Oleh: Andi Ryansyah
Belakangan ini, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali berhembus kencang. Benarkah PKI bangkit? Entah. Tapi daripada kita debat kusir soal itu dan malah membuat masyarakat jadi bingung, lebih baik kita arahkan mata cemas kita pada kehidupan rakyat miskin.
Mengapa? Sebab utama komunisme dapat berkembang, kata Bung Hatta, manakala hidup rakyat semakin miskin.“Kemiskinan adalah serikat bagi komunisme,” ujarnya (Mu’in, 1957). Dan sekarang ini, tak sedikit rakyat Indonesia yang belum keluar dari kubangan lumpur kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2017, masih ada 27,77 juta penduduk miskin. Angka ini bertambah 0,01 juta dari September 2016 yang jumlahnya 27,76 juta orang.
Jurang kesenjangan ekonomi pun luar biasa lebar. Menurut studi Oxfam, empat konglomerat Indonesia dengan jumlah kekayaan 25 miliar dollar, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin di Indonesia. Data lain dari Credit Suisse menunjukkan satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 % kekayaan nasional.
Kondisi-kondisi ini menjadi lahan subur untuk tumbuhnya komunisme di negara kita. Ini tak berlebihan. Sebab sejarah punya pengalamannya.
Mari kita menengok sepak terjang PKI. Kala itu, setelah pemberontakan Madiun 1948, citra PKI sangat buruk. Betapa tidak, mereka berupaya mengkudeta pemerintah serta membantai ulama dan santri. Tapi ketika di tangan Aidit, PKI berhasil bangkit. Sungguh mengejutkan! Pada Pemilu 1955, partai berlambang palu arit ini berhasil masuk jajaran empat besar di bawah PNI, Masyumi, dan NU. Mungkin kalau kita hidup di zaman itu, kita tidak akan percaya. Mengapa partai pemberontak ini bisa dipilih rakyat banyak?
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ekowati (2012), mengungkap bahwa PKI bisa menang juara empat karena di antaranya partai ini bisa merangkul rakyat bawah seperti petani dan buruh.
Cara PKI merangkul adalah dengan propaganda-propaganda melenyapkan sisa-sisa feodalisme, kapitalisme dan anti tuan tanah. PKI mempropagandakan pembagian tanah kepada petani miskin, terutama yang ada di daerah Jawa. Sehingga mereka sangat tertarik dengan PKI, dan bersedia menjadi anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) atau organisasi massa PKI lainnya. Selain itu, petani juga dibuatkan koperasi.
Agitasi-agitasi dan propaganda perlindungan kaum buruh juga dilakukan PKI. Kaum buruh yang merasa selalu tertindas oleh kaum imperialis, jadi tertarik dengan PKI. Sebab PKI dianggap bisa memperjuangkan hak-hak mereka, dan mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. Bahkan PKI sampai menguasai Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Baca: Tokoh Kristen Tak Setuju Kedatangan Wakil Partai Komunis Vietnam
PKI juga menjanjikan persamaan hak wanita di bidang ekonomi, perburuhan, dan pertanian. Di bidang ekonomi, wanita dibolehkan berpartisipasi dalam proses produksi, seperti halnya laki-laki. Di bidang perburuhan, gaji kaum wanita disamakan. Dan di bidang pertanian, kaum wanita mendapatkan pembagian tanah yang luas seperti kaum pria. Kaum wanita yang bekerja sebagai buruh industri, buruh tani, dan buruh perkebunan, yang pada umumnya miskin, gampang ditarik dalam kegiatan organisasi. Itulah beberapa strategi yang berhasil dimainkan PKI untuk menarik massa dan memenangkan Pemilu 1955.
Pada akhir tahun 1955, jumlah anggota PKI sangat memukau, mencapai satu juta orang (Ricklefs, 1998).
Dari situ kita bisa melihat, bahwa komunisme dapat hidup di tengah kondisi masyarakat sedang miskin dan menderita. Komunisme bisa laris begitu lantaran kepekaan sosialnya yang tinggi, dengan taktik propagandanya yang memberi harapan, membela, memperjuangkan, dan menolong rakyat kecil.
Karena itu, untuk mencegah tumbuhnya paham komunis di masa sekarang ini, tidak cukup dengan berteriak-teriak, “Komunis kufur!”, “Komunis anti Tuhan!”, “Komunis anti Pancasila!” “Komunis anti demokrasi!”, “Ganyang PKI!” Harus juga ada gerakan sosial yang nyata! Seperti membela dan menolong wong cilik yang digusur secara sewenang-wenang, memperjuangkan kesejahteraan petani, nelayan dan buruh, atau memberi makan orang miskin. Bukankah Islam mewajibkan kita untuk membela kaum yang lemah dan tertindas? Kita tak harus jadi komunis untuk bisa berbuat seperti itu. Cukuplah menjadi Muslim!
Tokoh-tokoh kita dulu pun sudah mencontohkannya. Seperti Surjopranoto, tokoh Sarekat Islam. Ia membentuk organisasi buruh modern, yang mewakili kepentingan perusahaan perkebunan dan pabrik gula. Serikat buruh itu dikenal dengan nama Personeel Fabrieks Bond (PFB). Ketika melihat kesenjangan antara pengusaha dan buruh perusahaan gula begitu lebar, ia mengadakan pemogokan. Dengan anggotnya yang berjumlah hingga 31 ribu orang pada tahun 1920, PFB mampu menekan para pengusaha gula (Rizkiyansyah, 2014). Bagaimana dengan tokoh-tokoh Muslim sekarang?
Kemudian pemerintah juga tidak cukup dengan menyuruh menonton film “G30S PKI” dan mengandalkan TAP MPRS No.25 tahun 1966 yang berisi larangan PKI dan komunisme. Yang genting dan memaksa untuk dilakukan dalam mewaspadai bahaya komunisme adalah, pemerintah harus segera menghadirkan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Misal dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan buruh, nelayan, dan petani, memanfaatkan sebesar-besarnya kekayaan alam Indonesia untuk hajat dan kemakmuran rakyat banyak, memurahkan ongkos hidup rakyat, tidak mengorbankan kepentingan rakyat kecil untuk penguasa modal, atau memerangi segelintir orang yang menguasai ekonomi bangsa ini.
Kalau keadilan ekonomi sudah dirasakan kaum miskin, maka rasanya tidak ada lagi tuntutan dari komunisme. Tapi kalau jurang kesenjangan ekonomi dibiarkan kian lebar, maka pemerintahlah yang sedang “mengkomuniskan” mereka. Ya, sebab mereka dibiarkan menjadi santapan komunisme.*
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)