salat lima waktu, zakat, haji, puasa Ramadhan, cara mengurus mayat, aqiqah, dan sebagainya. Mereka hanya mengambil metode Barat untuk mendekonstruksi sejumlah aspek hukum Islam yang sesuai dengan pola pikir atau ‘pesanan’ sponsor. Orang-orang ini masih bermimpi membuat ushul fiqih alternatif. Ada yang bermimpi membuat fiqih ‘Mazhab Yogya’. Ketika mereka tidak berdaya, yang dilakukan sementara adalah klaim bahwa yang namanya Hukum Islam itu tidak ada.
Semua hukum sama saja, baik hukum Islam atau hukum Barat, yang penting tujuannya untuk kemaslahatan manusia. Semuanya juga hasil pikiran manusia. Untuk menjebol dan membongkar tradisi keilmuan Islam yang agung, kelompok jenis ini biasanya melakukan penghujatan terlebih dahulu kepada para Imam besar.
Dalam buku Fiqih Lintas Agama, misalnya, dikatakan, “Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu fiqih yang dibuat imam Syafii. Kita lupa, Imam Syafii memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tetapi juga karena Syafiilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad.”
Syahdan, dalam sebuah forum, seorang menghujat para Imam mazhab, dengan mengatakan, bahwa merekalah yang menyebabkan Islam tidak berkembang dan berpecah belah.
Ketika itu, Prof. Naquib al-Attas, penulis buku Islam and Secularism, membuat sindiran: “Kotoran para imam itu – andaikan boleh – masih layak untuk bersuci kamu.”
Untuk bidang gender, mereka membuat klaim general, bahwa tradisi fiqih Islam didominasi laki-laki. Tafsir yang ada adalah bias gender. Bahkan, seorang tokohnya menyatakan, semua kitab suci bias gender. Fenomena ini sebenarnya mengikuti jejak kaum Kristen. Kaum feminis Kristen, sejak lama berusaha keras bagaimana agar gerakan mereka mendapatkan legitimasi dari Bible.
Mereka tidak lagi menulis God, tetapi juga Goddes. Sebab, gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan maskulin. Mereka ingin adanya Tuhan yang (bersifat) perempuan. Tuhan yang bukan “huwa” tetapi “hiya”. Dalam buku “Feminist Aproaches to The Bible” (Washington: Biblical Archeology Society, 1995), seorang aktivis perempuan, Tivka Frymer-Kensky, menulis makalah dengan judul: “Goddesses: Biblical Echoes”. Aktivis lain, Pamela J. Milne, mencatat, bahwa dalam tradisi Barat, Bible manjadi sumber terpenting bagi penindasan terhadap perempuan. Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku The Women’s Bible, dimana ia mengkaji seluruh teks Bible yang berkaitan dengan perempuan. Kesimpulannya, Bible mengandung ajaran yang menghinakan perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar pandangan Kristen terhadap perempuan.
Berikutnya, Stanton berusaha meyakinkan, bahwa Bible bukanlah kata-kata Tuhan, tetapi sekedar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang ditulis oleh kaum laki-laki. Sebab itu, perempuan tidak memiliki kewajiban moral untuk mengikuti ajaran Bible. Kaum feminis Kristen tidak berani membuang Bible, tetapi melakukan perombakan terhadap metode interpretasinya. Problema dalam tradisi Kristen ini kemudian diimpor ke dalam Islam. Dengan menjadikan “gender equality” dalam konsep Barat sebagai basis berpikir, mereka kemudian mengotak-atik al-Quran, dan menyatakan, al-Quran juga bias gender, kecuali jika ditafsir ulang sesuai pola pikir dan selera mereka.
Problema praktis dan partikular yang dihadapi kaum wanita –memang banyak diantara mereka yang tertindas– ditarik ke akar ideologis dan epistemologis. Seolah-olah, semua itu adalah karena kesalahan ulama Islam masa lalu, yang merumuskan fiqih yang berpihak pada laki-laki.
Tradisi keilmuan Islam yang sangat agung dipenuhi dengan sikap tawadhu dan penghormatan kepada para ilmuwan. Imam al-Ghazali, yang dijuluki sebagai “Hujjatul Islam” dan menulis ratusan kitab dalam berbagai bidang –termasuk dalam bidang ushul fiqih– tetap mengaku bermazhab Syafii. Bahkan, Qadhi Abdul Jabbar, seorang tokoh Mu’tazilah, juga berpegang pada mazhab Syafii. Maka, sungguh sulit dipahami, ketika sekelompok orang –yang belum menghasilkan karya berkualitas ilmiah apa pun dalam bidang ushul fiqih– berani menghujat Imam Syafii dan menyatakan, fiqih Islam tidak berkembang selama sekitar 12 abad gara-gara Syafii. Padahal, selama ratusan tahun, kaum Muslim mengalami kejayaan di berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam kajian hukum dan hadith yang diletakkan pondasinya oleh Imam Syafii.
Maka, persoalan draft KHI sebenarnya lebih merupakan soal cara berpikir dan metodologi. Jika disodorkan dalil-dalil al-Quran, Sunnah, Ijma’, atau qiyas, mereka akan menyatakan, jangan membaca dalil-dalil itu secara literal. Tetapi, lihat juga konteksnya. Metode hermeneutis yang memasukkan unsur historisitas dan sosio-budaya ini sangat fleksibel. Khamr bisa halal, jika udara dingin. Daging babi bisa halal, jika harganya murah. Sebab, ayat itu diturunkan di Jazirah Arab yang jarang terdapat babi. Muslimah dilarang kawin dengan laki-laki kafir karena laki-laki yang dominan dalam keluarga. Jika wanita turut berperan dalam keluarga, maka larangan itu tidak ada lagi.
Namun, metode literal yang dituduhkan kepada pengritik draft KHI juga diterapkan oleh penyusun draft KHI sendiri. Mereka juga ingin agar draft KHI itu dipahami secara literal. Bayangkan, jika kita tidak memahami draft KHI secara literal. Larangan poligami dalam draft itu bisa dipahami bersifat personal atau kiasan, hanya untuk laki-laki penyusun draft KHI itu, dan berlaku kondisional, tergantung waktu dan tempat.
Batasan umur 19 tahun adalah simbolik dan kiasan, bukan diartikan secara literal. Jika teks-teks hukum tidak diartikan secara literal, maka akan berlaku kekacauan. Perintah potong tangan bisa diartikan sebagai ‘potong leher’. Perintah ‘cambuklah’ bisa diartikan dengan ‘tusuklah’. Logika-logika semacam ini mestinya dipikirkan secara mendasar oleh Tim PUG.
Maka, simaklah, misalnya, logika Ketua Tim PUG Dr. Siti Musdah Mulia soal poligami. Dalam wawancara dengan satu Harian di Jakarta, ia menyatakan, “Polygamy is for prophets and those who have the same level as prophets, not for common human beings like us.”
Metode apa yang digunakan oleh Siti sehingga ia sampai pada kesimpulan bahwa poligami hanya untuk para Rasul dan orang-orang yang selevel dengan Rasul? Apakah ada manusia yang selevel dengan Rasul? Jika begitu, mengapa Rasul membiarkan para sahabatnya melakukan poligami? Faktanya, hingga kini, di berbagai belahan dunia, banyak wanita yang rela dan bangga dipoligami. Keluarga Soekarno, dari istri mana saja, tidak mengujat bapaknya karena melakukan poligami. Jika Presiden SBY dan Menteri Agama membuka lowongan untuk istri kedua, ketiga, dan keempat, mungkin, ribuan wanita akan mendaftar untuk menjadi istri SBY dan Menteri Agama yang tampan dan kaya raya. Maka, bukankah larangan poligami akan menyusahkan dan menzalimi begitu banyak wanita yang ingin menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat?
Logika bahwa asas perkawinan adalah monogami (ps 3 ayat 1), sehingga perkawinan di luar ayat 1 harus dinyatakan batal secara hukum (ps.3 ayat 2), juga amburadul dan tidak berdasar. Poligami tidaklah mesti dipandang sebagai rahmat bagi laki-laki dan bencana bagi wanita. Dari kacamata pertanggungjawaban di akhirat, beban laki-laki berpoligami jauh lebih berat.
Tapi, jangan salah duga. Poligami saat ini, memang bukan urusan sembarangan. Masalah yang satu ini masuk dalam tinjauan kebijakan luar negeri AS. Dalam “RAND Corporation report on Civil Democratic Islam” yang ditulis Sheryl Bernard sebagai bahan masukan penyusunan strategi politik AS terhadap Islam, disebutkan bahwa kaum fundamentalis Islam menerapkan poligami. Dalam kebijakan luar negeri AS saat ini, Islam fundamentalis atau Islam militan ditetapkan sebagai musuh utama. Jika logika ini diterapkan, maka Soekarno, Masdar F. Masudi, dan Parto Patrio, masuk daftar Islam fundamentalis.
Soal perkawinan antar agama juga masalah serius. Khususnya perkawinan antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Al-Quran (60:10), dengan tegas mengharamkan perkawinan Muslimah dan laki-laki non-Muslim. Belum pernah ada ulama – sejati – yang menghalalkan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Namun, uniknya, hanya dengan satu dalil “pluralisme agama”, semua yang haram dapat menjadi halal. Padahal, paham yang memberi keabsahan pada semua agama ini sangat bermasalah.
Dalam wawancara dengan Harian yang sama, Siti Musdah mengatakan: “What is the actual danger of interfaith marriage? Corruption is more dangerous than interfaith marriage, as the former harms the nation. Actually, Islam provides many opinions on interfaith marriage. I just cannot understand why it must be banned. You cannot agree with interfaith marriage, but you cannot order others to follow your belief.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Simaklah logika Siti! Menurutnya, korupsi lebih berbahaya dari perkawinan antar agama. Ini logika yang amburadul. Korupsi adalah jahat. Perkawinan yang tidak sah juga jahat, sebab sama saja dengan perzinahan. Pezina patut dijatuhi hukum cambuk atau rajam, yang bisa jauh lebih berat ketimbang hukuman bagi koruptor. Benar, banyak perbedaan pendapat dalam hal pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab.
Tetapi, tidak ada perbedaan dalam soal haramnya Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Lalu, simaklah kata-kata Siti: “Anda boleh tidak setuju dengan perkawinan antar agama, tetapi Anda tidak dapat memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinan anda.”
Maka, patut dikatakan padanya, “Anda boleh tidak setuju dengan poligami, tetapi mengapa anda paksakan sikap anda kepada orang lain melalui KHI?” Walhasil, persoalan draft KHI sebenarnya soal simptomatis, dari sebuah gunung es yang sudah berurat berakar di tengah sebagian cendekiawan Muslim. Kebanggaan memeluk dan mengimani paham gender, pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia, menjadikan mereka minder dengan khazanah keilmuan Islam dan merasa rendah diri berhadapan dengan peradaban Barat. Ini bisa terjadi karena kebodohan dan sikap a priori, dan besarnya kucuran dana untuk proyek penguatkuasaan gender dan pluralisme agama.
Jika demikian, lebih tepat dan tidak perlu malu-malu, untuk menyatakan, bahwa draft KHI rumusan Tim PUG adalah sebuah “Komunis” (Kompilasi Hukum Non-Islam). Bukankah sesuai paham pluralisme agama, Islam disamakan dengan non-Islam (kafir)? Terlalu gegabah jika Tim PUG menyatakan, draftnya sebagai “KHI” (Kompilasi Hukum Islam), sebab itu sama saja memposisikan mereka sebagai mujtahid dan mujaddid agung di abad ini.
Setiap Muslim wajib berdakwah, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar; menjelaskan yang haq dan bathil, kepada siapa pun, termasuk kepada para cendekiawan yang berpikir keliru. Kaum Musim, terutama para cendekiawan dan ulama, perlu mengingatkan Tim PUG, bahwa jalan yang mereka tempuh saat ini sangat berbahaya. Jika mereka berani mencopot satu organ vital (hati, misalnya) dari tubuh Islam –epistemologi Islam– lalu mencangkoknya dengan hati komunis atau hati sekular dari ‘Beijing’ atau dari ‘Cicago’, hasilnya bisa di luar dugaan mereka sendiri. Kaum Muslim akan menyaksikan satu kerusakan fatal dalam tubuh Islam. Mati tidak, hidup pun enggan. Atau, muncul seekor ‘monster’ yang tetap menggunakan nama Islam dan disebut Islam, tetapi sama sekali berbeda spesies atau genus dengan Islam yang dikenal sebelumnya. Adalah menarik ajakan bermubahalah dari kelompok Majelis Mujahidin terhadap Tim PUG. Jika mereka yakin dengan konsepnya, ada baiknya ajakan mubahalah itu dipenuhi, agar tampak siapa yang taat dan siapa yang jahat dan mendapat laknat.
Tugas kita adalah memberi peringatan dan nasehat. Tanggung jawab masing-masing kita di hadapan Allah SWT. Kita juga wajib mengingatkan dan mencegah kaum laki-laki yang menzalimi wanita, baik yang bermonogami atau yang berpoligami. Allah mengizinkan poligami, tetapi perlu diingat tanggung jawab dan beban di hadapan Allah SWT kelak, juga tidak ringan. Yang merasa mampu berbuat adil, dipersilakan menjalankan. Yang tidak mau dipoligami biar saja, tidak usah dipaksa. Masih banyak wanita yang mau dipoligami. Akhirul kalam, Allah mengingatkan Rasul-Nya dan kepada kita semua: “Dan janganlah merisaukan kamu orang-orang yang berlomba-lomba menuju kekufuran.” (3:176). (Wallahu a’lam). (KL, 1 Ramadhan 1425/15 Oktober 2004/Hidayatullah).