Ketika sebuah organisasi menolak dakwah dan mempersekusi gerakan dakwah lain, bukan mendahulukan dialog keilmuan, ia akan memperburuk rating-nya di hadapan umat
Oleh: Arief Wibowo
Hidayatullah.com | SEKULARISME dan krisis kebenaran agama di masyarakat Barat, menurut Bryan S Turner diciptakan oleh individu-individu yang berkeliling, berbelanja spiritual ke berbagai aliran gereja. Masyarakat tidak lagi mau menerima kebenaran mutlak hanya dari satu gereja saja. Akhirnya kebenaran agama dijual kepada konsumen yang tidak lagi merasa wajib membeli. Ruang agama berubah menjadi semacam pasar penawaran dogma.
Kristen Barat, terutama dunia Protestan yang aliran gerejanya terpecah menjadi ribuan denominasi merupakan pihak yang paling terpukul. Seperti kita ketahui, Kristen adalah organized religion dalam pengertian yang sebenarnya.
Ada organisasi dan hierarkhie yang ketat. Ketika mengalami keterpecahan, perbedaan mewujud dalam bentuk aliran gereja yang berbeda. Dan menjadi Kristen, berarti harus mempunyai keanggotaan gereja.
Seperti lazimnya keterpecahan organisasi yang berasal dari wadah yang sama, maka perseteruan diantara pecahan-pecahan itu masih sangat tinggi. Pada masa lalu, keterpecahan itu berupa “truth claim” yang menyebabkan konflik horizontal antar gereja dengan korban jiwa yang tidak sedikit, sekitar 7,5 juta jiwa orang Eropa mati.
Sejarah tragis agama, yang memaksa para pemimpin gereja di Eropa duduk bersama dalam perjanjian Westphalia, dan akhirnya mengakui tiga aliran utama gereja, Katolik Roma, Lutheran dan Calvinisme sebagai aliran yang sama-sama punya hak untuk hidup dan berkembang.
Dari peristiwa inilah, gagasan toleransi mendapatkan pijakan dan terus dikampanyekan. Di internal Protestan, Perjanjian Westphalia mengalami internalisasi dalam bentuk Gerakan Oikumenis, yakni sebuah gerakan yang membangun relasi positif antar aliran gereja. Sebab, narasi kembali ke kitab suci, mengantarkan perbedaan pendapat yang tinggi antar pemuka gereja, yang melahirkan berbagai aliran gereja.
Kabarnya sampai hari ini ada kurang lebih ada 1500 aliran. Sementara di Indonesia, menurut pendeta Jans Aritonang, ada 400 aliran gereja.
Di era informasi, dimana pencarian kebenaran itu bisa dilakukan kapan saja dan dari sumber mana saja, maka organized religion menjadi pihak yang paling terpukul. Sebab, meski secara lahir mereka sudah menerapkan toleransi, tapi di bidang doktrin, perseteruan itu masih terasa.
Misal, di buku Kemenangan Akhir karya Ellen G White, yang menyebutkan Katolisisme sebagai perpaduan antara Kerajaan Tuhan dan Kerajaan iblis. Jadi kosongnya gereja yang bahkan di beberapa tempat dijual dan dijadikan masjid bisa jadi merupakan kegagalan para pemimpin gereja merespon zaman.
Narasi-narasi yang saling menegasikan di satu sisi dan keharusan menerima bulat-bulat doktrin sebuah gereja dengan menjadi anggotanya, menyebabkan masyarakat Barat memilih untuk keluar dari gereja dan menjalankan spiritualitas mandiri. Kelompok-kelompok kharismatis berusaha untuk melakukan terobosan dengan ibadah terbuka antar berbagai aliran tidak di gereja tapi di stadion. Tapi akhirnya gerakan ini juga menjadi aliran gereja tersendiri.
Alwi Shihab, dalam buku Islam Inklusif mengingat bahwa dunia Islam bisa saja mengalami hal serupa, dikarenakan banyak gerakan dakwah secara perlahan menjelma menjadi semacam denominasi gereja. Ada organisasi dan hierarkhie yang ketat dan umat seolah dipaksa milih untuk jadi NU, Muhammadiyah, Salafi, MTA atau Shiddiqiyah. Kalau tidak ikut, berarti tidak punya cantholan menuju surga.
Padahal, mayoritas umat Islam itu ada yang “freelance”, bukan pengikut satu aliran atau kelompok tertentu secara kaku. Pondasi interaksi antar aliran juga sudah baku, ada madzhab, ada iftiraq, ada ahlul kiblat dan sebagainya. Sehingga, ketika sebuah organisasi dakwah mempersekusi gerakan dakwah lain, layaknya perang antar organisasi, bukan dialog keilmuan, yakinlah ia hanya akan memperburuk rating di hadapan umat.
Ketidak setujuan, menurut saya tidak harus diwujudkan dalam bentuk penolakan kehadiran, tapi dengan persyaratan saja. Misal, Ustadz Hanan Attaki tampil bersama salah seorang Kyai muda NU yang juga dekat dengan anak-anak muda milenial. Jadi mereka ada dialog, bukan monolog. Dengan demikian, anak-anak muda kita tetap dipandu agama, sekaligus mempunyai pandangan yang luas.*
Koordinator Pusat Studi Peradaban Solo, tulisan diambil dari artikel akun Facebook