Oleh Teuku Zulkhairi, MA
SETELAH sekian lama dipasung sistem sekuler, akhirnya Islam kembali bangkit di Turki. Kebangkitan ini terjadi satu dekade silam sejak partai yang mengusung visi Islam, AKParti (Adalet Kalkinma Paritisi) mendominasi jagad perpolitikan di negara dua benua tersebut.
Persis seperti selama ini kita baca di media massa, dalam perjalanan saya ke Istanbul bebarapa waktu lalu, saya melihat dan merekam sendiri bagaimana geliat kebangkitan Islam di negara tersebut setelah sistem sekuler gagal membangun Turki sehingga sistem tersebut praktis sedang berada diambang keruntuhan. Oleh sebab itu, saya merasa penting untuk menulis hasil dialog bersama beberapa akademisi Turki tersebut selama saya di sana beberapa waktu lalu untuk menjadi bahan pelajaran bagi kita umat Islam di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya indikator kegagalan sekulerisme di Turki dan mengapa kita sebut sistem ini diambang keruntuhan? Secara umum, indikator kegagalan sekulerisme di Turki adalah pada catatan sejarah tentang ketidakmampuan Turki untuk bangkit selama hampir satu abad sejak sistem sekulerisme mencengkeram negera tersebut.
Seperti kita ketahui, sejak Mustafa Kamal Ataturk mengganti kekhalifahan Islam Turki Usmani pada tahun 1923 menjadi republik yang berideologi sekuler dan ke-Barat-baratan, negara tersebut praktis menjadi pesakitan dalam pentas peradaban modern negara-negara dunia. Padahal, sebelumnya Turki Usmani adalah sebuah kekuatan besar yang bahkan luasnya membentang di antara negara-negara Eropa dan Asia.
Lord Istanbul, kuku kapitalisme
Di bawah sistem sekuler, bukan saja Turki tidak mampu berperan dalam skala internasional di tengah banyaknya persoalan negara-negara di dunia ketiga, bahkan juga Turki kehilangan kemampuan terbaiknya dalam mengurus dirinya sendiri. Beberapa koran di era Turki lama memperlihatkan bagaimana kumuh dan miskinnya Turki dibawah sistem sekuler. Kondisi ini disebabkan karen kekayaan bangsa Turki hanya mengalir untuk Tuan-Tuan Istanbul (Lord Istanbul) yang menjadi penguasa negara tersebut di belakang layar.
Dengan sistem sekuler ini, Tuan-Tuan Istanbul yang terkoneksi dengan jaringan Masonik dan kapitalisme Internasional ini kian leluasa menguras kekayaan bangsa Turki dengan membudayakan ekonomi kapitalis dan sistem ribawi dalam perbankan. Lord Istanbul yang dipelihara sejak di era Mustafa Kamal Ataturk ini adalah penguasa Turki yang sesungguhnya, siapapun pemimpinnya. Dengan uang riba yang mereka peroleh dari kekayaan bangsa Turki, mereka bukan hanya menguasai ekonomi Turki, namun juga menguasai politik, pendidikan, hingga media massa.
Mereka mendirikan bank-bank swasta, meminjamkan uang mereka ke negara untuk kemudian menarik bunga riba sebanyak-banyaknya sehingga menyulitkan Turki untuk bangkit. Apalagi, jaringan kapitalisme internasional di luar Turki seperti IMF (Internasional Moneter Found) yang bekerjasama dengan Tuan-Tuan Istanbul ini senantiasa sigap memasung Turki dengan uang-uang pinjaman yang membuat Turki sulit untuk bangkit. Kondisi ini kian diperparah dengan pemasungan kebebasan beragama, terkhusus kepada umat Islam.
Dalam bidang politik, Lord Istanbul ini secara leluasa menentukan siapa saja wakil rakyat di parlemen yang mereka kehendaki. Dalam bidang pendidikan, pelarangan mata pelajaran agama di sekolah-sekolah dan pelarangan memakai pakaian Muslimah di tempat-tempat umum adalah sesuatu yang telah jamak diketahui masyarakat dunia pernah berlaku di Turki. Bahkan juga tidak sedikit perguruan tinggi yang sebelum era AKParti-Erdogan menolak menerima calon mahasiswa dari latar belakang pendidikan agama. Kalangan pelajar “pesantren” pun begitu terdiskriminasi.
Barangkali, penguasa sekuler paham betul bahwa sekulerisme akan ambruk jika mereka membiarkan bangsa Turki dekat dengan Islam, agama mereka sendiri. Bahkan, larangan-larangan itu berujung pada hukuman mati kepada Adnan Menderes, perdana Menteri terpilih Turki di era 1960 karena ia mencoba mengembalikan Islam dalam kehidupan masyarakat Turki. Padahal, umat Islam di negara tersebut adalah mayoritas. Jika ada pemimpin Turki yang mencoba melawan, seperti Perdana Menteri Najmuddin Erbakan, ia langsung dikudeta dan partainya pun dibubarkan.
Kebangkitan Islam di Turki
Dan kini, sejak Turki satu dekade silam berada di bawah kepemimpinan perdana menteri Receb Tayyip Erdogan (kini Presiden Turki), Turki bangkit secara dramatis. Berturut-turut AKParti menang dengan jumlah suara mutlak (melebihi 50 persen) dalam pemilu Turki, suatu capaian yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Turki lama. Sementara partai-partai sekuler seperti MHP dan CHP semakin tidak populer.
Sesuatu yang menjadi bukti nyata bahwa sekulerisme di Turki sedang berada di ambang keruntuhan. Bahkan dalam Pemilu legislatif tujuh Juni lalu, AKParti juga kembali menang melebihi 40 persen suara secara nasional, suatu capaian yang fantastis bagi suatu partai “Islamis” di negara yang secara resmi menggunakan sistem sekuler sebagai ideologi negara.
Kemenangan berturut-turut AKParti terjadi karena Recep Tayyip Erdogan sebagai figur sentral AKParti dengan izin Allah Swt selangkah demi selangkah telah membawa Turki ke arah kebangkitan, meskipun tantangan besar dari dalam dan luar negeri senantiasa menghadangnya. Di bawah Erdogan, pembangunan Turki kian bergeliat dalam berbagai bidang. Ekonomi Turki bergeliat dan pendidikannya pun semakin maju. Tidak hanya itu, militer Turki pun semakin kuat dengan penguatan alustita yang canggih.
Dilansir dari berbagai sumber, Turki baru dibawah Erdogan telah melakukan lompatan ekonomi yang besar, dari rangking 111 dunia ke peringkat 16, dengan rata-rata peningkatan 10 % pertahun, yang berarti masuknya Turki kedalam 20 negara besar terkuat (G-20) di dunia.*
Penulis adalah Alumnus Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh