Oleh: Henri Shalahuddin, MIRKH
Sambungan dari artikel PERTAMA
Kritik terhadap feminis dan RUU KKG
Gerakan feminisme dan kesetaraan gender telah banyak menuai kritik dari kalangan wanita di pelbagai penjuru dunia. Marlene LeGates menyebutkan bahwa di antara kesalahan utama feminis yaitu menganggap semua wanita mempunyai karakter, kepentingan dan kepribadian yang sama. Feminis sering melupakan keberagaman yang ada pada setiap wanita yang berlainan suku, agama, kelas sosial dan bahkan orientasi seksual mereka.Maka kemunculan aliran-aliran feminisme tidak saja dimaknai sebagai keberagaman paham, tetapi juga realitas adanya perbedaan kepentingan politik di kalangan feminis.
Perjuangan kesetaraan di kalangan feminis tidak berarti bahwa semua wanita mempunyai kedudukan yang setara.Bahkan keberadaan kasta dan kelas di kalangan feminis semakin nyata.Anne Kenney dan rekan-rekan feminisnya di Inggris menganggap superioritas mereka lebih tinggi daripada wanita Asia yang dipandang sebagai wanita lemah. Dalam konteks Indonesia, tidak sedikit feminis yang menyerukan kaum perempuan terjun ke sektor publik, tapi pada saat yang sama mereka justru memperkerjakan perempuan beda kelas sebagai pembantu rumah tanggadengan gaji di bawah UMR.
Kemunculan gerakan “woman of color” adalah wujud perlawanan terhadap hegemoni feminis kulit putih. Maka tidak aneh jika Frances Ellen Watkins Harper, reformis dari Afro-Amerika, mengingatkan dari pengalamannya bahwa menjadi orang kulit hitam berarti setiap orang kulit putih, termasuksetiap wanita kelas pekerja, bisa mendiskriminasikan Anda.
Feminis mengkritik androsentrisme dan patriarkhisme karena mengidentikkan norma manusia adalah laki-laki, tetapi di sisi lain feminis mendesak wanita membuang sifat-sifat kewanitaannya dan mengadopsi sifat maskulin hingga berkelayakan berperan di dunia publik.
Pesan mendasar dari uraian singkat di atas sebenarnya adalah perlunya memperkaya pengetahuan standard tentang konsep kesetaraan gender, feminisme dan nilai-nilai keindonesiaan, sebelum bertungkus lumus mensyahkan RUU KKG secara paksa.Meskipun tidak dipungkiri bahwa sebagian rakyat NKRI baik laki-laki maupun perempuan masih saja mengalami diskriminasi dan terhalang untuk ikut menikmati hasil pembangunan.
Namun bukan berarti RUU KKG atau apapun namanya adalah jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi rakyat NKRI.Justru yang lebih mendesak adalah pembuatan UU yang mensejahterakan bangsa Indonesia dengan tidak memandang hubungan laki-laki dan perempuan sebagai hubungan hierarkhi kekuasaan.Sebab hal ini hanya akan menghasilkan persaingan, antagonis, dan kebencian.
Bahkan lebih dari itu, RUU tersebut hanya membuahkan beban ganda bagi kaum perempuan. Sebab negara tidak lagi memberikan akses kepada mereka untuk berkembang sesuai dengan apa yang mereka inginkan.Sebaliknya akses hanya diberikan untuk mewujudkan keinginan kaum kapital, politisi, industri hiburan dan unsur-unsur lainnya di luar dirinya.
Retorika feminis militan yang selalu menyalahkan suami dan menuntut dikuranginya beban rumah tangga bagi istri yang berkarier dan mempunyai balita, tanpa pernah memperjuangkan aturan pengurangan beban kerja kepada instansi tempat bekerja merupakan contoh nyata bahwa wanita tidak lagi bisa memiliki dirinya sendiri.
Penutup
Menolak RUU KKG bukan berarti mendukung penindasan wanita.Mengkritisi konsep gender dan feminisme tidak bermakna anti Barat.Asimilasi dan adaptasi adalah hal lumrah dalam peradaban manusia. Tetapi menjadi tidak lumrah bila tidak diiringi dengan filter dan internalisasi, apalagi jika langsung bergerak kepada upaya konstitusi dengan penetapan RUU.
Banyak hal-hal positif yang bisa diambil dari Barat yang tidak bertentangan dengan kultur keindonesiaan dan mendatangkan manfaat bagi rakyat apabila dituangkan dalam UU maupun perencanaan pembangunan. Contohnya antara lain: i) memperbanyak tersedianya ruang menyusui di tempat kerja atau di ruang publik, ii) memberikan cuti hamil dan melahirkan minimal selama 1 tahun, iii) menetapkanmasa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, iv) memberikansubsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia balita, v) menjamin tersedianya persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah, vi) memberikansubsidi bulanan bagi janda-janda miskin, dan lain-lain.
Tetapi apabila para politisi di DPR tetap bersikukuh mensyahkan RUU KKG yang substansinya membuka interpretasi pembolehan melakukan kawin beda agama, kawin sesama jenis, hak aborsi, memandang peran domestik sebagai hal yang tidak produktif, hak istri menjadi kepala rumah tangga, hak memidanakan suami atas tuduhan pemerkosaan (marital rape) dan isu-isu kontroversial lainnya, atau pun hal-hal lainnya yang berdampak pada beban ganda terhadap kaum perempuan, maka hal itu justru menguatkan klaim adanya muatan ideologis elit feminis di balik RUU ini.
Apakah politisi feminis sanggup mempengaruhi kualitas para anggota dewan yang terhormat hingga mensyahkan segala bentuk undang-undang yang tidak berpihak pada pembangunan masyarakat yang adil dan beradab?Kita tunggu saja!
Penulis adalah ketua Majelis Riset dan Pengembangan di Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang gender dan Islam di Universiti Malaya Kuala Lumpur Program Kaderisasi Ulama kerjasama DDII dan Baznas