Oleh: A. Slamet Ibnu Syam*
Hidayatullah-com–Dalam karyanya Jawahir ul-Qur’an, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa seluruh cabang ilmu yang terdahulu dan yang kemudian, yang diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran al-Karim.
Penjelasan al-Ghazali di atas menggambarkan akan betapa luas dan dalamnya kandungan Al-Quran. Oleh karena itu, Al-Quran tidak pernah habis untuk dikaji dan ditelaah setiap masa. Selalu saja ada hal-hal yang baru yang ditemukan oleh para ulama dari kandungan Al-Quran.
Kita juga banyak mendengar penemuan-penemuan ilmiah terbaru yang dihasilkan oleh para ilmuan kontemporer, yang dianggap penemuan paling mutakhir. Namun, setelah kita perhatikan, ternyata hal itu sudah ada dan dibahas di dalam Al-Quran terlebih dahulu. Di antaranya adalah penemuan tentang strategi perang di waktu pagi, yang ditemukan oleh para pakar di akademi militer. Ternyata sudah dibahas di dalam Al-Quran pada surat Al-Aadiyaat.
Dari pemahaman kita akan pentingnya mengkaji Al-Quran, seharusnya kita berusaha untuk senantiasa dekat dan ‘bersentuhan’ dengannya. Karena bagaimana kita akan cinta dan mengerti kandungannya, jika membacanya saja kita jarang. Apalagi mau menghafal dan mengkajinya. Sebegini burukkah kondisi umat Islam kontemporer?
Modernitas zaman banyak membawa dampak buruk bagi jauhnya umat Islam dari Al-Quran. Padahal sewaktu penulis masih kecil, sebelum perkembangan informasi dan teknologi begitu pesat seperti sekarang ini, paling tidak setiap sehabis shalat magrib berjamaah di masjid, penulis selalu mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari setiap rumah yang penulis lewati.
Berbeda dengan masa kini. Fenomena di atas jarang sekali penulis temukan. Banyak dari anak-anak umat Islam kontemporer justru lebih mengenal Playstation ketimbang Al-Quran! Menonton sinetron lebih digandrungi remaja-remaja muslim, ketimbang hadir di pengajian! Kebiasaan menggerak-gerakan tasbih (berdzikir) berubah menjadi kebiasaan mengutak-atik handphone!
Mau tidak mau, kita harus akui fenomena-fenomena memprihatinkan di atas telah terjadi dan menjamur di kalangan umat Islam Indonesia, dan bahkan mungkin di beberapa negara yang berpenduduk muslim yang lainnya. Lalu bagaimana solusinya?
Memasyarakatkan Al-Quran
Solusinya adalah dengan melakukan upaya menciptakan iklim qur’ani atau memasyarakatkan Al-Quran.
Di antara cara-cara memasyarakatkan Al-Quran, khususnya di bulan Ramadhan, adalah dengan membiasakan umat Islam untuk shalat Tarawih dengan bacaan satu juz atau lebih setiap malamnya. Sehingga dalam satu bulan Ramadhan dapat selesai 30 Juz Al-Quran. Dengan begitu, umat Islam secara komprehensif akan terbiasa mendengarkan Al-Quran dari awal sampai akhir.
Penulis harus mengakui bahwa upaya tersebut pasti sulit dan akan menemukan banyak rintangan nantinya. Namun memang untuk menggapai sebuah keberhasilan, pasti akan selalu saja ada alang-rintangnya. Oleh karena itu, upaya tersebut harus dimulai pelan-pelan dan berangsur-angsur oleh segenap komponen umat Islam di Indonesia. Sebab, upaya ini tidak bisa dilakukan secara individual, tapi harus dilakukan secara kolektif.
Fenomena yang berkembang di banyak kalangan umat Islam Indonesia adalah menjadikan shalat Tarawih sebatas kebiasaan (ritual) di bulan Ramadhan saja. Kebiasaan mencari-cari shalat Tarawih yang cepat selesainya, masih berkembang di beberapa kalangan umat Islam Indonesia. Bacaan Al-Quran saat Tarawih di kampung-kampung di Indonesia biasanya hanya berkisar dari surat at-Takatsur sampai an-Naas. Bahkan jika ada imam shalat Tarawih yang bacaannya agak lama, tidak jarang dimusuhi dan ditinggalkan jamaahnya.
Memang sungguh memprihatinkan. Maka tak heran jika shalat Tarawih yang dilakukan umat Islam di Indonesia, tidak banyak memberikan perubahan riil bagi perbaikan kondisi sosialnya. Padahal Allah swt telah berfirman dalam Al-Quran: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabuut [29]: 45). Padahal seharusnya Ramadhan menjadi ‘madrasah’ untuk menggembleng akhlak dan pribadi umat Islam yang menjalankan puasa di siang hari dan Tarawih di malam harinya.
Umat Islam Indonesia harus belajar dari umat Islam di Suriah –dan mungkin beberapa negara berpenduduk muslim yang lainnya. Di Damaskus (Ibukota Suriah), rata-rata di setiap masjidnya dilaksanakan shalat Tarawih satu juz atau lebih setiap malam. Jadi selama sebulan dapat selesai 30 Juz Al-Quran. Jarang sekali kita temukan yang tidak menggunakan sistem seperti ini. Bahkan di beberapa masjid, bisa diselesaikan pembacaan Al-Quran dalam beberapa kali.
Sebagai contoh di masjid ar-Rifai, sebuah masjid di dekat pusat kota Damaskus. Di masjid tersebut bisa ditamatkan pembacaan Al-Quran sampai empat kali dalam satu bulan Ramadhan. Pertama, satu juz atau lebih setiap malam, saat shalat Tarawih berjamaah. Kedua, satu juz atau lebih setiap malam, saat shalat tahajud berjamaah. Ketiga, satu juz atau lebih setiap pagi, saat shalat shubuh berjamaah. Keempat, satu juz atau lebih setiap pagi, saat acara tadarusan seusai shalat shubuh berjamaah.
Dengan demikian, masyarakat muslim di Damaskus telah terbiasa selalu mendengarkan ayat-ayat suci Al-Quran dari awal sampai akhir. Jika sudah terbiasa, insya Allah akan timbul nantinya keinginan untuk menghafal dan kemudian mengkajinya ayat demi ayat.
Umat Islam Indonesia harus mulai sadar akan pentingnya memasyarakatkan Al-Quran. Problematika komplikatif yang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini, disebabkan oleh penyakit-penyakit sosial yang masih hinggap pada diri kebanyakan dari mereka. Al-Quran adalah obat bagi berbagai macam penyakit, termasuk berbagai penyakit sosial.
Dalam Al-Quran Allah swt menjelaskan: “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (yang terkandung dalam Al-Quran) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (penyakit sosial), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yunus [10]: 57).
Tidakkah umat Islam Indonesia ingin sembuh dari berbagai penyakit sosial yang dideritanya?! Wallahu a’lam b ish-Shawab
.
Penulis adalah Ketua Dewan Konsultan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Damaskus-Suriah