Oleh: Fadh Ahmad Arifan
KETIKA tulisan ini saya buat, bertepatan dengan polemik razia Satpol PP kepada warung-warung nakal yang nekad buka di siang hari. Harap diketahui, Razia yang mereka lakukan semata-mata menegakkan Peraturan Daerah (Perda) di kota Serang, Banten. Akan tetapi oleh media sekuler dan pengamat berpaham liberal digiring opini seakan-akan tindakan Satpol PP kota Serang tersebut tidak manusiawi dan merampas rezeki pemilik warung yang barang dagangannya disita.
Lagi-lagi mereka berlindung dibalik kata “toleransi”. Kata mereka toleransilah kepada wong cilik yang mengais rezeki di siang hari. Umat islam tidak usah manja dengan meminta penutupan warung di siang hari. Digalanglah gerakan donasi uang untuk pemilik warung yang kena razia, terkumpul lebih dari 120 juta rupiah. Bagi Alifurrahman dalam artikelnya berjudul, “Bodohnya Gerakan donasi buat Ibu warung Terkena Razia”, gerakan donasi seperti ini adalah tindakan bodoh karena sudah di luar batas ekspresi. Selain itu, ketika ada seorang warga melanggar Perda malah diberi hadiah uang sebesar itu.
Yang menarik untuk dicermati adalah sikap warga Nahdlatul Ulama (NU) di kota santri tersebut, mengapa tidak bereaksi sama sekali atas tindakan Satpol PP? Ternyata mereka telah merilis edaran berisi himbauan agar warung dan tempat hiburan malam tutup dalam batas waktu yang ditentukan selama bulan puasa.
Sebuah surat tertanggal 25 mei 2016 yang dikeluarkan Pengurus cabang NU Kota Serang beredar di media sosial. Ditujukan kepada bapak walikota Serang. Elit-elit PCNU meminta pemerintah Kota Serang agar:
- Menjelang dan selama Ramadhan melakukan operasi Peredaran Miras dan tempat tempat yang digunakan untuk hiburan malam.
- Tidak memberikan ijin tempat di manapun di wilayah kota Serang yang digunakan untuk hiburan malam yang dapat mengganggu atau menodai kesucian bulan Ramadhan di kota Serang.
- Melakukan operasi penutupan selama Ramadhan kepada warung warung makanan/warung siap saji di siang hari dalam batas waktu yang ditentukan, baik warung kaki lima, warteg dan yang di Mall.
- Tidak melakukan kegiatan yang bersifat hiburan di masjid atau halaman masjid dalam bentuk apapun kecuali kegiatan-kegiatan pengajian.
Pertama-tama sebagai orang Madura, saya menaruh hormat kepada ras/bangsa Minangkabau yang membuka usaha Masakan padang. Tanpa dibuatkan Perda dan himbauan toleransi puasa Ramadhan, mereka istiqomah menutup kedainya. Baru buka sekitar satu jam menjelang adzan Maghrib.
Beda dengan yang lain. Meski ber KTP Islam, tanpa malu membuka warung atau kedainya walau ada Perda maupun himbauan MUI. Berarti orang Minangkabau lebih sadar beragama dalam artian toleransi kepada Muslim yang fokus berpuasa di bulan Ramadhan.
Bukan hanya itu, pemilik masakan Padang sering saya dapati memberikan seporsi masakan Padang kepada pengemis, kaum dhuafa dan musafir. Bahkan ada satu keluarga Jamaah Tabligh yang sedang “jaulah”, mereka layani dengan baik saat adzan Maghrib berkumandang.
Masakan Padang masuk dalam daftar menu berbuka puasa di Masjid Ahmad dahlan Yogyakarta. Sedikitnya 5 kali selama bulan Ramadhan, jamaah masjid di sana bisa berbuka puasa dengan masakan Padang dan Es Buah.
Di luar negeri, mereka yang kangen dengan masakan Padang harus berbuka dan sahur di Kedutaan RI terutama kedutaan di Kuala lumpur.
Di Phnom penh, Kamboja malah ada restoran khusus yang menjual masakan padang, namanya “Padang House“. Pemiliknya bukan orang Minangkabau, tetapi orang Malaysia.
Bergeser ke Benua Eropa, lebih tepatnya di Kota Den Haag-Belanda, di sana terdapat satu satunya restoran “Salero Minang” yang menjual masakan Padang. Disana tersedia kikil, rendang, gulai kepala ikan dan sambal lado. Restoran ini baru didirikan pada tahun 2011.
Apa yang membuat orang-orang ketagihan masakan Padang? Tentunya karena bumbu rendangnya. Sesekali ayah saya dengan bercanda ia berkata, “Seperti ada ganjanya, terasa gurih dan nikmat”.
Mungkin ini tidak ada hubungan dengan topic yang kita bahas. Tapi bisa jadi ‘keberkahan’ ini menjadikan Padang kian dikenal. Wallahu’allam.*
Penulis adalah Pengajar, tinggal di Malang