Oleh: Ali Akbar
“Michael Curtis Reynolds adalah pengangguran dan tinggal di rumah ibunya yang sudah lanjut usia di Wilkes-Barre, Pennsylvania, ketika dia menjadi teroris bentukan pemerintah.” (Trevor Aaronson, The Terror Factory, 2013)
Hidayatullah.com | KALIMAT pembuka Aaronson di atas benar-benar mencengangkan dan mengejutkan publik. Betapa FBI diglorifikasi dan dicitrakan demikian hebat khususnya dalam soal tindakan anti teror.
“Karena kerja cerdik FBI, rencana jahat dari seorang calon simpatisan Al Qaeda terbongkar,” papar Thomas A. Marino, Jaksa asal Pennsylvania, mengomentari penangkapan Reynolds. “Individu seperti Reynolds merupakan ancaman bagi keselamatan kita. Saya memuji FBI dan semua yang terlibat dalam penuntutan kasus ini demi membawanya ke pengadilan,” lanjutnya.
Namun Aaronson mematahkan semua citra glowing itu. Dengan nada sinis, jurnalis investigasi ini secara tegas mengungkapkan, ”Sembari menangkap beberapa tersangka teroris sejak 9/11, (tersangka) yang kita produksi lebih banyak lagi.”
Ada banyak aksi teror, ternyata dilakukan by design, lewat informan FBI atau agen intelijen yang menyusup (sting operation). Dan berkaca dari Reynolds, rekrutan teroris oleh FBI ini adalah orang-orang labil, bermasalah dari segi kesehatan mental, bertaraf ekonomi rendah, termasuk juga, kebanyakan dari komunitas Muslim. Barangkali ungkapan kill two birds with one stone cukup tepat untuk menggambarkan situasi ini.
Reynolds sendiri, di usianya yang menginjak 47 tahun, adalah seorang drifter dengan riwayat pekerjaan yang buruk, dan laporan kredit yang lebih buruk lagi. Pernah di tahun 1978, ia mencoba meledakkan rumah orang tuanya di Purdys, New York, dengan bom rakitannya sendiri.
Untung bom itu tidak meledak dan hanya menghasilkan api kecil. Reynolds mengaku bersalah.
Tahun 1982, ia menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Waktu itu ia berangan-angan bisa membangun kastil lengkap dengan menaranya. Namun sampai diceraikan istrinya pun, kastil itu tidak pernah terbangun.
Tahun 2005, karena marah dengan perang Irak, saat itu ia tinggal di rumah ibunya di Pennsylvania, Reynolds lalu masuk ke forum Yahoo bernama OBLCrew (OBL = Osama bin Laden), dan membagikan keinginannya mengebom Saluran Pipa Trans-Alaska. Dan dia membutuhkan bantuan finansial demi mewujudkan rencana gilanya itu.
Tapi tak ada yang merespon. Hari berikutnya kembali menulis, “Masih menunggu seseorang yang serius menghubungi. Sayang sekali jika ide ini hilang.”
Esoknya seseorang yang mengaku sebagai agen Al-Qaeda menanggapi dan menawarkan $40.000 untuk mendanai serangan itu, yang berkembang menjadi sebuah rencana untuk mengisi truk dengan bahan peledak dan mengebom kilang minyak di New Jersey dan Wyoming, serta Saluran Pipa Trans-Alaska.
Rencananya, keduanya bertemu di Rest Area Interstate 15, Idaho, dan Reynolds sangat percaya dengannya.
Sayang Reynolds tidak tahu bahwa si agen dengan iming-iming $40.000 itu, ternyata mata-mata FBI. Saat tiba di rest area tersebut (5/12/2005), Reynolds bukannya disambut oleh kawannya itu, bahkan langsung diciduk oleh agen FBI. Saat penangkapan, Reynolds hanya memiliki uang kurang dari dua puluh lima dolar.
Akhirnya, pengadilan memutuskan ia didakwa memberi dukungan materi kepada Al-Qaeda dan divonis tiga puluh tahun penjara.
”Apa yang menjadi jelas dari laporan saya adalah, bahwa dalam satu dekade ini, sejak 9/11, FBI telah membangun jaringan mata-mata terbesar yang pernah ada di Amerika—dengan informan sepuluh kali lebih banyak di jalanan hari ini daripada yang sebelumnya, selama operasi penyamaran Cointelpro yang terkenal itu di bawah direktur FBI J. Edgar Hoover—dengan sebagian besar mata-mata ini fokus mengintai terorisme dalam komunitas Muslim,” terang Aaronson.
Sebagai seorang jurnalis profesional, berintegritas (bukan kaleng-kaleng), dan punya daya kuriositas sangat tinggi, ia merasa perlu mendapatkan jawaban dari deretan list pertanyaan yang rasanya membutuhkan jawaban lebih detail. “Penasaran, saya mulai menarik catatan pengadilan tentang kasus-kasus ini dan mendokumentasikan mana yang melibatkan terdakwa yang, seperti Reynolds, tidak memiliki kontak nyata dengan organisasi teroris dan tertarik masuk ke dalam plot (skenario aksi teror) yang didesain sebelumnya oleh informan FBI. Sebuah pertanyaan provokatif untuk mendukung penelitian saya: berapa banyak yang disebut teroris itu, yang dimejahijaukan di depan pengadilan AS sejak 9/11, yang benar-benar teroris? Saya ingin melakukan analisis sistematis terhadap semua kasus terorisme sejak 11 September 2001,” ungkapnya.
Investigasi Aaronson tidak main-main. Setahun kurang lebih ia melakukan investigasi (2010-2011). Mengumpulkan data, membaca dan mempelajari, melakukan analisis, dengan dibantu beberapa kolega dan asistennya, hingga sampai pada kesimpulan yang sangat berani: teror itu diproduksi dan difabrikasi.
”Untuk setiap kasus, saya perlu meneliti ratusan–kalau tidak ribuan–halaman catatan pengadilan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya juga perlu menambahkan dan menganalisis terdakwa yang kasusnya memenuhi kriteria tindak pidana terorisme oleh pengadilan,” tulisnya. Bahkan ia menyiapkan tenaga pemeriksa fakta (the fact-checking manpower) dengan harapan ”to make sure that everything, from the data to the story, was correct and confirmed,” (memastikan semua data dan cerita yang diperoleh dan dipublikasikan itu benar dan terkonfirmasi).
Dari catatan Aaronson, hingga Agustus 2011, hampir satu dekade penuntutan tindak pidana terorisme sejak 9/11, ia memiliki database 508 terdakwa yang, oleh pemerintah AS, dianggap teroris. Dari total 508 itu, 243 di antaranya memang sudah ditarget oleh informan FBI, 158 ditangkap setelah operasi penyamaran terorisme FBI, dan 49 di antaranya sudah bertemu dengan seorang agen provokator.
Pemerintah AS sendiri memisahkan tindak pidana terorisme menjadi dua kategori. Kategori pertama, mencakup jenis pelanggaran berat yang biasanya dikaitkan secara langsung dengan aksi terorisme, seperti sabotase pesawat, penyanderaan, dan penyediaan sejumlah materi pendukung demi lancarnya aksi terorisme di lapangan.
Kategori kedua dapat berupa tindak kejahatan apapun, termasuk tindak kejahatan tingkat rendah seperti pelanggaran imigrasi, atau berbohong kepada agen FBI yang dilakukan oleh seorang yang dianggap memiliki hubungan, betapa pun tidak masuk akalnya, dengan terorisme internasional.
Sebagian besar pelaku teroris yang sebelumnya tidak ada komunikasi sama sekali dengan mata-mata FBI, juga tidak terlibat langsung dalam aksi terorisme di lapangan, masuk ke dalam kategori kedua tindak pidana terorisme ini. Ada 72 teroris kategori kedua ini didakwa sudah membuat pernyataan palsu, sementara 121 orang dituntut karena pelanggaran imigrasi.
Demi memerangi terorisme, AS mengalokasikan sekitar $ 3 miliar setiap tahunnya. Jika dirupiahkan, kira-kira Rp. 43,02 triliun. Laporan terbaru dari Tim The Cost of War project di Universitas Brown, Rhode Island, kisaran biaya yang digelontorkan untuk memerangi terorisme selama lebih kurang dua dekade ini (2001-2021) sebesar $8 trillion (setara dengan Rp. 114.720 triliun,-), dengan menelan korban jiwa kurang lebih 900.000 jiwa.
Uniknya, sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, AS tidak membungkam Aaronson. Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat adalah hak konstitusional setiap warga negara. Dan itu dirasakan Aaronson. Ia juga tidak asal menulis. Bukan hanya integritas yang dipertaruhkan, bahkan mungkin juga hidupnya.
FBI pun faktanya menerima itu sebagai satu kritik yang tak perlu ditanggapi dengan ancaman senjata. FBI tidak kelihatan lebay dan sok jago. Saya tidak bisa membayangkan jika seandainya dia hidup di satu negara dengan indeks demokrasi rendah, yang terbiasa membungkam dan mengekang kebebasan berbicara warganya dengan sederet pasal karet, yang bisa berujung di balik jeruji besi.
Pelajaran berharga dari Aaronson: siapa pun bisa berpotensi menjadi teroris, termasuk negara itu sendiri (state terrorism).*
Penulis tinggal di Jeneponto Sulawesi Selatan