Oleh: Buya Gusrizal Gazahar, Lc MA
BANGSA ini terasa seperti dalam mabuk laut karena diayun gelombang. Pusing dan mual berujung muntah membuat gaduh seluruh penumpang. Walaupun yang mengalami kondisi seperti itu tidak semua penghuni kapal namun yang mencemaskan, mabuk pelayaran itu bukan hanya menimpa penumpang kapal tapi juga menimpa banyak awak kapal bahkan juru mesin dan pengawal kapal pun terjungkal.
Kehebohan dan kegaduhan hiruk pikuk terdengar di setiap sudut.
Malangnya lagi, sang nahkoda pun tak menyadari kondisi karena ikutan-ikutan atau barangkali dia lah yang telah mabuk duluan.
Apakah arah kapal akan menabrak karang atau karam dilamun gelombang, sepertinya tidak banyak yang menyadari karena teriakan dan peringatan petunjuk keselamatan kalah bersaing dengan racauan mereka yang dalam separuh kesadaran.
Lebih dari itu semua, ada yang sangat menyedihkan yaitu kompas yang menjadi petunjuk arah, begitu pula peta yang menjadi pedoman pelayaran, minta diganti dan diperbaiki oleh mereka yang kehilangan pedoman fikiran dan peta keseimbangan bathin karena gejolak badai yang memutarbalikkan timbangan fikiran.
Tamsilan di atas menurut penulis adalah gambaran yang lebih mendekati ketika terbaca isyarat seorang pemegang amanah yang ingin mengawasi fatwa MUI dengan menempatkan aparat keamanan. Kalau mau berkoordinasi, kenapa bukan kemenag saja ? Atau memang sengaja untuk menunjukkan ketidak kompakan anggota tubuh penguasa ?!
Kalau sang pemegang amanah menyadari bahwa kompas bagus dan peta akurat mesti dirusak karena tidak faham atau munculnya keinginan berbelok tujuan dari awal, berarti dia sedang mengarahkan kapal ini untuk membentur karang atau tenggelam dalam palung samudera yang sangat dalam.
Jadi, melahirkan fatwa ulama yang telah dilaksanakan oleh MUI selama berpuluh tahun adalah kompas teruji akurasinya bahkan lengkap dengan peta pelaksanaannya yang sudah terbentang untuk diikuti. Namun sayang, ketidak fahaman awak kapal atau keengganan nakhoda karena ingin berputar haluan, telah membuat kedua panduan pelayaran itu menjadi objek kebencian.
Wahai para penguasa ! Sadarilah bahwa kapal ini telah berlayar tanpa panduan.
Bukan kompas dan peta pelayaran yang keliru tapi cara memandang tuan-tuan yang tidak benar karena melihatnya dengan cara terbalik baik lahir maupun bathin.
Fahamilah !
Fatwa MUI merupakan wujud dari peran negara yang menjamin umat Islam bisa menjalankan agamanya sesuai dengan tuntunan Syari’atnya. Itu juga merupakan implementasi dari sila pertama Pancasila.
Dalam Koridor inilah MUI mengelola umat Islam selama ini. Bingkai negara kesatuan telah menjadi sesuatu yang final dalam pandangan MUI. Pertimbangan komitmen kebangsaan tersebut telah menjadi bagian yang menjadi pertimbangan dalam melahirkan fatwa sesuai dengan porsi yang ada dalam proses instinbath (penyimpulan) hukum syari’at Islam.
Konsep mashlahah (pertimbangan kemashlatan menurut syari’at) dan al-‘uruf (tradisi baik yang berlaku) cukup memberi ruang bagi kondisi kebangsaan dan kekinian. Apalagi analisa maqashid (maksud penetapan hukum syara’), merupakan ruang yang cukup untuk mempertimbangkan bahkan memprediksikan berbagai dampak fatwa yang dikeluarkan.
Jadi tinjauan berbagai perspektif yang para penguasa minta, jauh sebelum negara ini lahir telah diamalkan oleh ulama dalam melakukan kajian terhadap berbagai persoalan yang akan difatwakan tapi tentu perspektif yang dimaksud bukanlah “perspektif selera” yang bila diikuti, hanya akan menjauhkan dari petunjuk Rasulullah saw dan menjauhkan dari berkumpul dengan beliau di surga kelak sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam:
سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ وَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ يَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Akan ada sepeninggalku nanti sejumlah pemimpin. Siapa saja yang masuk menemui mereka, lalu dia membenarkan kedustaan mereka, dan membantu mereka dalam kezhaliman mereka maka dia bukan bagian dariku, aku juga bukan bagian darinya, dan dia tidak akan menemuiku di telaga Surga. Siapa saja yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu mereka dalam kezhaliman mereka maka dia adalah bagian dari diriku, aku juga bagian darinya, dan dia akan datang menemuiku di telaga Surga.” (HR. al-Tirmidzi)
Peran Polri dalam Menyikapi Fatwa MUI tentang Atribut Keagamaan Non Muslim
Dan perlu juga tuan-tuan ingat bahwa seluruh penggunaan dalil yang telah tersistematis dalam manhaj al-istinbath (metoda penyimpulan hukum syara’) itu, tidak akan keluar apalagi bertentangan dengan dua sumber utama hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Kalau dalam ilmu hukum, tuan-tuan sering menyebut “supremasi hukum” maka para ulama empat belas abad yang lalu telah mempraktekkan siyadat al-nushush (سيادة النصوص/supremasi teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah)
Bila yang diinginkan oleh penguasa adalah pengawasan terhadap fatwa sehingga fatwa bisa keluar sesuai dengan pesanan, sangat tidak mungkin dan sangat tidak pantas dilakukan di negara berketuhanan seperti Indonesia ini.
Ulama manapun yang masih berpegang dengan keimanan dan keilmuannya, akan menolak cara-cara yang tuan inginkan. Mereka akan memilih lebih mengutamakan ketakutan kepada Allah swt dibandingkan kepada penguasa seperti tuan-tuan karena mereka membaca firman Allah swt:
وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan keridhaan dari Allah terbesar. itu adalah keberuntungan yang sangat agung.” (QS At-Taubah : 72)
Juga firman Allah Subhanahu Wata’ala:
{يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ ۖ فَإِن تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَىٰ عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ} [التوبة : 96]
“Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (QS. al-Taubah 9:96)
Berikutnya firman Allah swt:
…وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ ۖ …
“… dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti…”. (QS. al-Ahzab 33:37)
Dan firman Allah swt:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ لِيُرْضُوكُمْ وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ إِنْ كَانُوا مُؤْمِنِينَ
“Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, Padahal Allah dan Rasul-Nya Itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin.” (QS At-Taubah 9:62)
Semua ayat-ayat itu memberikan peringatan keras bahwa ridha Allah Subhanahu Wata’ala adalah tujuan utama yang harus dicapai dalam setiap sikap para ulama bahkan seluruh umat Islam.
Malahan dalam ayat itu ada peringatan agar jangan sampai ketakutan kepada manusia dan keinginan untuk mendapatkan ridha mereka, bisa mengalahkan ketakutan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan keinginan mencari ridha-Nya.
Di samping itu, peringatan hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berikut ini, juga menjadi teguran yang menakutkan bila mereka mengikuti langkah dan keinginan tuan-tuan.
ومن التمس رضى النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ سَخَطَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عليه الناسَ
“Siapa yang mencari keridhaan manusia dengan menimbulkan amarah Allah maka Allah akan marah kepadanya dan menjadikan manusia juga marah kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban)
Ketakutan kepada Allah Subhanahu Wata’ala itu lah yang mendorong para ulama memberikan persyaratan berat kepada siapa saja yang menempati posisi pemberi fatwa (mufti) di tengah umat.
Bukan hanya syarat keilmuan tapi juga syarat personal yang membuat para ulama pemberi fatwa itu akan berjalan lurus dalam fatwa mereka.
Al-Imam Ibnu Qayyim dalam kitab “I’lam al-Muwaqqi’in” menukilkan dari Imam Ibnu Batthah lima persyaratan yang dikemukan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal yang di antaranya termaktub:
أن يكون قويّاً على ما هو فيه وعلى معرفته
“Hendaklah mufti itu kokoh pendirian dan pengetahuannya”
Al-Imam al-Nawawi dalam kitab beliau “Adab al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti” menukilkan dari Imam Abu ‘Amru Ibn al-Shalah:
ينبغي أن يكون كالراوي في أنه لا يؤثر فيه قرابة و عداوة و جر نفع و دفع ضر لأن المفتي في حكم مخبر عن الشرع بما لا اختصاص له بشخص فكان كالراوي و الشاهد
“Sepantasnya mufti itu seperti seorang perawi (hadits) dalam hal dia tidak terpengaruh oleh kekerabatan, permusuhan, meraih manfaat dan menolak kemudharatan karena sesungguhnya mufti itu dalam posisi penyampai berita syara’ yang tidak ada pengistimewaan terhadap seseorang sebagaimana sikap seorang perawi dan saksi”.
Dengan segala pegangan dalil dan persyaratan seorang mufti yang telah dijelaskan di atas, maka intervensi penguasa terhadap fatwa MUI, menurut saya sudah merupakan pernyataan yang menunjukkan tiadanya penghormatan terhadap lembaga keulamaan umat Islam.
Bila ini dipaksakan maka jelaslah sudah bahwa ulama dengan penguasa di negeri ini, sudah berada dalam posisi saling berhadapan bukan lagi dalam satu barisan. Ini semua tentu tidak kita inginkan bersama !
Kalau saya salah faham dengan arah pernyataan (marma al-kalam) penguasa dan bukan seperti itu yang dimaksudnya, sebaiknya sesegera mungkin diklarifikasi agar kesalahfahaman ini tidak berlarut-larut.
Namun sampai saat tulisan ini saya rangkai kata demi kata, saya masih tetap berkesimpulan bahwa penguasa kita sudah bagaikan petuah masyarakat Minang:
“Kupiah nan sampik, kapalo nan batarah” (Kopiah yang sempit, kepala yang ditarah/dikikis).
Terakhir, terkait dengan sikap saudara-saudara kaum muslimin yang bereaksi menyikapi fatwa larangan penggunaan atribut non Islam oleh kaum muslimin, saya melihat itu adalah akibat kelalaian dalam menyikapi aspirasi selama ini yang diperparah dengan keberaadan penguasa dalam timbangan toleransi yang tak proporsional.
Ini lah pangkal bala permasalahan bukan ketiadaan rasa kebhinnekaan di dalam diri umat Islam. Untuk itu, sejarah dan fakta kekinian telah cukup menjadi jawaban.
Karena itu, saran saya kepada penguasa negeri ini, “ambillah fatwa itu ! Walaupun ia terkadang terasa pahit namun ia adalah obat yang akan membawa kesehatan dan mengembalikan kesadaran”.
Ke depan, biarkanlah fatwa berperan pada fungsinya dalam merawat keimanan dan ketaqwaan umat mayoritas ini agar bertahan berkah dan rahmat Allah swt yang termaktub dalam pembukaan UUD 45.
Bila tuan-tuan tidak memahami atau terlambat memahami, bukannya fatwa yang harus diawasi tapi latihlah diri untuk bertanya agar berilmu untuk mengawal diri.
Bukankah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berpesan:
…فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعَيِّ السُّؤَالُ
“…maka sesungguhnya obat ketidaktahuan itu adalah bertanya.” (HR. Abu Daud dari Jabir ra). Wallahu a’lam.*
Penulis Ketua Harian MUI Sumatera Barat (Sumbar)