Oleh: Sapto Waluyo
MASYARAKAT Indonesia dikejutkan lagi dengan berita korupsi berskala besar. Megaproyek pengadaan KTP elektronik bernilai Rp 5,9 triliun itu diduga menimbulkan kerugian negara Rp 2,3 triliun. Jumlah fantastik. Media menyebutnya ‘megakorupsi’, karena tercatat sebagai kerugian negara terbesar sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dua orang terdakwa telah diadili dari kalangan pejabat Kementerian Dalam Negeri, tapi puluhan tersangka akan menyusul karena KPK sudah memeriksa 294 saksi (yang mungkin berubah status dalam waktu dekat) sejak pertengahan 2014. Para calon tersangka terdiri dari pejabat setingkat Menteri dan jajaran birokrasi, pimpinan dan anggota DPR RI, direksi BUMN dan konsorsium swasta. Sebuah ‘konser akbar’ peradilan korupsi yang memilukan di tengah stagnansi ekonomi nasional dan inflasi harga kebutuhan pokok.
Mengapa korupsi masih terjadi dan para pelakunya tidak pernah kapok? Padahal, sudah ratusan koruptor yang telah dipenjara dengan beragam latar belakang profesi dan kasusnya. Dalam perspektif pilihan rasional (rational choice), orang melakukan korupsi karena keuntungan yang diperoleh diyakini lebih besar daripada kerugian yang akan diderita, ongkos yang dikeluarkan (untuk melakukan kejahatan/korupsi) dikalkulasi lebih kecil daripada hasil/manfaat yang akan diraih.
Perspektif pilihan rasional sejalan dengan ideologi neoliberalisme yang menjadi dasar pembangunan nasional saat ini, juga segaris dengan pragmatisme yang diam-diam menjadi filosofi publik. “Amenangi zaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ Melu edan ora tahan/ yen tan melu anglakoni/ Boya kaduman melik/ kaliren wekasanipun” (Mengalami zaman gila-korupsi/ terjadi pergulatan batin/ ikut korupsi tidak tahan/ kalau tidak ikut korupsi/ tidak mendapat bagian harta/ akhirnya akan kelaparan).
Baca: KPK Diminta tidak Tebang Pilih, Usut Tuntas Kasus Korupsi e-KTP
Menghadapi perilaku koruptor yang rasional, merasionalisasi segala tindak kejahatan dengan alasan tak masuk akal, maka tidak cukup hanya dengan imbauan moral atau pendidikan karakter. Penggalan nasehat Ranggawarsita itu hanya tepat dalam kondisi normal dan korupsi dipersepsi sebagai tindakan abnormal. “Ndilalah karsa Allah/ begja-begjane kang lali/ luwih begja kang eling lan waspada” (Sudah menjadi kehendak Allah/ seuntung-untungnya orang lupa-korupsi/ masih lebih untung yang sadar dan waspada).
Saat ini zaman abnormal, tatkala perilaku abnormal sudah dipandang sebagai ‘normalitas baru’ (new normality). Malah orang yang tidak korupsi dianggap aneh dan disingkirkan. Maka, terapinya harus dilakukan aksi legal dan institusional yang rasional pula, yakni membangun sistem politik-ekonomi yang menutup peluang penyimpangan sekecil apapun dan menegakkan sistem hukum (law enforcement) seberat mungkin, tanpa diskriminasi dan belas kasihan. Bukan hanya hukuman maksimal yang harus diterapkan, tapi prinsip imparsial bahwa hukum keras itu bisa diterapkan kepada orang yang paling berkuasa sekalipun untuk kasus yang terlihat sepele.
Korea Selatan bisa menjadi contoh kontemporer negara kapitalis baru yang menegakkan hukum dengan tegas. Perdana Menteri Park Geun Hye dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Konstitusi karena membiarkan/memberikan fasilitas kepada penasehat spiritual (yang juga rekannya di masa kecil) untuk mengeruk keuntungan dari perusahaan-perusahaan besar. Tidak hanya pelaku pemerasan dan eksekutif perusahaan yang diadili, tapi sosok PM perempuan itu juga harus menanggung konsekuensi politik atas kecerobohannya.
Indonesia menganut sistem ekonomi yang tidak jelas, kapitalisme semu (ersatz capitalism), menurut Kunio Yoshihara (1988), sehingga pembenahan sistem juga bongkar-pasang. Sistem hukum dan budaya Indonesia, sebagaimana kebanyakan negara-negara Asia (Myrdal 1968) juga dinilai terlalu lunak (soft culture), sehingga mengakomodasi segala penyimpangan untuk menjaga harmoni. Dalam kondisi seperti itu, ketika sistem hukum dan politik tak bisa diharapkan, maka kekuatan rakyat menjadi jawaban.
Sebelum terlalu jauh menafsirkan, maka kita harus tegaskan UUD RI yang telah diamandemen menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar” [pasal 1 ayat (2)]. Maknanya, jangan takut dan jangan salah paham dengan people power, karena itulah inti dari kehidupan demokrasi yang kita jalani. Ketika lembaga-lembaga publik sudah macet dan inefektif, maka rakyat akan mengambil alih inisiatif. Tidak perlu ada rekayasa politik besar-besaran atau intervensi dari negeri asing, rakyat Indonesia memiliki hati nurani dan batas kesabaran yang akan terpicu dan terpacu pada momen yang tepat.
Setiyono dan McLeod (2012) mengungkapkan kekuatan rakyat yang tampil di awal masa reformasi 1998 dan memunculkan civil society organizations (CSO) dengan beragam fokus perjuangan. Organisasi anti korupsi, perlindungan hak asasi manusia dan penegakan hukum melakukan aliansi kerakyatan untuk mendorong agenda-agenda perubahan mendasar. Gerakan rakyat efektif mengawal lembaga publik dan memenangkan kepentingan publik. Namun, setelah 18 tahun berlalu, soliditas dan efektivitasnya makin meredup. Diperlukan energi baru untuk menggerakkannya.
Megakorupsi E-KTP berpeluang menjadi penyulut perubahan besar. Protes mahasiswa di depan markas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi isyarat, agar tidak setengah hati memerangi korupsi. Mulai dari kasus E-KTP, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Century Gate, hingga Reklamasi Teluk Jakarta. Semua harus dibongkar, diusut para pelaku yang memanfaatkan kelemahan institusi atau regulasi publik.
Sebagaimana tipologi Shah dan Schacter (2004), korupsi dikelompokkan menjadi: grand corruption (pejabat negara yang menyelewengkan sumberdaya publik dengan memanfaatkan kelemahan institusi), state capture atau regulatory capture (agen swasta yang mengkooptasi lembaga eksekutif/legislatif untuk meraih keuntungan), dan bureaucratic atau petty corruption (suap atau pemerasan yang dilakukan dalam pelayanan publik rutin).
Korupsi E-KTP yang melibatkan pejabat eksekutif (Kemendagri) dan legislatif (DPR RI berbagai fraksi) serta direksi BUMN dan swasta sudah tergolong grand corruption, karena melanggar asas-asas pemerintahan yang baik. Bahkan, termasuk juga state capture, ketika segelintir elite yang memegang otoritas penganggaran negara (state budgetting) bersekongkol untuk mendapat keuntungan pribadi.
Rakyat tidak boleh diam atau berkompromi dengan situasi ambigu. Karena pemerintah gencar memunguti pajak rakyat, tapi pada saat yang sama membiarkan penyimpangan uang rakyat oleh elite berkuasa. Pemerintah meyakinkan perlunya pinjaman luar negeri untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, namun pada saat bersamaan merancang perampokan massal dana negara.
Bagi kaum politisi dan partai politik yang merasa bersih, sila bersuara lebih keras untuk membongkar korupsi gotong-royong itu. Untuk birokrat dan eksekutif BUMN atau swasta yang tak bersalah, harus mengambil sikap tegas, walau beresiko dipecat dari jabatannya. Rakyat tidak buta dan tidak tuli, tapi akan mengapresiasi tindakan keberanian di tengah situasi sulit. Rakyat bersama mahasiswa melawan megakorupsi demi menyelamatkan Indonesia dari kondisi kolaps.*
Aktif di Center for Indonesian Reform