Oleh: Daru Nurdianna
“…Bahwa sains bisa berkembang dan maju, jika di dunia ini dikosongkan dari tradisi atau Agama yang menyatakan adanya kekuatan supernatural di dunia ini… Jika dunia ini dianggap manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang…” – Harvey Cox
SUATU ketika, ada seorang siswa SMA Negeri atau mahasiswa Perguruan Tinggi yang merasa sulit untuk memahami hubungan tentang ilmu sains dan agama. Bahkan ada yang dengan alasan yang ilmiah dan sistematis, mereka punya argumen untuk memisahkan hubungan sains dan agama. Wajar saja sih, ya mau gimana lagi. Ia tumbuh dalam kondisi pendidikan sekolah Negeri yang basis kurikulumnya sekular, sehingga jauh dari nilai-nilai transendental. Maksudnya trasendental adalah jauh dari nilai-nilai yang menonjolkan rohani atau keimanan. Di kurikulum itu juga, tokoh-tokoh sains yang diangkat dalam buku ajar adalah tokoh-tokoh Barat. Ditambah lagi dari keluarganya juga bukan keluarga yang agamis. Siswa terbiasa belajar sains tanpa agama di dalam kelas. Sehingga aneh jika mengaitkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits di dalam kelas. Sebenarnya tidak berdosa kan ketika guru mengaitkan dengan agama di dalam kelas? Ya, kendalanya juga tidak ada guru yang menyadari bahwa sains dan agama bukan dua entitas yang terpisah. Kalau sudah begini, maka, sudah komplit dah!, akhirnya dinding sekularisasi sains dan agama sukses dibangun di dalam jiwa siswa-siswa itu.
Paham sekular yang memisahkan agama dan sains telah memberikan kerugian yang amat besar terhadap umat beragama, terkhusus umat Muslim. Sebenarnya, ide sekular ini dari mana sih? Ini perlu untuk kita gali. Dari sana kita akan memahami sebenarnya umat Islam tidaklah perlu untuk mengikuti sekularisasi karena bukan dari Islam, tidak Islami dan bertentangan dengan Islam. Sekularisasi telah memisahkan manusia dari ayat-ayat kauniyah yang tertulis di alam. Sehingga hati gersang tatkala belajar tentang Biologi, Fisika, Matematika. Akhirnya, orientasi siswa untuk menguasai ilmu itu untuk membangun peradaban Umat atau kemaslahatan umat tidakklah terbangun. Karena baginya, belajar sains itu tidak ada kaitannya dengan agama dan tidak bisa menambah keimanan. Ini nih masalah!
Sejarah dan Konsep Sekular
Untuk memahami lebih lanjut mengapa kaum Muslimin tidak perlu mengikuti paham sekularisme maka, kita perlu memahami dari mana asal muasal paham tersebut. Sekularisai singkatnya berawal dari pergumulan perseteruan pihak Gereja dan Saintis di Eropa pada Zaman Pertengahan (Medieval Period) yang dimana saat itu agama Kristen sebagai sentral peradaban Barat tidak memberikan ruang pada ilmu pengetahuan dan bahkan justru menghalangi ilmu pengetahuan bisa berkembang. Saat itu ketika orang Barat berfikir, mereka menjauhi gereja karena doktrin apriori gereja terasa mencurigakan dan konsep Tuhan menjadi meragukan. Akhirnya para pemikir Saintis mencerai agama dan sains. Mereka lebih tertarik mengambangkan budaya Filsafat Yunani dari pada gereja.
Akhir Abad ke-18 terjadi kekacauan yang kusut di Eropa. Saat itu terjadi revolusi sosial dan pergolakan yang mengubah pandangan manusia dari keyakinan kepada Tuhan menuju penyembahan alam materi yang sekularistik. Peran agama dipisahkan dari fungsi agama. Akibatnya, komersialisasi dan industrialisasi kehidupan, revolusi sains, dan visi keduniaan berubah dari persoalan moral dan keyakinan kearah kapitalisasi kehidupan, pasar bebas, peluang-peluang hedonisme, dan free-sex (seks bebas) yang meluas.
Teolog Kristen mulai pada abad ke-20 sepeti Karl Bart, Dietrich Bonhoeffer, Freidrich Gogarten, Paul van Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner dan Lotte Pels, Harvey Cox dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat yang modern-secular.
Baca: Mencari Sains Islam
Mereka menegaskan bahwa ajaran Kristen harus sesuai degan pandangan-hidup (worldview) sains moden yang sekular dan mereka membuat penafsiran baru terhadap Bibel seta menegasikan penafsiran lama bahwa ada alam lain yang lebih kuat dan hebat dari alam ini.
Komponen integral di sekularisasi menurut Harvey Cox, salah satunya memiliki sistem disenchantment of nature yang berasal dari terjemahan die Entzuberung der Welt yang diambil dari gagasan Max Weber. Bahwa sains bisa berkembang dan maju, jika di dunia ini dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan adanya kekuatan supernatural di dunia ini. Manusia harus mengekploitasi alam seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan-dunia agama manapun.
Jika dunia ini dianggap manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang. Jadi, dengan cara apapun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Maka ajaran, ajaran-ajaran Agama dan tradisi harus disiingkirkan. Jadi, alam bukanlah suatu entitas suci (devine entity).
Zaman modern, Filsafat Emanuel Kant sangat berpengaruh. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak berlandaskan panca indra. Hal ini untuk menjawab keraguan terhadap Ilmu Pengetahuan yang dimunculkan oleh David Hume yang skeptik.
Emanuel Kant membuat demarkasi yang tegas bahwa agama adalah non-ilmiah dan sains adalah imiah. Ideologi sekular akhirnya mejadi fondasi kepada berbagai disiplin keilmuwan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi-dari kapitalisasi, pertanian sebagai korban-, dan lain-lain. Maka, apakah pantas Islam mengikuti ajaran sekular? Padahal Peradaban Islam berpusat pada sikap mengakui dan mengikuti wahyu, sehingga muncullah ilmu pengetahuan dan peradaban. Sejarah sudah membuktikan.
Sains dan Agama
Sentuhan transendental dalam pendidikan di non-pondok pesantren dinilai sangat diperlukan. Sentuhan rohani diperlukan karena ini bisa membentuk cara pandang siswa kedepan dan menentukan masa yang akan datang. Siswa atau mahasiswa yang memiliki cara pandang agamis, akan lebih mudah membentuk pribadi yang bermoral dan berakhlak mulia. Karena dalam dirinya ia menyadari akan keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan dan perkara kehidupan selalu terhubung dengan Sang Pencipta. Sehingga, nilai-nilai amoral terkikis. Itulah jiwa sehat yang terpancar dari keimanan dan keihsanan.
Orientasi paham sekularisme adalah dunia semata. Maka, pendidikan yang berbasis sekular hanya berakhir pada cita-cita keduniaan saja. Dipersubur dengan adanya degradasi nilai pendidikan menjadi perusahaan untuk mengeruk kekayaan dari konsumen (walisantri), yang menjadi pendidikan sebagai ‘lahan basah’ mencari keuntungan materil. Maka nilai moril tidaklah lagi penting.
Kemajuan sains dan teknologi hanya untuk memenuhi nafsu manusia tanpa memperhatikan nilai-nilai agama. Hati akan menjadi kering, karena saat belajar sains, peserta didik dijauhkan dari nilai Keimanan. Harga yang sangat murah jika dibanding dengan prinsip ajaran Islam. Islam menuntut penganutnya untuk mengejar Akhirat, karena dunia hanya sementara. Jika mengejar akhirat, Allah telah berjanji bahwa dunia akan mengikutinya. Sebaliknya jika orientasinya hanya dunia, akhirat tidaklah didapati.
Dalam uraian BNSPI (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan Indonesia) mengenai pelajaran agama dalam standar di semua jenjang pendidikan telah ditemukan bahwa nilai agama direduksi menjadi sekadar alat untuk mendidik ‘mental-spiritual’. Yang bermakna bahwa agama hanya diposisikan sebagai instrumen pengembangan potensi kepribadian yang sangat individualis. Seperti terdengar suara besar yang samar bahwa itu juga mengatakan “tidak ada tempat untuk agama dalam ruang publik dan sains”. Pun tidak hanya itu, semua Agama diposisikan sama rata. Maka nilai pluralisme agama pun tidak dielakkan harus diakui.
Dalam kasus tersebut, jika dilihat dari perspektif dari agama lain mungkin tidak masalah. Namun, jika dikaitkan dengan Islam, maka konsep ini bermasalah. Islam sebagai deen tidak sekedar mentalistas pribadi, namun sebagai instrument peradaban yang bahkan mejadi basis dari peradaban itu sendiri. Islam memiliki ruang lingkup yang multidimensional, menyeluruh, dan berlaku bagi siapapun karena nilai-nilainya universal. Islam mencakup budaya, politik, ekonomi, sosial, sains, dan peradaban yang inheren dalam seluruh ajarannya. Lebih dalam lagi, Islam mencakup cara berfikir, cara melihat, cara merasa, cara menyikapi realitas dan kebenaran yang nampak dan tidak nampak dengan mata hati, yang menembus langit dan nilainya berpusat pada Allah (teosentrisme). Hal ini bertolak belakang dengan paham sekular yang manusia sebagai pusat nilainya (antroposentrisme).
Maka, Syed al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekularisme mengatakan bahwa kita harus melakukan islamisasi yang pertama-tama melakukan pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, nasional-kultural, dan sesudah itu melakukan pengendalian pembebasan jiwa dari paham sekular terhadap nalar dan bahasanya. Penjelasan tersebut merupakan penggambaran tentang Islamisai yeng bermakna sebagai suatu proses pembebasan. Kita harus menolak sekularisasi secara lahir maupun batin karena sekularisasi bukan bagian dari Islam, dan tidak sama sekali Islami.
Diharapkan pembebasan tersebut memunculkan semangat kepada para siswa dan mahasiswa untuk belajar sains yang sesuai dengan cara pandang Islam. Belajar adalah ibadah, dan ibadah untuk membangun ilmu dan peradaban. Menyambung kembali spirit para saintis Muslim yang telah menjadi pioner dalam ilmu-ilmu penting. Diantara para saintis besar Muslim dan temuannya adalah sebagai berikut: Ibnu Ishaq al-Kindi w.800 (pakar falsafah, fisika, dan optik); al-Battani w. 858 (Pakar astronomi dan matematika); Al-Farabi w.870 (pakar falsafah, logika, sosiologi, sains dan musik); Ibn Sina w.980 (pakar kedokteran, filsafat, matematika); Omar al-Khayyam w. 1044 (Pakar matematika dan penyair), Ibn al-Haitham w.965 (pakar fisika, optik dan matematika), Abu Raihan al-Birruni w.973 (Pakar astronomi dan matematika), Ibn Sina w. 980 (Pakar kedokteran, filsafat, dan matematika), al-Zarqali w.1029 (Pakar astronomi penemu astrolabe) dan lain-lain. Maka, menjadi sebuah keniscayaan menjadi saintis sekaligus menjadi Muslim yang ta’at. Dengan bangga kita bisa mengatakan Islam Yes! sains Yes! sekular No!*
Penulis adalah peserta Program Kaderisasi Ulama’ (PKU) UNIDA Gontor