oleh: Henri Shalahuddin, MIRKH
Homoseksual yang Islami menurut Feminis
Di Indonesia, para pendukung kebangkitan kaum Nabi Luth terus bertambah, baik secara individual maupun berjamaah yang terorganisir melalui LSM dan paguyuban-paguyuban LGBT. Seorang profesor dari salah satu Universitas Islam Negeri (UIN) dalam sebuah wawancaranya secara sadar mengatakan: “Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.
Menurutnya, setiap manusia, apapun orientasi seksualnya sangat potensial untuk menjadi religius. Bagi ibu profesor ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian dan bukan lesbian di hadapan Tuhan. Bicara soal taqwa hanya Tuhan yang punya hak prerogatif menilai, bukan manusia. Manusia cuma bisa berlomba berbuat amal kebajikan sesuai perintah Tuhan (fastabiqul khairat). Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang saleh atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama…”. Dia juga menegaskan: “Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini”, kata doktor terbaik IAIN Syarif Hidayatulah 1996/1997 ini.(JP 58:122-127)
Dalam kesempatan lain, tepatnya setelah usainya acara “ICRP Conference 2011: Bahaya Instrumentalisasi Agama”, yang diadakan pada 15 Desember 2011 silam, ibu profesor ini diwawancara oleh seorang praktisi homoseksual tentang masalah LGBT. Saat ditanya apa motivasinya sehingga berani vocal bicara soal hak-hak kelompok LGBT, ibu yang biasa “berjilbab” ini mengatakan: “Ya.. saya melakukan itu semua karena saya yakin itu adalah ajaran dari agama saya. Jadi, pertama sebagai seorang muslim saya menyadari bahwa Islam adalah agama yang membebaskan kelompok yang mustadh’afin, kelompok yang tertindas, kelompok yang marginal, yang mengalami diskriminasi di masyarakat. Yang kedua sebagai warga negara Indonesia, saya yakin bahwa persamaan untuk semua warga negara itu dijamin di muka hukum… Karena itu juga merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk menjadi negara yang demokratis, menjadi bagian dari negara yang menegakkan human right. Karena Indonesia juga merativikasi hampir semua kovenan internasional mengenai hak sosial, politik dan budaya. Jadi sebagai seorang muslim, sebagai seorang warga negara Indonesia dan sebagai seorang manusia, saya menyakini bahwa perjuangan untuk melepaskan manusia dari segala macam bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan itu adalah bagian dari kerja-kerja kemanusiaan kita.”
Ketika dia ditanya apa tantangan terberat saat memperjuangkan hak-hak kelompok LGBT? Bu profesor ini menjawab bahwa tantangan itu juga datang dari kelompok-kelompok yang juga mengaku sebagai pejuang HAM dan pendukung demokrasi. Inilah yang disesalkan ibu profesor ini.“Kenapa mereka jadi tidak konsisten seperti itu!” Orang-orang seperti itu dia disebut:“Tidak mengerti apa itu demokrasi, bahkan mereka juga tidak paham esensi agamanya sendiri. Sebab orang yang beragama itu tidak akan melakukan tindakan yang diskriminatif.”
Selanjutnya saat ditanya apa pandangan Islam terhadap LGBT, ibu profesor ini menjelaskan bahwa “Bicara tentang Islam, ujung-ujungnya berarti bicara masalah interpretasi. Pertanyaannya, interpretasi siapa yang kita pakai?! Dan dalam Islam, terdapat banyak interpretasi. Sayangnya interpretasi yang dikembangkan kelompok-kelompok moderat dan pro demokrasi itu tidak banyak tersosialisasi secara luas di masyarakat. Inilah yang menjadi problem! Interpretasi yang berkembang dan tersosialisasikan di masyarakat, justru interpretasi yang sangat tidak compatible dengan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi”, paparnya dengan emosional.
Tentu sangat naif sekali jika seorang yang dianggap profesor dan mengenalkan dirinya pernah menyandang gelar doktor terbaik dari sebuah universitas Islam terkemuka di Indonesia memandang Islam sebatas interpretasi yang bermuara pada relativisme. Sehingga dengan pandangannya ini, tidak ada lagi yang pasti dan permanen dalam agama. Semuanya dikembalikan pada kepentingan si penafsir dan ditundukkan pada realitas zaman. Akhirnya, teks harus tunduk pada realitas, dan agamalah yang harus tunduk mengikuti jaman dan tempat, bukan sebaliknya.
Demikianlah sekilas contoh kerancuan pola pikir seorang profesor dan fenomena “jahil aplikatif”. Dalam kitab Tahzib Madarij al-Salikin, Syeikh Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa jahilitu adalah memandang baik sesuatu yang mestinya buruk dan menganggap sempurna sesuatu yang semestinya kurang. Jadi kejahilan bukan sebatas kosongnya akal dari wacana-wacana akademik. Bisa jadi kumpulan orang-orang seperti ini adalah mereka yang disebut sebagai golongan jahil murakkabalias bodoh kuadrat.
Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka itulah sebenarnya golongan yang tidak tahu dan tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Sebaliknya menganggap ketidaktahuannya sebagai kepakaran.Inilah sejatinya kumpulan orang-orang yang kalbunya sedang sakit. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah lagi dengan mengikuti hawa nafsu. Sebaliknya kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal).
Pandangan al-Qur’an terhadap Homoseksual
“Dan (Kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 80-81)
Arti fahisyah dalam ayat tersebut adalah homoseksual seperti yang dijelaskan pada ayat selanjutnya (81), demikian juga ditekankan dalam QS. al-Syu’ara: 165 dan QS. al-Ankabut: 29.Dalam tafsir al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari (w. 1143M), makna al-fahisyah dalam ayat tersebut adalah tindak kejahatan yang melampaui batas akhir keburukan (al-sayyi’ah al-mutamadiyah fi l-qubhi).
Ayat: ata’tuna l-fahisyata (mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu) berarti adalah bentuk pertanyaan yang bersifat pengingkaran dan membawa konsekwensi yang sangat buruk.Sebab perbuatan fahisyah seperti itu tidak pernah dilakukan siapapun sebelum kaum Nabi Luth. Maka janganlah mengawali suatu perbuatan dosa yang belum dilakukan kaum manapun di dunia ini.
Di penghujung ayat 81 surat al-A’raf, “bal antum qaumun musrifun”, (=malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas), dijelaskan oleh imam Zamakhsyari bahwa Kaum nabi Luth adalah kaum yang punya kebiasaan israf, yakni melampaui batas dalam segala hal. Di antaranya adalah berlebih-lebihan dalam melampiaskan syahwat hingga melampaui batas kewajaran dan kepatutan. (lihat: Tafsir Kasysyaf)
Penutup
Gerakan LGBT dan kebangkitan kaum Nabi Luth di Indonesia perlu diwaspadai sebagai kejahatan moral yang menghancurkan sendi-sendi nilai dan budaya bangsa Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa.
Penggerak LGBT adalah kumpulan aktivis sekular radikal dan ateis militanyang tidak menginginkan Indonesia sebagai bangsa yang beradab. Mereka menyusup di sektor pendidikan, media hiburan, LSM dan organisasi kemasyarakatan. Maka sudah seharusnya pemerintah dan instansi terkait mengeluarkan larangan tegas terhadap gerakan makar dari aliran-aliran ideologi yang membahayakan ini. Sebagai institusi yang digaji dari pajak rakyat seharus pemerintah lebih jeli melihat mereka sebagai teroris gaya baru. Sebab suara-suara sumbang yang menghalalkan homoseksual sebenarnya lebih bersumber dari jiwa yang sakit, mental disorder, emosi yang tidak stabildan nalar yang timpang. Wallahu a’lam bi l-sawab.*
Mahasiswa S3 di Universiti Malaya, Program Kaderisasi Ulama kerjasama DDII dan Baznas. Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Majelis Intelek dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)