Antara implikasi terbesar pemikiran liberalisme agama adalah meniadakan sama sekali hukum-hakam yang boleh menggelincirkan iman seseorang.
Oleh: SS Dato’ Seri Dr. Zulkifli bin Mohamad al-Bakri
Hidayatullah.com | LIBERALISME agama adalah satu bentuk serangan pemikiran yang paling menonjol dan berbahaya pada abad ini. Apabila disebut serangan pemikiran atau al-ghazwu al-fikri di dalam bahasa Arab, ia merujuk kepada serangan yang bukan berbentuk fisik, tetapi ia mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan brain washing atau dengan istilah lain thought control atau ideological reform.
Setiap ideologi atau ajaran akan mendakwa mempunyai otoritas kebenaran dan berusaha meyakinkan pihak luar dengan berbagai cara. Penerimaan kebenaran pada pemikiran seseorang memerlukan pembersihan terhadap kepercayaan lama orang tersebut tentang makna kebenaran. (Lihat Islam dan Serangan Pemikiran, hlm. 11).
Serangan pemikiran ini apabila dilihat dari susunan katanya sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan serangan itu bukanlah secara fisik separti menggunakan senjata atau apapun yang berhubungan dengan gerakan fisik separti kekerasan, tapi lebih merupakan serangan yang sepintas lalu tidak kelihatan atau tidak disadari tetapi mampu menembus akal dimana akal seseoranglah yang menentukan gerak tubuh dan perilaku seseorang tersebut.
Penggunaan istilah al-ghazwu al-fikri di kalangan umat Islam, berarti maksud sebenarnya adalah ghazwu al-fikri al Islami atau serangan yang ditujukan kepada pemikiran Islam oleh lawan pemikiran itu sendiri. Serangan ini biasanya difahami berasal dari dunia Barat atau doktrin bukan Islam yang mempunyai kepentingan tertentu terhadap agama dan umat Islam. (Lihat Pembaratan di Dunia Islam, hlm. 11-12).
Serangan pemikiran terhadap dunia Islam bermula dengan usaha westernisasi yang dilakukan oleh pihak Barat. Westernisasi berasal dari kata Inggris westernization yang membawa arti proses membaratkan sebuah negara. (Lihat Kamus Dwi-Bahasa, hlm. 1428).
Antara dua sasaran gerakan westernisasi atau pembaratan adalah memaksakan falsafah-falsafah materialisme yang mengandungi kedengkian, hawa nafsu, angan-angan ateis dan pengingkaran terhadap segala sesuatu yang tidak terjangkau oleh penglihatan (empirik) dan tuntutan-tuntutan metodologi dalam kajian. Kedua, mengingkari agama dan menganggapnya sebagai tahap perkembangan yang terkebelakang daripada tahap-tahap kemajuan sosial, memisahkan Islam dari politik dan akhlak masyarakat serta menyerang akidah dan nilai-nilainya. (Lihat Pembaratan di Dunia Islam, hlm. 9).
Berasaskan sasaran ini, berbagai ideologi dan pemikiran baru yang datang dari Barat dibawa masuk ke dunia Islam termasuk faham liberalisme agama. Ia ditambah pula dengan proses globalisasi yang sedang berlaku di seluruh dunia, maka ia telah menghasilkan suatu perubahan yang agak drastik terhadap pegangan akidah dan pemikiran umat Islam. Dalam konteks kajian ini, serangan pemikiran liberalisme agama akan dinilai melalui perspektif Ahlu Sunnah Wal-Jamaah, kokoh dan berpengalaman dalam menghadapi tantangan pemikiran yang menyimpang.
Bagi menilai fenomena liberalisme agama yang kian membarah dalam masyarakat, kami akan memperincikannya dengan melihat kepada tiga isme utama yang menjadi instrumen kepada penyebaran faham liberalisme agama dalam masyarakat Islam iaitu sekularisme, humanisme dan pluralisme agama.
Sekularisme
David Marten menyatakan istilah sekularisme berasal dari bahasa Latin saeculum iaitu secular yang mempunyai banyak dan luas pengartiannya separti juga perkataan religion. (Lihat The Religion and The Secular: Studies in Secularization, pg. 48). Sedang Michael Hill pula menyatakan bahwa sekularisme ini adalah merujuk kepada masa dan tempat. (Lihat A Sociology of Religion, pg. 229).
Syed Muhammad Naguib al-Attas menghuraikan maksud masa ialah masa sekarang yang bersifat kekinian dan tempat pula ialah dunia yang bersifat keduniaan. (Lihat Islam, Faham Agama dan Asas Akhlak, hlm. 72).
Prof. Dr. H.M. Rashidi menyatakan sekularisme adalah sistem etika dan falsafah yang bertujuan memberi interpretasi atau pengaturan kepada kehidupan manusia tanpa kepercayaan kepada Tuhan dan Kitab Suci atau kehidupan di kemudian hari. (Lihat Sekularisme Dalam Persoalan Lagi, hlm. 20).
Menurut kamus Dewan Bahasa dan Pustaka perkataan sekular ini diartikan sebagai duniawi. Lihat Kamus Inggris Melayu Dewan, hlm. 886. Manakala kamus Oxford pula ialah keduniaan dan kebendaan tanpa keagamaan dan kerohanian. (Lihat Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, hlm. 771).
Sebagai kesimpulannya, sekularisme adalah faham yang mengasingkan urusan keduniaan separti pentadbiran, ekonomi, politik dan sebagainya daripada bercampur dengan urusan keagamaan atau ketuhanan. Atau ringkasnya, faham yang ingin membebaskan diri daripada cengkaman atau peraturan agama dalam kehidupan.
Nilai-Nilai Sekularisme yang Menentang Agama
Sekular mau menerima agama sebagai anutan umat tidak lebih daripada itu. Namun paham sekular tetap menolak Islam karena syariah dan akidah Islam dijadikan sebagai asas dalam kehidupan ini. Ini adalah satu kendala dan batasan bagi mereka.
Islam hanya diterima sebagai ibadah dan ritual saja manakala pengamalannya bergantung kepada individu. Akhlak dan adab Islam diterima tetapi mereka tidak mau terikat dengannya. Semua perkara halal dan haram bergantung kepada individu atau masyarakat, bukannya ditentukan agama.
Sekular hanya akan mengambil perkara tertentu daripada Islam sekiranya ia cocok dan sesuai dengan kehendak mereka. Oleh itu, dalam banyak hal, kaum sekular telah menyatakan perang terhadap Islam. (Lihat al-Islām wa al-‘Ilmāniyyah Wajhan li Wajhin, hlm. 83). Kelompok sekular sekedar shalat, puasa, haji dan umrah. Tetapi mereka musykil dan tidak memahami Islam secara tepat. Dalam hal ini, mereka juga tidak menjadikan ulama dan pemikir Islam yang dipercayai (tsiqah) sebagai rujukan. (Lihat Awlawiyyāt al-Harakāt al-Islāmiyyah fi Marhalah al-Qadāmah, hlm. 170.
Syariah adalah musuh utama kaum sekularis. Ini adalah lanjutan daripada penentangan mereka terhadap agama dan akidah. Syariah Islam banyak bertentangan dengan undang-undang dan falsafah perundangan mereka. Misalnya, pengharaman riba, judi, miras, zina dan sebagainya.
Bagi mereka, Allah diakui sebagai pencipta alam saja bukan pemerintah seluruh alam. Mereka beranggapan bahwa perundangan (hukum) dan pemerintahan adalah hak mutlak mereka.
Oleh karena itu, mereka bisa melakukan sesuatu mengikuti kehendak dan kemauan mereka tanpa batasan atau ikatan agama. Mereka ingin membebaskan diri mereka daripada ikatan agama.
Gerakan Kamalisme di Turki adalah merupakan manifestasi terpenting menunjukkan realitas ini. Gerakan ini berdasarkan sekularisme, materialisme, nasionalisme, peoplisme, republikanisme, revolusi dan menjuruskan kepada de-Islamisme.
Gerakan ini melakukan pembaharuan undang-undang yakni undang-undang Barat menggantikan al-Quran dan al-Sunnah. Undang-undang civil dari Italia, undang-undang perdagangan dari Jerman sedang undang-undang pidana dari Swiss. (Lihat Sekularisme: Perkembangan Dalam Masyarakat Muslim, hlm. 38).
Bahkan seorang pemimpin politik beraliran Islam di Turki, Reccep Tayyip Erdogan pernah dihukum penjara selama empat bulan dan tidak boleh memegang jabatan apapun selama periode tersebut oleh Mahkamah Konstitusi Turki atas tuduhan mencoba untuk menghapuskan sistem sekuler Turki. Di sisi lain, Turki Bulent Arinc telah dikritik karena istrinya, Munevver mengenakan jilbab saat menghadiri upacara resmi. Pendekatan Munevver telah dianggap menantang prinsip dasar sekularisme negara itu. (Lihat Berita Harian, 22 November, hal. 24).
Oleh yang demikian, kelangsungan sekularisme terus menerus berlaku dalam masyarakat Islam. Perasaan ingin maju dan rasa hormat terhadap budaya sekular ini telah menyebabkan masyarakat Islam mencoba membebaskan diri daripada pegangan agama sebaliknya menyesuaikan diri dengan nilai-nilai sekular. Ini bukan saja berlaku di Turki saja tetapi telah menular sehingga negara-negara lain separti Iran, Iraq, Mesir, Algeria, Suriah, Tunisia dan lain-lain termasuk Malaysia.
Humanisme
Istilah humanisme sebagaimana yang difahami pada hari ini adalah merujuk kepada satu sistem pemikiran atau isme yang memberi penekanan terhadap nilai kemanusiaan dan kebajikannya. Faham ini juga telah menafikan kebergantungan manusia kepada unsur agama dan agama dilihat sebagai suatu yang menyusahkan hidup manusia. (Lihat Encyclopedia of Ethics, 2/800).
Menurut Ali Shari‘ati, humanisme menekankan peranan akal fikiran, budi pekarti, keintelektualan dan kehendak manusia sendiri dalam menyelesaikan segala perkara yang terdapat di dalam dunia ini. Semua benda dinilai dengan logik akal manusia yang sudah pastinya terbatas.
Manusia bagi pendukung aliran humanisme ini telah disifatkan sebagai mempunyai nilai moral sejak azali lagi dan akan bersikap baik sekalipun tidak berpegang kepada ajaran agama dan tidak percaya kepada Tuhan. (Lihat Marxisme and Other Western Fallacies, an Islamic Critique, pg. 23).
James R.Ozinga juga menjelaskan bahwa tidak ada kebajikan yang terkandung dalam gagasan humanisme. Mirip atau mirip dengan ateisme yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Manusia adalah makhluk cerdas yang mampu mengatur kehidupan dan mampu menghadapi segala permasalahan yang muncul meski tanpa tuntunan agama. Agama menurut para pendukung aliran ini harus dihapuskan jika ingin mencapai jati diri. (Lihat Communism, the Story of Idea and Implementation, pg. 237).
Humanisme dengan makna dan pendekatan atheism sebagaimana yang difahami hari ini merupakan cetusan idea tokoh komunisme; Karl Marx. Ini diakui oleh dua orang tokoh yang banyak membahas dan mengkaji latar belakang faham ini yaitu Bruno Baucer (1882) dan Ludwing Feuerbach (m. 1872). Menurut Karl Marx, humanisme diperkenalkan bertujuan untuk menafikan kewujudan dan kekuasaan Tuhan seterusnya memisahkan manusia dengan agama. Bahkan, Marx dengan berani telah menegaskan bahwa manusia adalah pencipta agama dan bukan agama yang mencipta manusia. (Lihat Encyclopedia of Ethics, 2/801-802).
Dari pemahaman humanisme inilah perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) di Barat dimulai. Di tingkat internasional, perjuangan hak asasi manusia memang menjadi agenda yang sakral. Ini dimulai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 atau Declaration of Human Right 1948.
Deklarasi tersebut dipelopori oleh PBB. Di antara komunitas dunia terkuat yang mendukung perjuangan hak asasi manusia adalah komunitas Eropa sampai mereka meratifikasi Konvensi Eropa 1950 tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum atas negara-negara anggota komunitas Eropa.
Di antara beberapa hal yang dikatakan sebagai HAM oleh PHAMS 1948 adalah Pasal 16 (1) yang berbunyi: “Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution”.
Bagi penganut Islam perkara ini sudah tentu bertentangan dengan syariat Islam yang telah menentukan hukum- hakam berkaitan pernikahan.
Begitu juga Perkara 18 yang berbunyi: “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance”.
Bagi Islam, Perkara 18 jelas tidak boleh diterima karena telah melanggar hak asasi umat Islam dalam beragama.
Pluralisme agama
Pluralisme agama adalah pandangan, fikiran dan keyakinan bahwa agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari segi ontologi, soteriologi, dan epistemologi. Separti dikemukakan Peter Byrne, profesor di King’s College London UK, pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga tesis.
Pertama, semua tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk kepada satu realitas tunggal yang transcendent dan suci; kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan; dan ketiga, semuanya tidak ada yang final.
Artinya, setiap agama mesti senantiasa terbuka untuk dikritik dan ditinjau kembali. Di antara tokoh-tokoh yang mengembangkan faham pluralisme agama adalah separti Raimundo Panikkar (seorang paderi Katolik kelahiran Sepanyol), Wilfred Cantwell Smith (pengasas dan mantan pengarah Institute of Islamic Studies di McGill University Canada), Fritjhof Schuon (bekas penganut Kristen yang pergi mengembara dan keluar masuk berbagai macam agama) dan John Hick (profesor teologi di Claremont Graduate School California USA). (Lihat Prolegomena to Religious Pluralism, pg. 191).
Kesimpulannya pluralisme agama adalah satu istilah yang merujuk kepada faham menyamakan semua agama dalam arti: (a) Kebenaran ada dalam semua agama, dan (b) Keselamatan dapat dicapai melalui agama apapun. Pluralisme dalam pengartian ini harus dibedakan dari toleransi antara agama dalam sebuah masyarakat majmuk. Selain itu ia juga harus dibedakan daripada sinkritisme yang selalu diartikan sebagai faham campur-aduk berbagai agama. Kebelakangan ini faham pluralisme agama mulai disambut dan dianut oleh kelompok tertentu di rantau ini khususnya di Malaysia dan Indonesia.
Usaha penyebarannya saat ini dikaitkan dengan era globalisasi dengan segala bentuk bawaannya, termasuk fenomena plural yang intinya menuntut sikap terbuka, toleran, akomodatif dan inklusif. Menurut golongan kaum pluralis, dalam situasi sekarang sikap tertutup dan eksklusif sudah tidak relevan lagi.
Dengan semangat zaman yang sedemikian, umat Islam perlu tampil sebagai kaum pluralis-inklusif. Keinginan untuk dilihat selari dan lebih ideal dengan dasar-dasar negara-negara Barat berkuasa besar utamanya Amerika Syarikat membentuk sikap dan pola fikir model pluralis-inklusif tersebut yang saat ini sedang menggila memburu mereka yang dilabelkan sebagai kaum fanatik, fundamentalis, ekstrimis dan teroris Muslim.
Oleh karena itu kaum pluralis begitu resah dengan citra Islam yang unik dan berbeda daripada yang lain. Perbedaan mereka dirasakan sebagai pertentangan, konflik dan konfrontasi.
Karena itu mereka amat tidak senang dengan hal-hal yang terlihat sangat kontras: haq-batil, Mukmin-kafir, Muslim-bukan Muslim, dosa-pahala, surga-neraka dan lain-lain. Dalam perspektif pluralis-inklusif tidak ada lagi perbedaan-perbedaan seperti itu.
Dengan menyamakan semua agama berarti semua agama adalah benar, penganut agama mana pun adalah muslim dan semuanya berpeluang masuk ke Surga. Apa yang berbeda hanya jalannya, tetapi sasaran yang dituju adalah sama, iaitu Tuhan, dan semuanya akan sampai ke sasaran yang satu. Itulah pluralism agama.* (BERSAMBUNG)>> Pluralitas bukan Pluralisme