Oleh: Imam Nawawi*
TIDAK ada hujan, tidak ada badai, tiba-tiba negeri ini kembali gaduh. Kali ini atas ujaran seorang pejabat baru yang menahkodai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi.
Seperti letupan Gunung Merapi, “panasnya” ujaran profesor bidang syariah yang menyatakan musuh terbesar Pancasila adalah agama benar-benar membuat pemuka agama (baca: Islam) terluka dan memantik kisruh. Bahkan, sebagian besar masyarakat awam pun merespons, untuk apa ujaran seperti itu dihadirkan? Seakan-akan mereka menyatakan bahwa sebuah ujaran yang sama sekali tidak penting namun sangat mengganggu justru lahir dari orang yang patutnya ditiru dan digugu.
Terlepas dari polemik yang kemudian beredar dan kian menggumpal, satu hal yang penting digarisbawahi adalah bagaimana sepatutnya seseorang berujar di ruang publik, lebih-lebih dari lisan mereka yang ditunjuk menjadi pejabat negara yang berarti menerima gaji dan fasilitas tinggi dari rakyat. Betapa sering negeri ini kehilangan energi dan fokus yang besar karena buruknya sebuah ujaran. Konyolnya sebuah ujaran kerapkali disikapi secara tidak adil. Ada yang berujar miring terhadap pejabat langsung ditindak. Pada saat yang sama ada yang berujar buruk terhadap pejabat publik lainnya, namun tidak pernah ada aroma hukum bekerja dengan baik.
Ujaran Ketua BPIP secara rasio normal dan awam memang tidak patut disampaikan, apalagi terbuka di ruang publik. Selain ahistoris karena memang Pancasila dengan agama bukanlah dua hal yang patut dibenturkan. Logika bahwa Pancasila punya musuh menandakan cara sang guru besar memandang Pancasila telah melampaui kedudukan yang semestinya. Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara sama sekali bukanlah sebuah konsepsi yang bisa dibenturkan dengan ajaran agama manapun juga.
Tetapi, ibarat pepatah nasi sudah menjadi bubur, ujaran Ketua BPIP tersebut harus dapat kita jadikan “sajian” baru yang mendorong segenap elemen bangsa berpikir progresif sekaligus beradab. Jika tidak, maka hal ini akan kembali menyeret anak negeri masuk ke dalam jenis masalah yang usang dan sampai sekarang terus berulang.
Eksistensi Ujaran
Jika ditelusuri secara cermat sebuah ujaran sejatinya tidak bisa berdiri sendiri. Setidaknya ada empat faktor utama yang memengaruhi sebuah ujaran disampaikan seseorang.
Pertama faktor pengetahuan. Seorang tokoh akan mudah menyampaikan ujaran berupa ilmu dan penjelasan karena luasnya pengetahuan yang dimiliki. Akan tetapi itu tidak cukup. Butuh faktor kedua, yakni tujuan.
Bisa saja seseorang bagus dalam ujarannya, terkesan positif, namun karena didasari oleh tujuan yang buruk, maka rasio manusia pada umumnya akan menolak. Jika pun ada pihak yang terseret karena silau dengan kelihaian ujaran itu sendiri, lambat laun akan sadar dan karena itu menjauh dan membenci.
Ketiga, sebuah ujaran juga dipengaruhi oleh karakter seseorang. Ilustrasi menarik disampaikan oleh KH. Zainuddin MZ, bahwa tidak mungkin orang yang sukanya mencuri akan berpikir perihal bagaimana majelis taklim berlangsung di desanya. Artinya, orang yang memang karakternya buruk, akan sangat kesulitan untuk bisa menghadirkan ujaran yang baik, penting, dan bermanfaat.
Keempat, keimanan. Orang yang cerdas, punya tujuan mulia, dan karakter positif selamanya akan mampu dan berusaha menyampaikan ujaran positif selama imannya kuat dan bekerja dengan baik. Tanpa itu, seseorang akan menjelma sebagai drakula yang rela menjadikan kecerdasannya sebagai taring untuk menerkam bahkan membunuh banyak orang. Inilah yang belakangan dikenal dengan istilah ujaran kebencian (hate speech).
Pertanyaannya apakah ketika seseorang membela Pancasila lantas berujar yang tidak tepat terhadap agama tidak berarti itu merupakan hate speech terhadap agama?
Jika cara berpikir seperti itu hadir dalam diri banyak orang, terutama tokoh, dan mereka yang menduduki jabatan publik, bukankah ini akan berdampak serius terhadap terjadinya degradasi peradaban bangsa dan negara, yang semula telah menciptakan keamanan, ketenteraman, persatuan, dan persahabatan.
Dalam sebuah perbincangan ringan dengan Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Dr. Abdul Ghofar, MBA di Yogyakarta (10/02/2020), penulis bertanya perihal bagaimana menguatkan peradaban dan persaudaraan di negeri ini. Jawabannya singkat dan tajam. “Orang yang tidak bisa bersaudara adalah yang suka menyalahkan.”
Dengan kata lain, orang yang secara pemikiran sesat, ahistoris, dan irasional lantas bebas membuat ujaran yang mereduksi kualitas peradaban bangsa dibiarkan, maka alamat buruk bagi kehidupan rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia. Indonesia memang tidak akan selalu gaduh karena ujaran, tetapi juga lambat laun akan saling serang karena ujaran yang tidak ditertibkan.
Dari kasus ujaran yang belakangan terjadi, hendaknya pemangku mandat rakyat dapat mengambil pelajaran penting. Bahwa pejabat yang ditunjuk harus benar-benar mengerti dan menjadikan setiap ujarannya sebagai penguat peradaban bangsa Indonesia. Bukan malah sebaliknya, yang menjadikan kegaduhan terus terjadi sementara hukum, etika, dan norma tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka itu sama saja seperti seorang pengendara roda dua yang memaksan masuk perlintasan kereta api untuk selanjutnya ditabrak dan hancur berkeping-keping.
Pada saat yang sama, sebelum arus penolakan dan kegusaran publik semakin luas, Ketua BPIP dapat melakukan pertimbangan untuk mengundurkan diri. Sebab, bagaimanapun juga ujaran yang telah membakar rasionalitas publik tidak mungkin dipadamkan hanya dalam waktu semalam. Sebab ujaran ini benar-benar telah merobek peradaban bangsa dan tentu saja akan terus tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Allahu a’lam.*
*Ketua Umum Pemuda Hidayatullah