Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | “Yang paling aku takutkan pada suatu saat nanti adalah kerancuan berpikir para pemikir,” itu kata Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali. Pernyataan itu disampaikannya lebih dari sepuluh abad silam, tapi tetap relevan. Bahkan justru menemukan bentuknya pada saat-saat ini.
Kerancuan berpikir para pemikir, itu lebih berbahaya daripada ketidaktahuan orang awam atas pelanggaran yang dilakukan. Kerancuan berpikir para pemikir (intelektual) itu makin berbahaya, jika lalu jadi kebijakan dalam berbagai aspek, terutama menyangkut hukum agama, maupun hukum konvensional.
Akkhir-akhir ini muncul pendapat pakar di bidang hukum, yang secara bersamaan juga menduduki jabatan tertentu di pemerintahan. Maka ilmu yang dipunya coba diberi pemaknaan lain, dilempar sebagai wacana. Sambil melihat respons yang muncul. Jika respons yang muncul mengoreksi dengan tajam, maka ia akan cepat-cepat ngeles dengan dalil yang sudah dipersiapkannya.
Menurutnya, bahwa tindakan rezim bukanlah sebuah persoalan jika harus melanggar hukum sekalipun, jika itu untuk kepentingan rakyat. Jika pendapat itu muncul dari seorang pakar hukum yang juga pejabat, maka tidak tahu persis apakah pendapatnya itu masuk kategori rancu atau memang disengaja.
Persepsi pada pendapat yang demikian, itu lebih mengandung kesengajaan, sambil melihat reaksi yang muncul dikalangan pakar sejawatnya. Kepakaran yang demikian itu lebih pantas disebut, maaf, “pencoleng intelektual”, yang mencoba merampas kesadaran masyarakat atas tindakan rezim dalam pelanggaran hukum.
Prof Mahfud MD, Menteri koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), siapa yang tidak mengenalnya. Ia salah satu pakar hukum tata negara ternama. Maka kepakarannya tidaklah perlu diragukan. Ia juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Prof Mahfud memang akrab membuat berita, terutama lewat Twitter.
Suara Prof Mahfud dan kepakarannya, ditambah jabatan politis prestisius yang dijabatnya, lebih punya muatan suara kekuasaan. Maka pendapat yang disampaikan nuansanya menjadi lebih politis. Memang tidak sampai pada hukum yang dipolitisasi, tapi lebih pada memberi aksentuasi politis yang kuat dalam pernyataan-pernyataan hukum yang disampaikan.
Terbaru dari pernyataan Prof Mahfud, yang membuat tidak saja koleganya sesama pakar hukum yang lalu mengoreksinya. Tapi jadi semacam olok-olok awam hukum sekalipun yang melihat pernyataannya itu “menyesatkan”. Ia lah yang menyatakan, bahwa sesekali pemerintah melakukan pelanggaran hukum tidaklah masalah, jika itu untuk kepentingan rakyat.
Pernyataan itu disampaikan Prof Mahfud dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkomida) dan tokoh masyarakat, di Markas Kodam V Brawijaya, Surabaya, Rabu (17/3).
Katanya, “Dalil yang berlaku umum kalau di dalam ilmu konstitusi itu adalah Salus populi suprema lex; keselamatan Rakyat itu adalah hukum tertinggi.”
Pernyataan Prof Mahfud itu, sekali lagi, nuansanya lebih pada politis kekuasaan. Seolah memberi ruang pembiaran pada pelanggaran hukum atas nama kepentingan rakyat. Itu meski sebuah teori, sulit bisa diterima sebagai ikhtiar hukum, sulit bisa dirasionalkan. Hukum menjadi rentan dipakai sebagai alat kepentingan penguasa untuk “menggebuk” lawan politik dengan dalih demi kepentingan rakyat.
Operasi Petrus Seolah Dibenarkan
Apa yang disampaikan Prof Mahfud mengingatkan pada rezim Orde Baru pada pertengahan 80an, yang menghalalkan cara menghabisi penjahat dan preman bertato dengan operasi yang dikenal dengan nama pembunuhan misterius (petrus). Meski rezim Orde Baru tidak mengakui, bahwa operasi petrus itu dilakukan aparat resmi negara.
Meski korbannya entah berapa ribu bahkan puluh ribu mayat bergeletakan ditembus timah panas. Dieksekusi dengan diam-diam dan tanpa bisa membela diri dengan selayaknya.
Memang menjadi perdebatan, apakah mereka yang dieksekusi itu layak diperlakukan demikian, meski ada pihak yang senang bahwa perusuh masyarakat itu layak dihabisi dengan cara demikian. Tapi hukum tidak membenarkan, karena semua dilihat dari seberapa besar kejahatan yang dilakukan, dan itu lewat pengadilan.
Memang kemudian untuk beberapa saat kejahatan di masyarakat relatif menjadi menurun drastis. Menurut pandangan masyarakat yang simpati/setuju dengan operasi petrus, itu upaya negara melindungi masyarakat dari tindakan kejahatan. Tapi kalangan hukum, pegiat kemanusiaan dan agamawan mengecam sebagai tindakan diluar hukum.
Karena itu, sampai kejatuhan rezim Soeharto, operasi petrus tidak pernah diakui sebagai operasi legal yang dilakukan pemerintah untuk kepentingan rakyat. Rezim tahu bahwa operasi petrus, itu punya konsekuensi hukum sebagai pelanggaran hukum.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Maka menjadi aneh jika Prof Mahfud melemparkan wacana, bahwa pemerintah jika dianggap perlu boleh melanggar hukum, jika itu untuk kepentingan rakyat. Sulit dinalar, sekali lagi, meski ia lalu mengoreksinya bahwa yang disampaikan itu sebagai sebuah teori. Dan lalu ia menyebut bahwa teori itu termuat dalam buku karya Prof Ismail Suny.
Jika wacana demikian itu hanya sebagai teori, maka tidak sepantasnya disampaikan pada publik. Sebagai sebuah teori, maka itu hanya layak disampaikan di ruang-ruang kelas terbatas.
Wacana yang dilempar Prof Mahfud itu, jika lalu diadops negara, pastilah itu bukan kerancuan, tapi kesengajaan, lebih buruk dari operasi petrus yang bahkan tidak diakui rezim saat itu sebagai operasi resmi.
Tidak bisa disalahkan jika muncul pendapat, bahwa Prof Mahfud sedang mencoba memberi ruang pada rezim saat ini untuk melanggar hukum, dengan dalih yang sudah dipilihkan, demi kepentingan rakyat.
Apa yang dilakukannya itu, entah masih bisa disebut kerancuan berpikir, atau justru bukan. Tampaknya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali belum sempat mendefinisikan fenomena sebagaimana yang diwacanakan Prof Mahfud itu. Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya