Model pendidikan seksualitas yang yang tidak mencerminkan jati diri bangsa berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 harus ditolak dengan tegas. Jangan sampai aturan yang dibuat justru memberikan karpet merah untuk masuknya ideologi kebebasan seksual yang menyingkirkan nilai-nilai agama dan moralitas Bangsa Indonesia.
Oleh : Nurul Hidayati
Hidayatullah.com | BELUM lama ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan Permendikbud No 30 Tahun 2021 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Permen tersebut sangat jelas telah mengadopsi draft lama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang kontroversial dan telah ditolak oleh DPR pada periode 2014-2019.
Meskipun tampak bertujuan baik, namun konten Permen tersebut ternyata memuat nilai-nilai sexual consent atau seks dengan persetujuan dalam definisinya dan bentuk-bentuk kekerasan seksual. Begitu pula pada klausul pencegahannya dalam pasal 6 ayat 2 yang berbunyi “Mewajibkan mahasiswa, Pendidik dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ditetapkan oleh kementrian. Pasal 6 tersebut menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, modul Pendidikan seksual seperti apakah yang dianggap sesuai dengan paradigma sexual consent ini?.
Jika melihat pola global yang telah ditetapkan sebagai pencegahan kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender (gender based violence) dan diantaranya termaktub dalam deklarasi Sexual Right oleh International Plan Parenthood Federation (IPPF) di tahun 2008 kemudian telah diterapkan di berbagai negara, para pengusung konsep kekerasan seksual mempromosikan pencegahannya dengan apa yang disebut sebagai pendidikan seksualitas komprehensif yang selanjutnya disebut Comprehensive Sexuality Education atau singkatnya CSE.
Menurut UNESCO yang telah mengadopsi konsep ini untuk disosialisasikan ke seluruh dunia, CSE adalah proses belajar mengajar berbasis kurikulum tentang seksualitas, ditinjau dari aspek pengetahuan, emosi, fisik dan sosial. Tujuannya adalah untuk membekali anak-anak dan remaja dengan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang akan memberdayakan mereka untuk mewujudkan kesehatan, kesejahteraan dan martabat mereka; mengembangkan hubungan sosial dan seksual yang saling menghormati; berdasarkan pada pilihan mereka yang mempengaruhi kesejahteraan mereka sendiri dan orang lain; dan memahami serta memastikan perlindungan hak-hak mereka sepanjang hidup.
Sementara menurut organisasi pro keluarga, Family Watch International atau FWI, CSE merupakan pendidikan seks berdasarkan pendekatan yang radikal, vulgar, memperkenalkan hak-hak seksual dan kepuasan yang mendorong aktivitas seksual anak, mempromosikan seks bebas (promiscuity), aborsi dan hak-hak lgbt, sebagai hal-hal berharga dari kesehatan seksual.
CSE adalah alat utama yang digunakan untuk memajukan agenda hak-hak seksual global dan dirancang untuk mengubah semua norma tradisional yang hidup di tengah masyarakat terkait seksualitas dan gender dengan mengubah cara pandang anak.
FWI yang secara konsisten mengkritisi CSE, merupakan salah satu organisasi internasional non profit yang bekerja untuk memberikan perlindungan dan mempromosikan keluarga sebagai unit fundamental masyarakat di level internasional, nasional maupun lokal melalui pendidikan, advokasi pro keluarga dan bantuan kemanusiaan berbasis keluarga.
FWI berdiri di Amerika Serikat tahun 1999, mereka berupaya melindungi keluarga dengan upaya melestarikan dan memajukan keluarga natural, hak-hak pengasuhan orang tua, mempertahankan kehidupan manusia, menjunjung tinggi kehidupan beragama, melindungi kesehatan dan kepolosan anak. Kebijakan-kebijakan FWI berdasarkan riset dan data-data ilmiah. FWI telah bertahun-tahun bekerja membantu banyak pemerintah, organisasi dan para orangtua di seluruh dunia untuk memahami bahaya dari CSE juga memberikan solusinya.
Dalam tulisan berjudul the History & Agenda Behind CSE, FWI menjelaskan beberapa filosofi yang berbahaya dari CSE, yaitu :
Pertama, anak-anak secara alami memiliki dorongan seksual sejak lahir, oleh karena itu pembatasan ekspresi seksual atau aktivitas seksual melanggar hak-hak seksual mereka.
Kedua, untuk memiliki kesehatan yang baik, anak-anak dan orang dewasa sama-sama harus memiliki pengalaman seksual yang teratur baik sendiri (dengan cara masturbasi) atau dengan orang dari kedua jenis kelamin.
Ketiga, sebagian besar norma seksual dan gender masyarakat, terutama yang didasarkan pada keyakinan agama bersifat represif dan tidak sehat harus diubah.
Keempat, anak-anak memiliki hak untuk bereksperimen dengan identitas dan orientasi seksual yang beragam dan perilaku yang terkait dengan mereka untuk mengembangkan seksualitas yang sehat.
Kelima, remaja harus diaktifkan untuk memerangi “homofobia”, “transfobia” dan “heteroseksisme” kemudian untuk mengadvokasi hak-hak seksual mereka, remaja harus dilibatkan dalam menyusun dan mengimplementasikan program-program CSE.
Keenam, anak-anak -di bawah hak kesehatan dan pendidikan yang diakui secara internasional- memiliki hak atas semua informasi seksual, tanpa sensor dan tanpa persetujuan orang tua.
Dokumen PBB terkait sosialisasi panduan teknis internasional yang diterbitkan pada tahun 2009, memposisikan pendidikan seksualitas sebagai bagian dari respons terhadap HIV. Panduan yang direvisi (2018) mengklaim bahwa CSE lebih dari sekadar mendidik tentang reproduksi, resiko, dan penyakit. CSE dianggap telah mempertegas posisi pendidikan seksualitas dalam kerangka hak asasi manusia dan kesetaraan gender.
Konsep Education 2030 (tercakup di dalamnya konsep CSE), merupakan bagian dari kesepakatan internasional dalam pencapaian tujuan Sustainable Development Goals (SDG’s) Agenda 2030 terkait kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan yang berkualitas dan inklusif, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan. (CSE Materials, https://www.comprehensivesexualityeducation.org/cse-materials-index/unesco2018/)
FWI menilai bahwa panduan kurikulum terrsebut dengan jelas menunjukkan bahwa UNESCO, bersama dengan UNAIDS, UNFPA, UNICEF, UN Women, dan WHO (dalam hubungannya dengan inisiatif Pendidikan 2030 UNESCO) mempromosikan, antara lain, kebingungan gender , seks bebas, aborsi, dan hak-hak seksual kepada anak-anak dengan kedok pendidikan seksualitas. Menurut sebuah artikel yang diterbitkan oleh devex.com, organisasi advokasi hak LGBTQI++ yang agresif dan dikenal sebagai Out Right Action International, juga terlibat dalam pembuatan panduan.
Beberapa poin penting dari sosialisasi yang dilakukan UNESCO tentang Panduan Teknis Internasional dalam Pendidikan Seksualitas yang direvisi (Revised International Technical
Guidance on Sexuality Education) dirangkum oleh FWI sebagai berikut :
- CSE Mendistorsi Abstinence Only Program (AOP)
AOP adalah sebuah program pendidikan seksual yang mengarahkan para remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Namun CSE memutarbalikan penilaian bahwa AOP tetap tidak mampu mencegah perilaku seks bebas dengan turunan masalahnya yaitu kehamilan remaja dan dampak penyakit seksual serta HIV/AIDs tetap tinggi.
- CSE Mempromosikan Kepuasan Seksual pada Anak-anak
CSE menjelaskan respons terhadap rangsangan seksual pada laki-laki dan perempuan (hlm. 71, objek pembelajaran 9-12 tahun). Lalu merangkum kunci-kunci kepuasan seksual dan pertanggung jawabannya (hlm. 72, objek pembelajaran usia 15-18 tahun ke atas)
- CSE Mempromosikan Seks Dini (Early Sex) dan Seks bebas (Promiscuity)
CSE mempromosikan hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa seseorang melakukan aneka bentuk hubungan intim atau hubungan seksual (hlm. 18) dan mengenalkan bahwa setiap keputusan seseorang untuk menjadi aktif secara seksual adalah keputusan pribadi yang dapat berubah sewaktu-waktu dan harus dihormati selalu (hlm. 71, objek pembelajaran 12-15 tahun). Perilaku seksual tanpa penetrasi menurut CSE, dapat mencegah resiko kehamilan yang tak diinginkan, menurunkan bahaya penyakit menular seksual termasuk HIV dan tetap menyenangkan (hlm. 72, objek pembelajaran 12-15 tahun). Mendukung hak-hak bagi setiap orang untuk dapat menunjukkan perasaan seksualnya (hlm. 78, objek pembelajaran 12-15 tahun). CSE dapat membantu anak-anak serta remaja membangun hubungan yang penuh penghargaan dan sehat dengan pasangan romantis atau pasangan seksual mereka (hlm. 17, 2.1).
- CSE Mempromosikan Ideologi Transgender Sebagai Bagian dari Keragaman Identitas Gender
CSE menjelaskan bagaimana identitas gender bisa jadi tidak sesuai dengan jenis kelamin mereka (hlm. 50, objek pengajaran 9-12 tahun). Kemudian menunjukkan penghargaan terhadap identitas gender orang lain (hlm. 50, objek pengajaran 9-12 tahun). Menjelaskan tentang homofobia dan transfobia (hlm. 50, objek pembelajaran 15-18 tahun). Menunjukkan cara-cara untuk memberikan dukungan kepada orang yang mengalami perlakuan homofobia atau transfobia (hlm. 50, objek pembelajaran 15-18 tahun).
- CSE Mempromosikan Orientasi Seksual yang Beragam
Semua orang harus dapat mencintai siapapun yang ia inginkan (hlm. 50, objek pembelajaran 15-18 tahun). FWI memberi catatan bahwa ketika kita setuju dengan pernyataan tersebut, maka ini merupakan kata-kata ampuh yang biasa dipakai untuk menuntut perkawinan sejenis. Seksualitas melingkupi identitas gender, orientasi seksual, keintiman seksual, kenikmatan seksual (hlm. 17, 2.1).
- CSE Mengajarkan Masturbasi
“Banyak anak laki-laki maupun perempuan mulai melakukan mastubasi selama masa pubertas atau bahkan lebih cepat lagi.” (hlm. 71, objek pembelajaran usia 9-12 tahun). “Masturbasi tidak menyebabkan masalah berbahaya baik secara fisik maupu psikis, namun hendaknya dilakukan secara rahasia.” (hlm. 71, objek pembelajaran usia 9-12 tahun).
- CSE Mengajarkan Anak untuk Mampu Memberikan Persetujuan dalam Perilaku Seksual (sexual consent)
“Memperagakan cara-cara mengkomunikasikan persetujuan ataupun penolakan consent.” (Hlm. 56, objek pembelajaran usia 15-18 tahun ke atas). “Consent penting bagi kesehatan, kenikmatan dan perilaku yang disepakati dengan pasangan.” (Hlm. 56, objek pembelajaran usia 15-18 tahun ke atas).
- CSE Melegalkan Aborsi
“Disebabkan ketatnya akses untuk mendapatkan aborsi aman di banyak tempat di berbagai belahan dunia, remaja sering mendatangi tempat-tempat aborsi yang ditangani pihak-pihak yang tidak terlatih dengan prosedur yang tidak aman.” (hlm. 23, aborsi tidak aman).
- CSE Mempromosikan Kondom dan Alat-alat Kontrasepsi
Memahami pentingnya penggunaan kontrasepsi secara benar, termasuk penggunaan kondom dan kontrasepsi darurat (hlm. 75, objek pembelajaran 15-18 tahun ke atas). Menunjukkan cara-cara untuk mendapatkan kondom (hlm. 80, objek pembelajaran 15-18 tahun ke atas). Menunjukkan langkah-langkah yang benar dalam menggunakan kondom (hlm. 79, Objek pembelajaran 12-15 tahun).
- CSE Mengajarkan Penghargaan terhadap Bentuk Keluarga yang Beragam
Pembelajar dapat menunjukkan penghargaan terhadap beraneka jenis keluarga sesegera mungkin dan secara menyeluruh (hlm. 38, objek pembelajar 5-8 tahun).
- CSE Mengajarkan Anak-anak untuk Mempertanyakan Nilai-nilai Seksualitas Orangtuanya
Membedakan antara nilai-nilai yang mereka anut dengan nilai-nilai yang dianut orangtua atau wali mereka tentang seksualitas (hlm. 46, 0bjek pembelajaran 15-18 tahun ke atas). Membenarkan bahwa beberapa nilai-nilai yang mereka anut bisa jadi berbeda dengan nilai yang dianut orangtua atau wali mereka (hlm. 46, objek pembelajaran 15-18 tahun ke atas).
Tidak hanya itu, menurut organisasi Protect Our Kids yang berdiri di Negara Bagian California, Amerika Serikat, CSE mengusung ideologi SOGI (Sexual Orientation Gender Identity atau Orientasi Seksual Identitas Gender), menghancurkan keluarga inti, membuat anak aktif secara seksual dan menggerogoti otoritas orangtua sebagai penanggung jawab dalam pendidikan anak.
Berdasarkan pengalaman berbagai organisasi internasional dan beberapa negara yang sudah menolak CSE terlebih dulu, patutlah Bangsa Indonesia, khususnya Menteri Dikbudristek, membuat peraturan terkait pencegahan, penanganan kejahatan seksual maupun tindak pidana seksual yang sesuai nilai-nilai agama dan moral yang hidup dalam masyarakat kita.
Model pendidikan seksualitas yang yang tidak mencerminkan jati diri bangsa berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 harus ditolak dengan tegas. Jangan sampai aturan yang dibuat justru memberikan karpet merah untuk masuknya ideologi kebebasan seksual yang menyingkirkan nilai-nilai agama dan moralitas Bangsa Indonesia.
Apalagi fakta menunjukan bahwa kehancuran sebuah bangsa dimulai dari kehancuran moralitas masyarakatnya. Oleh karena itu, perguruan tinggi seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengukuhkan nilai-nilai moral bangsa Indonesia yang berketuhanan, di mana Barat tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan kejahatan seksual yang menggerogoti generasi mudanya akibat meninggalkan nilai-nilai agama.*
Sekjen AILA Indonesia