Ibnu Atho’ ketika ditanya mengenai apa itu tasawuf ? Ia menjawab, “Tasawuf adalah merasa tenteram bersama Allah. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus (10): 62). Maknanya, orang yang tidak pernah bersedih alias senantiasa berbahagia adalah para Waliyullah. Dan maqom itu tidak bisa didapat melainkan lewat jalur pembersihan hati (tazkiyatun nufus/tasawuf).
Mengenai “kemerdekaan” para Sufi ini, Dzun Nun pernah mengisahkan, “Aku melihat seorang wanita di salah sebuah pantai Syria, dan aku berkata padanya: ‘Dari mana asalmu (semoga Tuhan melimpahkan kasih-Nya padamu)?’ Dia menyahut: ‘Dari orang-orang yang panggulnya jauh dari ranjang.’ Aku berkata: ‘Dan ke mana tujuanmu?”, dia menjawab, “Mencari manusia-manusia yang tiada dirintangi oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh kegiatan dagang dalam mengingat Allah.
Aku berkata, “Perikan mereka.”, ‘ Lalu dia pun mulai menyitir puisi, “Yang mereka tuju adalah bersatu dengan Tuhan. Hasrat mereka melambung pada Nya semata. Kesetiaan mereka hanya teruntuk Tuhan, Wahai pencarian mulia, demi Dia yang Selamanya Ada! Mereka tiada ikut berebut kesenangan dunia. Kemuliaan, anak-anak, kekayaan dan kemewahan. Segala keserakahan dan selera tiada mereka hargai. Hidup enak dan senang di kota-kota, menghadap kaki langit nan jauh, lamat-lamat nun sana. Mereka cari Yang Tak Terbatas, dengan tekad nun kuat. Mereka runut alur-alur padang pasir, dan puncak gunung tinggi berduyun-duyun mereka panjat. (At Ta’riful Mazhab Ahli Tasawuf; Al Kalabadzi).
Abu Yazid Al Bushtomi mengatakan bahwa, “Sufi (bagaikan) anak-anak yang duduk tenang di pangkuan Allah.” Jika di dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang (QS. Ar Ra’du : 28), lalu bagaimana dengan mereka yang duduk tenang di pangkuan Allah? Tentu kebahagiaan tidak akan pernah lepas dari mereka apapun kondisi duniawi dan dhohir mereka.
Baca: Ke Mana Kebahagiaan Harus Diburu? (1)
Ada satu sahabat bernama Imran Bin Husain Radhiyallahu Anhu yang terkenal dengan kesabarannya. Dalam kitab Syarh Iqna’ yakni kitab Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khatib diceritakan bahwa kesabaran yang dimiliki oleh Imran bin Husein mengundang decak kagum malaikat. Sehingga malaikat pun tak segan mengirimkan salam kepada Imran bin Husein secara khusus dan secara terang-terangan tanpa perantara. Hal itu mengingat ketika Imran bin Husein menderita sakit perut yang begitu parah. Dalam suatu riwayat bahkan sakitnya selama 30 tahun.
Suatu ketika ia mengadu kepada Rasulullah ﷺ agar penyakit yang dideritanya lekas sembuh. Ia pun didoakan oleh Rasulullah. Seketika ketika selesai didoakan oleh Rasulullah, sakit yang dideritanya bertahun-tahun itu langsung sembuh.
Tak ada lagi rasa nyeri dan perih pada perutnya sebagaimana yang dideritanya dulu. Ia pun kembali ke kediamannya dengan perasaan bahagia. Namun, sesampainya di rumah ia menjumpai hal yang janggal. Kini, ia tak lagi bisa melihat malaikat yang selalu mengirim salam kepadanya. Akhirnya ia pun mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah.
“Wahai Rasul, apa gerangan yang menyebabkan malaikat tak lagi mengirimkan salam kepadaku?”
“Hal itu disebabkan karena kesembuhanmu wahai Imran,” Jawab Rasulullah ﷺ .
“Kalau begitu, tolong wahai Rasulullah agar engkau berkenan kembali mendoakan agar penyakitku dikembalikan padaku,” pinta Imran bin Husein.
Seketika itu, ia kembali menderita sakit sebagaimana semula. Setelah itu ia kembali bisa melihat malaikat yang menyampaikan salam kepadanya.
Kisah masyhur dari salah seorang sahabat Nabi yang menganggap rasa sakit bukan sebagai musibah tentu akan sulit kita temui di zaman ini. Mereka adalah kaum yang tidak melihat sakit sebagai musibah tetapi kebahagiaan dan menganggapnya sebagai pemberian dari Sang Kekasih yang mesti dinikmati dan disyukuri. Ini tentu maqom kebahagiaan yang bertolak belakang dengan nalar manusia biasa. Lebih-lebih pada zaman materialistis ini.
Di dalam sejarah Islam masa Rasulullah ﷺ jamak diketahui bahwa setiap pulang dari peperangan maka yang pertama kali dicari oleh para wanita (ibu dan saudari wanita para sahabat yang ikut perang) adalah Rasulullah ﷺ . Bahkan ada seorang wanita yang diberi kabar bahwa anak-anaknya semua syahid dalam peperangan, namun dia tidak bersedih dan malahan bahagia sebab selain anak-anaknya mendapatkan syahid di saat yang sama mereka dapat kabar bahwa Rasulullah ﷺ selamat. Dan keselamatan Rasulullah ﷺ itulah yang menjadikan kebahagiaan bagi mereka.
Dari beberapa penjabaran dan contoh kisah di atas kita bisa mengetahui bahwa konsep kebahagiaan menurut Islam sebagai agama yang syamil memang berbeda dengan konsep kebahagiaan ala Barat yang mengukur sesuatu berdasarkan apa yang empiris belaka. Islam memiliki pandangan khas mengenai definisi kebahagiaan.
Prof. Syed Naquib Al Attas menjelaskan di dalam bukunya bahwa di dalam pemaknaaan konsep kebahagiaan dalam pandangan Islam terkandung istilah sa’adah, dan ia mempunyai pertalian dengan dua dimensi kewujudan: kepada kewujudan di akhirat (ukhrāwiyyah) dan pada kewujudan di dunia (dunyawiyyah). Lawan sa’adah adalah shaqawah, yang membawa arti kecelakaan yang besar, kesengsaraan secara amnya (umum).
Mengenai kewujudan di akhirat, sa’adah merujuk kepada kemuncak kebahagiaan yang terakhir, tiada yang melebihinya, iaitu kesenangan dan nikmat yang berkekalan, yang terala adalah ru’yat Allah, yang dijanjikan kepada mereka yang semasa hidupnya di dunia ini menyerahkan diri dengan sukarela kepada Allah dan mentaati segala perintah dan laranganNya dengan penuh kesedaran dan pengetahuan.
Oleh itu, maka nyatalah pertalian yang erat antara kebahagiaan di akhirat dengan kebahagiaan di dunia yang merangkumi tiga perkara : (1) diri (nafsiyyah), yang melibatkan ilmu dan sifat yang terpuji. (2) badan (badanıyyah), seperti kesihatan badan dan keselamatan, dan (3) segala yang selain dari diri dan badan (kharijiyyah) seperti kekayaan dan selainnya yang menggalakkan kesejahteraan diri, badan, dan perkara-perkara lain yang berkait dengannya.
Maka dari itu, kebahagiaan di dunia ini bukanlah hanya berkait dengan kehidupan duniawi sahaja, malah ia berkait yang juga dengan kehidupan abadi kelak berpandukan kenyataan yang dijelaskan oleh agama bersumberkan wahyu. (Ma’na Kebahagiaan Dan Pengalamannya Dalam Islam; Syed Naquib Al Attas, hal 1-4).
Penjelasan Syed Naquib Al Attas itu selaras dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Jika penghuni Surga telah masuk Surga, Allah Subhanahu wa Ta ’ala berfirman, (yang artinya) “Apakah kalian (wahai penghuni Surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan Surga)?” Maka mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?” Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni Surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah Azza wa Jalla”. Kemudian Rasulullah ﷺ membaca ayat tersebut di atas. (HR. Muslim).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Baca: ‘Abdan Syakura; Pintu Bahagia
Dari perbincangan yang ringkas tetapi menyeluruh berkenaan ma’na dan hakikat kebahagiaan serta pengalamannya dalam Islam kita dapat membuat kesimpulan bahawa kebahagiaan dalam kehidupan duniawi ini bukanlah sesuatu yang berakhir dengan dirinya sendiri, bahawa sesungguhnya tujuan akhir kebahagiaan adalah cinta kepada Tuhan dan bahawa di dunia ini ada dua peringkat kebahagiaan.
Peringkat pertama adalah peringkat nafsi yang bermula dan berakhir dari saat ke saat yang dapat diperikan sebagai perasaan dan citarasa, dan ianya dapat dicapai dengan tercapainya segala yang diperlukan dan diingini menurut perilaku yang baik yang berasaskan kepada sifat-sifat mahmudah.
Peringkat kedua adalah peringkat ruhani, yang kekal, yang dialami secara sedar, yang menjadi landasan hidup di dunia ini yang diisbatkan sebagai percubaan, dan nasib baik atau buruk yang ditempuh merupakan ujian bagi menilai kelakuan dan amalan mahmudah; iaitu tidak terpengaruh ke arah kesalahan dengan nasib yang baik dan tidak mengalah dan merasa hampa dengan nasib yang buruk.
Peringkat kedua ini, apabila dicapai, berlaku bersamaan dengan peringkat pertama, hanya segala yang diingini (wants) kian berkurangan dan segala yang diperlukan (needs) sudah mencukupi. Kebahagiaan di tingkat kedua menjadi persediaan kepada kebahagiaan di tingkat ketiga yang akan berlaku di Akhirat kelak, yang terala ialah Ru’yat Allah. Tiadalah perubahan dalam ma’na dan pengalaman kebahagiaan ini sebagaimana yang dialami dan disedari oleh semua yang benar-benar beriman dari zaman ke zaman. (Ibid. hal 43-44).
Dan inilah pembeda nyata antara Islam dengan ajaran lain dalam mendefinisikan makna kebahagiaan. Islam memiliki konsep kebahagiaan sendiri yang khas dan syamil berdasarkan pandangan alam (worldview) yang khas pula. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan