Setelah dituding Tempo, ACT akan memasuki tahap sulit, sebuah drama sanksi administratif, drama hukum dikendalikan kepentingan “maha kuasa”, dan kemana nanti larinya dana akan ‘diamankan?”
Oleh: Faisal Lohy
Hidayatullah.com | DI TENGAH gempuran dan keberhasilan Tempo jatuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Aksi Cepat Tangap (ACT), tekanan dolar terhadap rupiah amat berat. Tidak main-main, kepanikan di pasar uang global memukul rupiah bertekuk lutut terhadap dolar AS selama 10 hari berturut-turut tembus Rp 15.040 per US$.
Pelemahan rupiah terhadap US$, selain dipengaruhi kenaikan harga minyak akibat diputusnya pipa North Stream 1 oleh Rusia ke 19 negara Eropa, eskalasi perang ukraina serta kebijakan zero Covid China, faktor terbesarnya dipicu arogansi AS lewat The Fed menaikan suku bunga sebesar 0.50-0.75 percented point.
Kenaikan suku bunga kebijakan AS dilakukan untuk merespon perlambatan ekonomi Paman Sam yang sejak awal tahun memang dilanda krisis. Terlihat dari struktur fundamental ekonominya yang terus menuju pendalaman ketergantungan terhadap impor.
Dikonfirmasi defisit perdagangan AS Triwulan I 2022, capai US$ 87.1 miliar. Disusul kenaikan inflasi umum capai 8.6%, dipicu inflasi energi 34.6% dan pangan 10.2%, tertinggi sejak 41 tahun terkahir atau sejak 1981.
Kenaikan suku bunga AS, memicu kenaikan yield obligasi (bunga surat utang) pemerintah di seluruh dunia, terutama emerging market, termasuk Indonesia. Yiled Obligasi tenor 10 tahun pemerintah Indonesia naik capai 7.4%. Di atas batas aman 6.7-6.8%.
Kenaikan yield ini, membuat modal asing di pasar uang money fly out ke AS. Picu defisit transaksi modal finansial US$ 1 7 miliar. Dampaknya, cadangan devisa berkurang dari US$ 139.1 miliar jadi US$ 135.6 miliar pada akhir kuartal I. Secara teoritik, fungsi utama cadangan devisa adalah mengawal stabilitas rupiah terhadap US$. Jika berkurang maka, rupiah pun jatuh seperti sekarang.
Di saat yang sama, rupiah juga anjlok lantaran fundamental ekonomi rill memang bertumpu pada impor. Sehingga cadangan devisa lebih banyak dikeluarkan buat bayar impor dibanding menerima pemasukan dari ekspor. Tingginya ketergantungan terhadap impor, selanjutnya menggerek naik inflasi akibat tekanan Imported Inflation.
Seperti kasus minyak. 80% lebih kita bergantung impor. 2 kali lipat lebih mahal harga karena kejatuhan nilai tukar dan kenaikan harga. Artinya, lebih banyak menguras cadangan devisa untuk datangkan minyak impor dari MOP’s.
Kenaikan harga energi, menggerek naik inflasi nasional. BPS menetapkan nilai inflasi Indonesia dalam status siaga. Sepanjang Januari-Juni (year to date), inflasi menyentuh 3,19%. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak Januari-Juni 2013 atau dalam sembilan tahun terakhir. Pada periode tersebut inflasi year to date mencapai 3,35%.
Inflasi tertinggi terjadi pada harga bahan pangan/makanan. BPS menyebut, bahan pangan menguras 65% pendapatan masyarakat Indonesia dengan relasi kemiskinan baru di atas 73%.
Terutama harga beras, dimana kenaikannya 10% diikuti naiknya 1.2 juta kemiskinan baru. Anjloknya rupiah dan meroketnya inflasi, selanjutnya bikin jebol APBN.
Hal ini terutama bengkaknya biaya subsidi, belanja sosial lainnya dan cicilan bunga utang. Terkhusus pada belanja subsidi energi (BBM).
Menjadi perhatian serius kalangan luas terhadap cara pemerintah mengakali jebolnya APBN lewat pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dengan menerapkan Aplikasi MyPertamina.
Situasi kritis juga nampak pada kondisi ULN yang capai Rp 6.068 triliun dengan relasi cicilan bunga utang yang mengalami defisit (neraca primer) Rp 462 triliun. Artinya APBN tidak memiliki dana Rp 462 triliun untuk bayar cicilan utang. Makanya harus ambil utang baru lagi untuk lunasi cicilan jatuh tempo di 2022.
Gali lubang tutup jurang
Anjloknya rupiah secara dramtis, ekonomi bergantung impor, serta tingginya cicilan utang ini, menjadi jawaban kenapa inflasi bergerak naik di atas target APBN 2022. Sampai-sampai mendag pun kaget, kenapa harga cabai bisa naik di pasaran.
Dalam hitungan BI, setiap kejatuhan rupiah 1%, inflasi naik 0.9%.
Dalam teori politik ekonomi, inflasi adalah alat penjajahan yang ampuh. Dia mencekik leher rakyat lewat kenaikan harga yang cenderung memiskinkan.
Sebaliknya berdampak efisien terhadap pelaku usaha swasta. Nampak pada nilai gini rasio nasional yang dalam catatan BPS capai 0.384. Melampaui standar aman IMF 0.25 dan Bank Dunia 0.35.
Artinya, ketimpangan pendapatan antara kaya dan miskin makin error. Kaya makin kaya dan yang miskin makin menderita.
Masalah sebesar ini, sayang belum mendapat respon serius. Ditengah situasi sulit yang mencekik batang leher rakyat, pemerintah malah sibuk dengan agenda politik lanjutkan kekuasaan di 2024.
Selain itu masalah se-serius ini juga belum mendapat respon masyarakat luas, lantaran dipukul kasus Hollywings dan ACT. Padahal di seluruh dunia, bahkan adidaya ekonomi semisal Amerika, China dan 19 negara Uni Eropa, telah menetapkan status dsrurat krisis dan memberi respon siaga.
Di Amerika, saat ini, inflasi tembus angka 8.6%, tertinggi selama 41 tahun terakhir sejak 1981. Di China penangguran naik 6.1%.
Di zona Euro, inflasi pangan serta energi masing-masing capai 7.5% dan 23%. Semuanya menakutkan.
Dan yang paling bahaya adalah persoalan krisis pangan akibat kelangkaan dan kenaikan harga. Oxfam dalam laporan terbarunya sebut, kenaikan harga pangan di seluruh dunia naik rata-rata 22.9% yang disebabkan kenaikan harga gandum global 40% akibat tensi geopolitik Ukraina dan Rusia yang memang mengendalikan 30% pasokan gandum global.
Krisis pangan sedang melanda dan akan terus menguat di tahun depan karena keberlanjutan konflik ukraina diperkirakan berlangsung selama 10 tahun ke depan. Dampaknya ke kemiskinan sangat horor.
Oxfam menyebut, sejak awal 2022, krisis telah menambah 1 juta kemiskinan baru setiap 33 jam sekali. Dengan kenyataan seperti itu, Oxfam menetapkan sepanjang 2022, krisis akan menambah 263 juta kemiskinan baru di seluruh dunia.
Mirisnya, di saat yang sama, di tengah krisis hebat, justru bertambah 1 miliarder dunia baru di waktu yang sama, setiap 33 jam sekali.
Artinya, 1 juta kemiskinan baru dibayar dengan kenaikan 1 miliarder baru selama 33 jam sekali. Inilah presedennya, di tengah krisis global berlangsung hebat, minoritas orang kaya, tetap menikmati hasil yang terus bertambah.
Hal tersebut menegaskan, sistem politik ekonomi dunia yang berlaku saat ini memang dibangun di atas fundamental yang rapuh. Cenderung serakah, moral hazard (sistem eror) dan profit adalah tuhan.
Inipun berlaku di Indonesia. Basis sistem yang tanpa belas kasihan, merampas hak milik orang banyak (menegah-bawah) dan diserahkan kepada minoritas orang kaya.
Kita semua tau, Rusia telah memotong pipa north stream I yang mendistribusikan minyak dan gas ke zona euro. Artinya, Rusia sedang menciptakan perang baru melawan Eropa yang mendukung AS dan NATO di Ukraina. Perang baru tersebut bernama “energy price war”. Perang harga energi!
Artinya, harga minyak dunia akan terus bergerak naik di atas US$ 110.06 per barel (WTI) saat ini. Meskipun Amerika (the big producer oil) dan OPEC bisa menjadi kekuatan penyeimbang pasokan, tapi daya tawar mereka lemah dalam konteks distribusi.
23 negara OPEC tiap harinya mampu produksi 28 juta barel minyak dengan sumbangan teebesar dari Saudi 10 juta Barel per hari. Tapi mereka tidak mengusai infrastruktur pipa distribusi.
Layanan mereka berbasis hilirisasi tanker laut yang cenderung tidak efisien. Distrubusi minyak mereka bertambah rumit dengan terhambatnya mata rantai supplay chain global akibat penerapan kebijakan zero Covid di China dalam bentuk penutupan kota-kota dan pelabuhan besar dunia.
Sejumlah pakar menyebut, kebijaka China digulirkan untuk mendukung Rusia mengahantam Eopa, AS dan sekutu dalam perang harga energi. Hasilnya, di tengah situasi krisis harga minyak sekarang, pasokan OPEC sama sekali tidak mampu menolong turunnya harga di bawah US$ 100 per barel.
Sekali lagi, di tengah kekacauan global seperti ini, Indonesia belum menunjukan perhatian serius. Sebaliknya malah sibuk berebut simpati rakyat dan manuver jahat lanjutkan kekuasaan di 2024.
Pastinya, kemarin otoritas moneter Indonesia telah memangkas pertumbuhan ekonomi dari 5.5% menjadi 4.7%. Hal ini mengindikasikan, indonesia sedang melamban dan secara bertahap menuju kirisis.
Kerentanan perekonomian menuju krisis sangat didukung oleh lemahnya kebijakan fiskal dan moneter Indonesia. Di sisi fiskal, kenaikan harga minyak di atas ICP US$ 63 per barel, telah menjebol keuangan Pertamina, menjebol APBN untuk subsidi solar dan pertalite.
Tololnya, politik kebijakan anggaran sangat tidak proporsional. Subsidi terus yang disalahkan, sementara belanja konsumtif lainnya tetap dipelihara. Semisal belanja pegawai dan modal.
Fiskal juga dibayangi defisit fiskal Rp 868 triliun akibat tekanan belanja konsumtif semisal belanja pegawai dan belanja modal. Fiskal juga dibayangi defisit primer Rp 462 triliun.
Artinya, APBN tidak punya uang sebanyak itu untuk bayar bunga utang. Harus ambil utang baru tuk lunasi bunga utang lama itu.
Fiskal juga dibayangi ULN yang capai Rp 6.068 triliun dengan risiko gagal bayar yang nyata. Kemampuan kita mencetak dolar AS dari proses ekspor untuk membayar utang tersebut sangat lema diukur berdasarkan DSR yang melampaui batas aman 215.08%.
Ketidak mampuan ini, sudah lama terjadi. Ambil contoh 2012, rupiah masih seharga Rp 12.700 terhadap dolar AS, sekarang jadi Rp 14.600. Artinya, kekayaan uang kita terus berkurang terhadap dollar AS.
Kata bank Indonesia, itu efek dari rupiah yang terus mencari keseimbangan baru. Saya menyebutnya, keseimbangan baru menuju pelemahan.
Karena sampai hari ini, sejumlah orang di BI sendiri tidak mampu menjawab satu pertanyaan saya: berapa batas bawah (undervalue) kejatuhan rupiah terhadap dolar AS ?
Tidak pernah bisa dijawab selama liberalisasi moneter masih dipelihara lewat rezim devisa terbuka dan sistem nilai tukar basis free floating exchange rate.
Dalam sistem seperti ini, BI, kementrian keuangan dan OJK tidak punya kuasa mengendalikan dan menentukan value rupiah. Pergerakannya dibiarkan menyesuaikan diri dengan irama pasar besar. Artinya ditentukan berdasarkan modal asing yang masuk-keluar pasar uang dan pasar saham.
Investor asing dibiarkan mencuri kekayaan uang indonesia setiap tahunnya atas nama imbal hasil investasi dengan pengembalian suku bunga yang mahal. Rakyat dibiarkan mampus dengan kenaikan harga akibat tingginya impor yang memiskinkan. Malah subsidi turut dikurangi.
Merespon masalah se-serius ini tidak bisa dengan pendekatan ilmu ekonomi. Karena ini persoalan kerusakan secara sistematis bukan persoalan rumus, efektifitas dan efisien. Kerusakan sistem harus diperbaiki dengan pendekatan sistem.
Lalu apa sistem ekonomi yang pantas menjadi alternatif dari mekanisme pasar yang cenderung serakah saat ini ?
Dikemanakan uang ACT?
Setelah dituding Tempo, ACT akan melaui tahap yang lebih sulit. Ia bakal dikeroyok lewat drama sanksi administratif dan drama hukum yang dikendalikan kepentingan “yang maha kuasa”.
Setelah dicabut Izin PUB oleh kemensos, giliran 60 rekening diblokir PPATK. Sesuai pasal 65 ayat (1), UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU, PPATK punya hak independen memblokir 60 rekening milik ACT yang disebut terindikasi TPPU.
Hal ini harus dikawal baik-baik masyarakat untuk antisipasi tidak terulangnya kasus-kasus pemblokiran rekening sebelumnya. Ujungnya justru merugikan donator dan ACT lantaran harta kekayaan dalam rekening yang diblokir, bisa saja diambil alih menjadi harta milik negara, status pengelolaan dan pemanfataannya, mutlak di bawah kendali pemerintah.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 67 ayat (2) UU TPPU: jika dalam waktu 30 hari kerja (setelah PPATK menyerahkan informasi dan harta kekayaan 60 rekening ACT kepada penyidik) penyidik tidak dapat membuktikan pelaku atau tindak pidana yang didugakan kepada ACT, maka penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan memutuskan untuk memasukan harta dalam rekening yang diblokir sebagai kekayaan milik negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Pengadilan punya waktu 7 hari untuk memutuskan.
Kira-kira, penyidik dan pengadilan akan memilih dan memutuskan opsi yang mana, dikembalikan ke pemilik yang berhak (donator dan ACT), atau dimasukan sebagai harta milik negara yang pengelolaan dan pemanfaatannya mutlak dibawah kendali pemerintah?
Namun sebelum penyidik dan pengadilan memutuskan, hal tersebut bisa dicegat. Sesuai pasal 66 ayat (1), UU TPPU disebutkan, pemblokiran 60 rekening milik ACT berlangsung selama 5 hari demi keperluan analisa dan penyempurnaan informasi yang akan diserahkan kepada penyidik.
Waktu pemblokiran dapat diperpanjang menjadi 15 hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (2). Jika dalam waktu 20 hari kerja, tidak ada pihak ketiga yang merasa keberatan, atau melayangkan gugatan, maka PPATK berwenang menyerahkan harta dalam rekening yang diblokir kepada penyedik sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 ayat (1).
Pada tahap ini, ACT atau pihak yang punya legal standing, harus mengajukan keberatannya. Jika tidak, harta dalam 60 rekening akan diserahkan PPATK ke penyidik.
Jadi hak dan kesempatan pengajuan keberatan, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, sebagai langkah awal mencegah pelimpahan 60 rekening ke tangan penyidik.
Karena jika sudah dilimpahkan, pilihannya cuma 2: jika penyidik mampu menemukan pelaku dan bukti tindak pidana, akan diserahkan ke pengadilan. Maka semakin mudah untuk menyita kekayaan dalam 60 rekening ACT menjadi milik negara.
Jika tidak menemukan pelaku dan pembuktian, penyidik tetap punya hak untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memasukan harta kekayaan donator dalam rekening ACT menjadi milik negara di bawah kendali mutlak pemerintah.
Kekayaan umat dalam 60 rekening ACT, on target! Penasaran bakal digunakan untuk apa ya?
Masyarakat silahkan mencari jawabanya! Jangan sampai duit umat di rekening ACT berpindah tangan ke pemerintah, soalnya pemerintah juga lagi butuh.*
Penulis Buku Republik Investor