Oleh: Heru Susetyo
HARI PENGUNGSI (World Refugee Day) 20 Juni 2016 berlalu sudah. Masyarakat dunia, utamanya kaum pengungsi, berharap penderitaan mereka,hidup tak karuan di negeri orang, segera berakhir. Sayangnya, untuk sebagian kelompok pengungsi, utamanya warga Rohingya, harapan tersebut masih menjadi mimpi di siang bolong.
Tak seperti romansa antara Cinta dan Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang berselang seling antara cinta, lara, duka, cita, gempita dan bahagia walau terhalang waktu empat belas tahun lamanya, episode etnis minoritas Rohingya di Myanmar melulu adalah duka, kelam, lara dan nestapa. Utamanya sejak tahun 1962.Menukik di tahun 1982.Semakin kelam di paruh akhir 2000-an. Dan berlanjut hingga kini.
Duka berawal di tahun 1962 ketika junta militer berkuasa.Semakin mengental di tahun 1982 ketika UU Kewarganegaraan 1982 berlaku.Dimana Rohingya dikecualikan dari 135 etnis yang absah sebagai warganegara Myanmar. Memasuki tahun 2000-an diskriminasi dan kekerasan struktural terhadap etnis Rohingya semakin menjadi. Maka, mereka menjadi pesakitan di negeri sendiri. Lalu terusir ke laut dan ke negeri lain. Yang tak jelas negeri mana.Karena tanah di seberang juga tak ramah bagi mereka, Yang mereka pahami sejak lahir, tanah air mereka adalah Arakan, yang notabene adalah bagian dari Myanmar.Bukan yang lainnya.
Sedihnya, bagi masyarakat Myanmar, tak ada orang Rohingya. Mereka dianggap tak hadir dalam negara. Kini, bahkan sebutan “Rohingya” –pun akan menghilang. Pemimpin berpengaruh Myanmar, Aung San Suu Kyui, mengatakan akan menghindari kata “Rohingya” untuk menyebut minoritas Muslim yang teraniaya. Ia telah menyampaikannya pada Special Rapporteur on Human Rights PBB pada Senin 20/6/2016. Padahal, pada hari yang sama otoritas HAM PBB mengeluarkan laporan soal Rohingya yang telah dirampas kewarganegaraannya. Suu Kyi menyarankan agar setiap orang kini menggunakan kata komunitas Muslim di Rakhine State dibanding Rohingya (Republika, 22/6/2016). Sepertinya, masalah ‘Rohingya’ merupakan salah satu duri dalam pemerintahan Aung San Suu Kyi (Hidayatullah.com, 1/5/2016).
Suu Kyi Pahlawan Myanmar
Burma ataupun Myanmar adalah Aung San Suu Kyi.Keduanya tak dapat dipisahkan.Laksana roti dengan selai, atau kacang dengan kulitnya.Suu Kyi adalah ibarat Nelson Mandela untuk Afrika Selatan dan Mahatma Gandhi untuk India.
Sejarah panjang negeri Myanmar adalah juga sejarah seorang Aung San Suu Kyi. Apalagi, ayah Suu Kyi, Jenderal (Bogyoke) Aung San, adalah Bapak Pendiri Burma (Union of Burma) berstatus pemimpin pemerintahan British Crown Colony in Burma (1946-1947) sebelum dibunuh enam bulan sebelum Burma merdeka.
Maka, Suu Kyi lahir dan besar dengan harapan dan sekaligus kemarahan. Harapan dari banyak rakyat Burma bahwa ia akan membawa Burma kembali ke jalur demokrasi setelah puluhan tahun dikuasai rezim militer. Sekaligus kemarahan karena perjuangannya selalu dilawan para lawan politiknya dengan cara-cara yang kasar. Ayahnya dibunuh ketika ia berusia dua tahun. Dan hidup Suu Kyi berputar di sekitar rumah sejak 1989 selama 21 tahun berikutnya, karena ia ditahan di rumah (house arrest) oleh rezim militer.
Atas jasa ibunya (Khin Kyi) yang kemudian diangkat sebagai Duta Besar Burma untuk India dan Nepal pada tahun 1960-an, Suu Kyi kemudian mengenal dunia luar. Di India ia menamatkan pendidikan sarjana bidang politik, untuk kemudian menempuh studi lanjutan di Oxford, UK, juga di bidang politik. Usai studi Master di Oxford, Suu Kyi hijrah ke USA dan bekerja di PBB selama tiga tahun. Ia kemudian menikah dengan Dr Michael Aris, seorang pakar studi budaya Himalaya-Tibet, dan tinggal di UK. Tahun 1988 Suu Kyi kembali ke Burma untuk merawat ibunya yang sakit. Namun, selanjutnya ia malah memimpin gerakan Pro Demokrasi di Burma. Perbuatan mana menempatkannya sebagai tahanan rumah (house arrest) selama 21 tahun lamanya (dan 15 tahun berturut-turut).
Perjuangan pro demokrasi di Myanmar untuk mengakhiri kekuasan rezim junta militer mencapai hasil optimal. Pada pemilu 8 November 2015, partai Suu Kyi NLD (National League for Democracy) memenangkan pemilu pertama di Myanmar yang dianggap berlangsung terbuka dan adil. Kemenangan ini dicapai dengan suara mayoritas (landslide victory). Namun, kendati partai-nya menang mutlak, Suu Kyi terhalang oleh konstitusi (yang dirancang militer) untuk menjadi Presiden Myanmar. Maka, ia menunjuk Htin Kyaw, orang kepercayaannya, untuk menjadi Presiden sipil pertama Myanmar sejak tahun 1962. Suu Kyi sendiri memilih menjadi Menteri Luar Negeri (per 30 Maret 2016) dan Penasehat Negara Myanmar (State Counsellor) per 6 April 2016.*
Staf Pengajar Viktimologi & Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Indonesia