Oleh: Fahmi Salim
TUDUHAN penulis buku “40 Masalah Syi’ah” terhadap para sahabat semakin menjadi-jadi ketika mengatakan, “Aisyah, Thalhah, Zubair dan sahabat-sahabat yang satu aliran dengan mereka memerangi imam Ali. Sebelumnya mereka berkomplot untuk membunuh Utsman”. Pertama, karena ia tidak menyebutkan sumber primer sejarah dalam hal ini. Kedua, karena soal perselisihan antara Khalifah Ali dengan Aisyah, Thalhah, Zubair dll itu adalah perkara ijtihad mereka dalam soal menuntut balas atas kematian Khalifah ke-3 Utsman bin Affan, bukan semata-mata perselisihan itu karena hawa nafsu dengan istilah ‘memerangi’ tanpa alasan jelas dan pasti. Ketiga, karena ia berani menyatakan bahwa mereka itu “sebelumnya berkomplot untuk membunuh Utsman”, dan dinyatakan sebagai “fakta sejarah” seolah-olah valid.
Sejatinya, pemberontak dan pembelot yang menyebabkan Khalifah Utsman terbunuh adalah para pengikut Abdullah bin Saba’, Awbasy Arab dan orang-orang Mesir yang dipimpin oleh Al-Ghifaqi bin Harb al-Ukba, sebagaimana dipaparkan oleh kitab-kitab tarikh seperti Tarikh Thabari, Al-Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir, Muruj al-Dzahab karya al-Mas’udi (sejarawan Syi’ah), al-Bidayah wa al-Nihayah Ibnu Katsir, Thabaqat Ibn Sa’ad, Al-Isti’ab dan lain-lain. Tak ada satupun sumber primer sejarah menyebutkan sahabat yang dikemukakan penulis itu terlibat dalam pembunuhan Utsman. Bahkan fitnah itu tertolak oleh riwayat Al-Mas’udi sendiri dalam Muruj al-Dzahab (vol.2/344-345) bahwa Thalhah, Zubair, Ali dan lain-lain mengirimkan putra-putra terbaiknya untuk membela khalifah Utsman dan menjaga rumahnya dari serangan para pemberontak.
Khusus mengenai fitnah kepada Aisyah yang dikatakan penulis ikut berkomplot membunuh Utsman, maka dugaan kuat saya, ia kutip dan ambil tanpa penyaringan lagi dari Kitab Al-Muraja’at karya tokoh Rafidhah modern Abdul Husain Al-Musawi, “Aisyah memprovokasi khalayak dengan memerintahkan mereka agar membunuh Utsman bin Affan: “Bunuhlah Na’tsal, karena ia sudah menjadi kafir!” (Catatan: Na’tsal adalah orang tua yang pandir dan bodoh). (Syarafudin al-Musawi, Dialog Sunnah-Syi’ah, Cet. MIZAN 1983, hal.357). Selain itu, secara halus penulis mengisyaratkan ‘kekafiran’ mereka dengan ungkapan, “Dengan begitu, mereka menentang wasiat Nabi SAW pada khotbah wada’ ‘Janganlah kalian kafir setelah aku tiada dan saling membunuh’…” [Shahih al-Bukhari, hadis 5688]). Suatu kekejian yang luar biasa.
Riwayat perkataan Aisyah itu, setelah ditelusuri, bersumber dari riwayat sosok bernama Nashr bin Muzahim yang oleh semua ulama jarh wa ta’dil dinilai lemah dan rusak. Lihat al-‘Uqaili dalam Al-Dlu’afa vol.4/300, Mizan Al-I’tidal vol.4/253, Tarikh Baghdad vol.13/282. Sementara riwayat yang benar adalah Aisyah tidak terlibat dalam upaya apapun, termasuk provokasi, untuk membunuh khalifah Utsman seperti diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Thabaqat al-Kubra, dan Al-Bidayah wa al-Nihayah.
Masih dalam soal ‘fitnah’ penulis terhadap sahabat adalah upaya mendiskreditkan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan ucapan Hasan al-Bashri (hal.83). Sebagai intelektual, sewajarnya penulis menelusuri riwayat dari Hasan Bashri itu benar atau tidak. Setelah ditelaah, ternyata ucapan itu bersumber dari riwayat At-Thabari yang berasal dari Abu Mikhnaf Luth bin Yahya al-Kufi yang ditolak dan dinilai lemah dan rusak oleh semua ulama jarh wa ta’dil seperti al-Dzahabi, Ibnu Hajar, Abu Hatim dan lain-lain. Bahkan ia mengutip dari Ibnul Atsir dalam Tarikh-nya, namun ternyata ucapan itu disebutkan tanpa sanad sama sekali dalam kitab itu. Jelasnya, upaya ‘menggebuk’ Muawiyah dengan ‘tangan’ Hasan al-Bashri, adalah usaha sia-sia.
Terkait tuduhan Syi’ah kepada Khalid bin Al-Walid ra telah membunuh Malik bin Nuwairah dan menikahi istrinya di malam hari (hal.84). Tertolak oleh fakta berikut ini:
– Soal pembunuhan Malik bin Nuwairah, adalah dibenarkan karena Malik adalah pemimpin kaum penolak zakat di masa Khalifah Abu Bakr, atau karena ia mengikuti Nabi palsu Sajah, sehingga Khalid membunuhnya karena ada alasan itu. Alasan itu tidak dapat digunakan dalih untuk mengqishas Khalid, sebagaimana perkara tersebut dulu pernah menimpa Usamah bin Zaid saat ia membunuh musyrik yang telah mengucapkan La Ilaha Illa Allah, yang membuat Nabi marah, namun Nabi tidak menerapkan qishas atas Usamah pada peristiwa itu.
– Soal tuduhan Khalid mengawini istri Malik, adalah kebatilan dan dusta. Coba tunjukkan satu sanad yang sahih dalam kisah mitos itu! Cerita palsu itu sengaja dikarang-karang oleh Syi’ah untuk membunuh karakter sahabat Nabi yang banyak berjasa menumpas kaum murtad dan melakukan futuhat. Seperti halnya imajinasi kaum orientalis yang menyerang karakter Nabi dalam kasus pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy ra, bekas istri Zaid bin Haritsah, putra angkat beliau.
Terakhir, dalam Soal keadilan sahabat Nabi mari kita renungkan beberapa hal berikut ini dan kita tanyakan hati kita dengan jujur, masihkah para sahabat layak dituduhkan sebagai kaum munafik dan kafir:
– Apakah masuk akal Allah telah memuji para sahabat Nabi, sementara mereka adalah orang-orang munafik, kafir dan murtad? Apakah Syi’ah juga menuduh Allah ta’ala sedang bertaqiyah pula?!
– Bukankah Nabi Muhammad saw melarang kita untuk duduk akrab dengan ahlussu’ dan ahli bid’ah apalagi dengan ahli kafir dan murtad. Menurut Syi’ah, Nabi ternyata sangat akrab dengan orang-orang murtad dan munafik yang tak lain adalah sahabat-sahabatnya itu. Maka siapa yang pantas disalahkan? Mengapa pula Allah tidak melindungi Rasul-Nya dari segala makar sahabat Nabi yang ‘murtad’ itu?
– Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam perintahkan kita untuk mengambil menantu dan mertua dari kalangan orang-orang baik dan shaleh, ahli agama dan berakhlak, serta melarang kita menjalin ikatan darah keluarga dengan ahli maksiat apalagi yang kafir dan murtad? Tapi mengapa beliau sendiri yang melanggar ketetapan tersebut?
– Kaum munafik di periode Madinah telah dijelaskan kelakuan dan perangai orang-orangnya di dalam Al-Qur’an yaitu, mereka yang malas berjihad dan enggan berinfak untuk membantu perjuangan Islam, mereka bahkan membantu musuh-musuh Allah dari kalangan musyrikin dan ahlikitab untuk menghancurkan Islam dan umatnya dalam banyak peperangan. Mereka juga mendirikan masjid dhirar sebagai pusat makar, pengintai untuk kepentingan kafir, strategi untuk menghancurkan Islam dll. Apakah para sahabat besar dan utama yang terkenal memiliki karakter seperti itu semua?
– Para pendiri Negara modern sangat selektif memilih para pendukung setianya untuk menopang proyek kenegaraan yang baru dibangunnya susah payah. Apakah logis jika Allah menelantarkan Nabi-Nya dari ri’ayah (pertolongan) dan ishmah sehingga Rasul memilih ‘gerombolan munafik dan kafir’ untuk menolong beliau dalam menyebarkan agama Allah? Apakah logis jika Allah sengaja membiarkan Rasul-Nya gagal dalam menegakkan risalah akhir zaman dan membangun umat percontohan bagi seluruh umat manusia?
Penutup & Kesimpulan
Demikianlah, sekilas catatan khusus saya terhadap buku 40 Masalah Syiah yang dibedah pada tanggal 17 Desember 2012. Buku itu, menurut Jalaluddin Rakhmat, dalam pengantarnya, ditulis untuk “Tumbuhnya saling pengertian di antara mazhab-mazhab dalam Islam”, bahkan juga “Kami memberikan buku ini kepada seluruh anggota IJABI sebagai PEDOMAN DAKWAH mereka” (hal.13).
Setelah penjelasan luas di atas, para pembaca dapat menyimpulkan sendiri apakah buku tersebut telah berhasil memenuhi tujuannya atau malah semakin memperuncing dan memperburuk situasi dan relasi Sunni dan Syi’ah di Indonesia? Dapatkah buku yang secara gamblang dan vulgar mendemonstrasikan berbagai tipu daya memutarbalikkan fakta, -tentu hanya bisa dilacak oleh pembaca ahli bukan orang awam-, dan memfitnah para sahabat Nabi, -seperti diuraikan dalam makalah ini-, dapatkah menumbuhkan saling pengertian di antara Sunni dan Syi’ah? Saya sangat kuatir, jika buku “Pedoman Dakwah” IJABI seperti ini isinya, maka ia akan menjadi buku “Pedoman Fitnah” terhadap Ahlusunnah di Indonesia. Bukannya menjadi “Pedoman Dakwah” yang menyuburkan semangat bil hikmah dan mau’idhah hasanah serta mujadalah bil ahsan, alih-alih akan menjadi buku “Penyesatan Dakwah” dan “Pemecah Belah Ummat” yang akan menjadi sumber masalah ketimbang menyelesaikan masalah. Tidak mungkin rasanya melahirkan sikap “saling pengertian antar mazhab dalam Islam”, jika masih terus menerus melakukan pemutarbalikan dan distorsi terhadap ajaran dan sejarah Islam.
Ketika penulis berkesempatan menanggapi semua kritik saya di atas, ia hanya bisa mengatakan bahwa sebaiknya saya dan para audiens penanggap menjauhi ‘violence communication’ (kekerasan komunikasi) seperti tuduhan pemutarbalikan fakta, fitnah, tidak jujur dsb. Sayangnya, saya tidak tidak diberi kesempatan lagi menanggapi penulis, karena moderator mengatakan waktu sudah habis tepat jam 12 siang. Padahal saya ingin sampaikan, apakah Jalaluddin Rakhmat tidak menyadari bahwa dirinya sendiri yang telah melakukan kekerasan dan terror mental dan akal ketika menumpahkan segala tuduhan dan fitnah kepada para sahabat Nabi lalu dengan entengnya mengatakan bahwa itu adalah “fakta sejarah” yang mesti diterima oleh kaum muslim?! Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil. Sekian, wallahu a’lam. [selesai]
Penulis adalah Komisi Pengkajian MUI dan Wasekjen MIUMI