Oleh: Andi Ryansyah
JELANG Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018, isu politik identitas diangkat oleh sebagian kalangan. Mereka trauma dengan Pilkada DKI Jakarta kemarin. Menurut mereka, politik identitas memicu konflik. Karena itu, mereka menentang dan berupaya mencegah politik identitas terulang di Pilkada tahun ini.
Tapi benarkah politik identitas memicu konflik? Untuk menjawabnya, kita perlu tahu dulu, seperti apa politik identitas yang mereka maksud? Kalau yang dimaksud adalah politik yang menggunakan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), maka seperti apa bentuknya?
Apakah bentuknya seperti sikap seorang Muslim yang tidak memilih pemimpin non Muslim karena larangan agamanya? Atau seperti dakwah seorang ulama yang menyampaikan ayat larangan memilih pemimpin non Muslim kepada jamaahnya? Kalau ini yang dimaksud, tampaknya itu tidak menyebabkan konflik di Pilkada DKI kemarin. Kelompok umat agama lain tak kelihatan ada yang marah, protes, demo, ribut dengan umat Islam karena hal itu. Antar mereka rukun-rukun saja. Artinya perbedaan identitas tak perlu menyebabkan permusuhan. Jadi tak usah khawatir.
Bagi umat Islam, tidak memilih pemimpin non Muslim dan mendakwahkan ayat larangan memilih pemimpin non Muslim –kepada yang Muslim juga tentunya–, selain merupakan ajaran agamanya, juga haknya yang dijamin dan dilindungi oleh pasal 29 UUD 1945. Artinya itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Juga bukan bentuk intoleransi. “Arti toleransi itu, “kata Tokoh NU KH Saifuddin Zuhri dalam Panji Masyarakat 15/10/1978, “adalah menenggang orang lain, tanpa mengorbankan prinsip.”
Umat Islam tadi sedang memegang prinsipnya. Menentang dan mencegahnya berarti mengurangi hak mereka dalam menjalankan ajaran agamanya dan menumpas identitas politik mereka. Ini cara-cara yang tidak demokratis, anti kebinekaan, inkonstitusional dan intoleran. Begitulah kalau batin tidak siap dengan konsekuensi logis kehidupan berdemokrasi yang menjunjung tinggi arti toleransi sesungguhnya. Karena itu, SARA(N) mereka ini tidak perlu dituruti. Kita jadi curiga, jangan-jangan mereka bukan trauma konflik, tapi trauma kalah.
Dalam ajaran Islam, politik dan agama tidak dipisahkan. Agama Islam tak hanya mengatur ibadah seperti shalat dan zakat saja, tapi juga seluruh aspek kehidupan, termasuk politik. Namun, politik Islam tak sebatas Pemilu belaka. Lebih dari itu, politik Islam adalah politik yang menjalankan nilai-nilai Islam. Politik yang memerangi kebodohan, kemiskinan, kesenjangan, korupsi, keterbelakangan, kezhaliman, dan ketidakberdaulatan. Politik yang menyejahterakan rakyat. Politik yang mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga.
Politik Islam adalah politik yang seperti digambarkan oleh Tokoh Masyumi M. Natsir dalam Capita Selecta (1973);
“Suatu negeri jang pemerintahnja tidak mempedulikan keperluan rakjat, membiarkan rakjat bodoh dan dungu, tidak mentjukupkan alat-alat jang perlu untuk kemadjuan agar djangan tertjetjer dari negeri-negeri lain dan jang kepala-kepalanja menindas rakjat dengan memakai “Islam” sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah sebagai kedok, sedangkan kepala-kepala pemerintahan itu sendiri penuh dengan segala matjam maksiat dan membiarkan tachajul-churafat meradjalela, sebagaimana keadaannja pemerintahan Turki dizaman Sultan-sultannja jang achir-achir, maka pemerintahan jang sematjam itu bukanlah pemerintahan Islam.”
Politik Hina SARA
Berbeda halnya kalau bentuk politik identitas yang mereka maksud adalah politik yang menghina SARA. Kalau ini baru memicu konflik. Wajar ditraumai. Mereka benar. Contohnya siapa lagi kalau bukan Ahok. Jelang Pilkada DKI kemarin, dia menghina Al-Maidah 51 untuk kepentingan politiknya. Apa yang terjadi setelah itu? Konflik sosial meletus. Umat Islam marah dan demo bela Islam berjilid-jilid. Menuntut dia diadili dan dibui. Pendukung Ahok tak mau kalah. Mereka bikin demo tandingan. Menyuarakan kebinekaan dan Pancasila. Jadilah Islam dan Pancasila seolah-olah bertentangan –padahal tidak. Sesama anak bangsa jadi ribut dan terbelah. Sungguh menyedihkan!
Baca: Antara Agama dan SARA
Betapa politik penghinaan SARA ini sangat mengoyak persatuan, keberagamaan, dan kebinekaan serta meninggalkan luka sosial-politik yang lama disembuhkan. Terlampau besar kerugian yang ditanggung bangsa kita jika Pilkada 2018 ada lagi politik intoleran macam ini. Cukup Ahok saja yang begitu!
Karena itu, politik penghinaan SARA ini wajib ditentang dan dicegah. SARA(N) mereka yang ini perlu –bahkan harus– dituruti. Penyelenggara Pilkada dan penegak hukum harus netral, adil, dan tegas memberikan hukuman yang berat kepada calon kepala daerah yang memainkan politik penghinaan SARA.
Dari perbandingan dua bentuk politik identitas yang dimisalkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi potensi konflik Pilkada 2018 bukanlah identitas politik Islam, melainkan politik penghinaan identitas SARA. Justru identitas politik Islam bisa menjadi pencegah konflik di Pilkada 2018. Sebab ia menghargai SARA dengan berpegang pada ajaran toleransinya lakum diinukum waliyadiin dan ajaran egaliternya inna akramakum ‘indallaahi atqaakum. Karena itu, umat Islam tak usah minder dengan identitasnya. Tunjukkan bahwa kita adalah umat yang punya identitas! Tunjukkan itu dengan sikap dan perbuatan!
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)