Oleh: Imam Nawari
Hidayatullah.com | SIKAP dan kebijakan pemerintah pusat yang dapat dikatakan parsial memang menimbulkan dilema bagi masyarakat kecil, termasuk di pedesaan.
Seorang mahasiswi di satu daerah di Sumatera Selatan menuturkan bahwa di desanya masyarakat sangat mengerti bahaya dari Covid-19. Namun berada di rumah tanpa sebuah jaminan stok makanan yang memadai, tentu membuat mereka harus memilih berani mengabaikan risiko yang sebenarnya bisa menghantam siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Hal demikian juga dialami warga kecil di perkotaan, seperti sempat dituturkan seorang warga dalam sebuah acara talk show di televisi. Ibarat kata, diam di rumah mati karena lapar. Keluar rumah mati dihantam virus. Lebih baik mati keluar rumah demi mencari nafkah daripada mati di dalam rumah.
Fakta seperti ini sebenarnya sudah terbayang di dalam cara berpikir orang secara umum, namun karena orientasi kebijakan belum mengarah pada penyelamatan manusia yang menjadi tanggung jawab negara melindungi rakyatnya, maka beragam soal muncul dan terus menguras energi dan pada akhirnya beragam soal muncul.
Ironisnya dalam situasi wabah seperti ini, derasnya arus kritik dari masyarakat, setidaknya netizen ke pemerintah adalah soal-soal yang menyangkut masalah integritas. Jauh dari langkah dan solusi yang secara umum bisa dipahami rakyat yang berpikir.
Penyegeraan Bantuan
Masalah utama masyarakat saat ini adalah rasa resah dan gelisah yang luar biasa. Mulai dari tekanan aspek ekonomi yang berupa kredit dan kebutuhan dasar, hingga rasa aman perihal bisa tidak dirinya bertahan selama wabah. Padahal, keluar rumah pun, bagi para pedagang keliling dan lainnya bisa diprediksi akan kecil perolehannya.
Menyikapi realitas ini tidak bisa tidak harus segera menyegerakan adanya bantuan. Pemerintah, jika merasa APBN tidak ingin dikurangi untuk rakyat yang rentan seperti itu, bisa mengajak beragam pihak di tengah-tengah masyarakat untuk sinergis, mulai dari masjid besar, lembaga amil zakat nasional, ormas, organisasi kepemudaan dan lain sebagainya.
Sekalipun tentu saja langkah ini akan dipandang oleh “oposisi” sebagai hal konyol, sebab dalam situasi wabah, sejatinya bukan ketiadaan anggaran yang terjadi. Tetapi keberpihakan anggaran yang belum diwujudkan. Faktanya, ada anggaran senilai 5,6 T untuk sebuah program yang sama sekali tidak relevan untuk menjawab tantangan wabah Covid-19 ini.
Tetapi sebagai upaya konkret – daripada tidak ada sama sekali – harus jelas sikap dan langkah pemerintah setidaknya dalam menghadirkan rasa aman warga terdampak.
Apa yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta bisa menjadi contoh bagaimana memberikan rasa aman secara psikologis terhadap warga terdampak. Dalam hal ini Pemda DKI melibatkan semua unsur terlibat dalam masalah ini, sehingga dapat dipastikan distribusi bantuan dapat berjalan sesuai harapan.
Ketegasan Sikap
Jika bagi masyarakat kecil kebutuhan akan bantuan sembako menjadi hal mendasar untuk menghadirkan rasa aman secara psikologis, bagi masyarakat menengah ke atas jelas adalah ketegasan sikap dan kebijakan pemerintah, termasuk di dalamnya adalah tutur kata.
Pemerintah dalam hal ini Presiden dan jajaran kabinet harus mampu hadir ke tengah-tengah publik dengan kebijakan yang utuh dan bulat, sehingga tidak seperti selama ini terjadi, di mana setiap statement selalu diikuti dengan revisi dan klarifikasi.
Andai pun tidak mampu membuat kebijakan yang memadai, setidak-tidaknya tutur kata benar-benar dijaga agar tidak melukai nurani rakyat. Ungkapan bahwa yang mati baru 500 orang, jelas tidak etis dan jauh dari nilai-nilai moral bangsa Indonesia. Mau 10 orang, apalagi sampai 500 itu adalah nyawa manusia dan semuanya rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Presiden RI harus memberikan regulasi yang tegas perihal siapa yang ditunjuk berbicara dan menyampaikan hasil kebijakan yang sudah utuh atau belum. Sebab jika ini terus terjadi, maka masyarakat kelas menengah ke atas akan terus terganggu dan pada akhirnya mengundang distrust (ketidapercayaan) yang mendalam.
Pada dasarnya, hukum sosial bagaimanapun akan bekerja dan mendominasi jika waktu dan momentumnya benar-benar terbuka. Dan, agar hukum sosial dapat bekerja pada kebaikan serta progresivitas keadaan, tentu saja ketegasan pemerintah menjadi kunci utama untuk digunakan dengan sebaik-baiknya. Jadi jangan banyak himbauan dan arahan, tetapi ketegasan sikap dan kebijakan yang mengarah pada terlindunginya segenap rakyat Indonesia.
Logika Dasar
Andai sekarang terjadi banyak benturan kepentingan di tingkat elit penguasa, hendaknya mereka mengingat-ingat perihal sejarah bangsa Indonesia ini. Bangsa dan negara ini bisa merdeka adalah karena perjuangan pahlawan dan rakyat Indonesia.
Kini setelah negeri ini merdeka, rakyat dalam kesulitan, apakah etis, patut, pantas, dan bisa dinalar secara akal sehat jika APBN dikatakan tidak ada karena beragam alokasi anggaran yang ditetapkan. Sementara rakyat setiap hari bergelimpangan?
Mari lakukan introspeksi diri, untuk apa sebenarnya bangsa dan negara ini dibuat jika bukan untuk menjaga, melindungi dan mensejahterakan rakyatnya?
Tetapi, langkah terakhir tetap di tangan pemangku amanah. Silakan memilih dan melangkah. Yang pasti, hidup ini ada hukum Tuhan yang berjalan selain hukum alam itu sendiri.
Dan, penting diingat setiap keputusan yang tidak mengutamakan rakyat sebagaimana amanah UUD 1945 maka tunggulah saat di mana kesempatan untuk berbuat telah terlewat. Sedangkan penyesalan dan beragam penjelasan akan ketidakbecusan yang telah terjadi tidak akan bisa diterima oleh manusia, lebih-lebih oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رضي الله عنه قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: “ماَ مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ، وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Ma’qil bin Yasar Radiyallahu anhu ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, kecuali Allah mengharamkannya masuk surga.” (Muttafaqun ‘alaih).*
Penulis Ketua Pemuda Hidayatullah