Islam Rahmat Bagi Seluruh Alam
Mengingat betapa pentingnya pohon bagi lingkungan hidup, Islam sebagai agama fitrah yang mana ajarannya menyentuh segala aspek kehidupan tentu telah menyertakan pembahasan mengenainya.
Disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallohu ‘Anhu dari Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَ فِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Imam Ahmad 3/183, 184, 191, Imam Ath-Thayalisi no.2068, Imam Bukhari di kitab Al-Adab Al-Mufrad no. 479 dan Ibnul Arabi di kitabnya Al-Mu’jam 1/21 dari hadits Hisyam bin Yazid dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu).
Juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanad yang shahih, yang berkata: “Abdullah bin Salam Rodhiyallahu ‘Anhu berkata kepadaku:
إِنْ سَمِعْتَ بِالدَّجَالِ قَدْ خَرَجَ وَ أَنْتَ عَلَى وَدِيَّةٍ تَغْرِسُهَا, فَلاَ تَجْعَلْ أَنْ تُصْلِحَهُ, فَإِنَّ لِلنَّاسِ بَعْدَ ذَلِكَ عَيْشًا
“Jika engkau mendengar bahwa Dajjal telah keluar sedangkan kamu sedang menanam bibit kurma maka janganlah kamu tergesa-gesa dalam penanamannya, karena masih ada kehidupan setelah itu bagi manusia.”
Dua hadis itu menunjukkan bahwa menanam pohon amatlah penting bagi seorang Muslim. Hingga digambarkan seandainya kiamat akan terjadi atau Dajjal telah keluar sekalipun jika ada bibit pohon di tangan maka menanamkannya adalah tindakan yang tetap dianjurkan dalam Islam.
Sebenarnya ada perbedaan cara pandang (worldview) yang membedakan seorang Muslim dengan yang lain perihal menanam pohon tersebut. Jika manusia pada umumnya menanam pohon hanya bertujuan duniawi belaka, tidak demikian dengan seorang Muslim. Islam adalah agama yang Syamil, segala sesuatu dinilai dari sudut pandang duniawi serta ukhrawi alias tidak profan an sich .
Sehingga bagi seorang Muslim, menanam pohon sekalipun harus diniatkan dalam rangka ibadah guna mencari Ridho Allah. Karena di dalam Islam diajarkan bahwa segala sesuatu berdasarkan pada niatnya belaka.
Dalam Islam ada kaidah yang menyatakan,
ا لوسيلة لها احكاما لمقاصد
“Hukum wasilah tergantung pada tujuan-tujuannya.”
Dan beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini diantaranya adalah perkara wajib yang tidak bisa sempurna pelaksanaannya kecuali dengan keberadaan suatu hal, maka hal tersebut wajib pula hukumnya. Demikian pula sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepada perkara yang haram maka hukumnya mengikuti perkara itu, yakni haram.
Turunan dari kaidah ini adalah hal-hal yang mengikuti ibadah ataupun amalan tertentu maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan tersebut. Contoh, untuk melaksanakan sholat maka diwajibkan wudhu terlebih dahulu, maka perintah untuk melaksanakan sholat adalah perintah untuk menegakkan sholat beserta perkara-perkara yang mana sholat tidak sah atau sempurna melainkan dengan dilakukannya pula perkara tersebut, yaitu wudhu.
Jadi mempelajari ilmu wudhu wajib hukumnya sebab ia adalah perangkat utama yang menjadi sah tidaknya ibadah Shalat. Wudhu sebagai mukadimah dari sholat tidak bisa lepas dari komponen yang bernama air. Maka dari sinilah beberapa kitab dasar fikih selalu meletakkan bab thaharoh yang diawali dengan klasifikasi pembagian air dan hukumnya di awal pembahasan.
Dalam kitab Matan Ghoyah Wa Taqrieb disebutkan adanya larangan untuk membuang hajat baik kecil maupun besar di atas air yang tidak mengalir (diam), di bawah pohon yang sedang berbuah, di jalanan yang sering dilalui manusia, dan di dalam lubang (sarang hewan). (Matan Ghoyah Wa Taqrieb Lil Qodie Abi Syuja’ Ahmad Ibnul Husaini Asfihani, Jombang : Penerbit Madinah, Tanpa Tahun , halaman 03)
Lihat betapa Islam sangat memuliakan lingkungan bahkan dalam hal sepele sekalipun seperti larangan kencing dan berak sembarangan dalam suatu lingkungan. Inilah salah satu bentuk rahmatal lil alamin Islam pada lingkungan sekitar.
Dalam sebuah acara talk show berjudul Rumah Perubahan yang dipandu oleh Prof. Rhenald Kasali pernah ada sebuah pembahasan menarik yang bertema lingkungan hidup. Saat itu yang dihadirkan sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Emil Salim, SE yang pernah menjadi Menteri Lingkungan Hidup pada masa Orde Baru.
Menteri era Soeharto itu bercerita bahwa ia pernah berkunjung ke Sumenep, Madura, tepatnya daerah Guluk-guluk. Di sepanjang jalan menuju tempat yang dituju, ia bertanya kepada penduduk setempat tentang siapakah yang telah menanam pepohonan yang akhirnya menjadi hutan yang ia lalui itu.
Para penduduk menjawab bahwa yang menanam pepohonan itu adalah santri dan penduduk setempat atas titah sang kiai pengasuh Ponpes Annuqayah Guluk-guluk Sumenep. Setelah bertemu sang Kyai secara langsung, Prof. Emil kemudian bertanya gerangan apakah yang melandasi sang kyai dan santri menanam pepohonan selama 10 tahun lamanya hingga menjadi hutan lebat.
Sebelum sang kyai menjawab, Prof. Emil awalnya menduga bahwa alasannya pasti demi lingkungan semata. Namun jawaban sang kyai ternyata di luar dugaan. Kyai itu menjawab bahwa alasan mereka menanam pepohonan hingga jadi hutan adalah demi kesempurnaan sholat.
Prof. Emil yang kebingungan lalu mendapat penjelasan lebih lengkap. Bahwa Sholat membutuhkan wudhu dan wudhu membutuhkan air bersih, sedangkan air bersih berasal dari air sungai yang mengalir, air sungai berasal dari sumber mata air, sumber mata air berasal dari pepohonan, dan pepohonan yang banyak ada di hutan. Maka dari situlah mereka menanam pohon agar jadi hutan supaya mereka bisa mendirikan Sholat. (Rumah Perubahan Rhenald Kasali, Edisi 3 Arus Sustainable Development, 04 Juni 2013, bisa diakses di kanal YouTube dengan mengetik sesuai judul tersebut).
Apa yang dilakukan oleh masyarakat dan santri Pondok Annuqayah Guluk-guluk Sumenep itu adalah pengejawantahan nyata dari sebuah Worldview Islam. Bahwa bagi seorang Muslim, segala sesuatu di dunia ini harus dilakukan dengan niatan untuk beribadah kepada Allah SWT semata. Perkara keuntungan duniawi yang akhirnya ikut didapat maka hal itu hanya dianggap bonus belaka. Sebab yang terpenting adalah Ridho Allah semata. Wallahu A’lam Bish Showab.*
Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan