Oleh: Umarwan Sutopo Lc
Term “fiqh siyasah” berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (الفقه) dan yang kedua adalah al-siyasi (السياسي). Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Al-Quran {قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول} , yang artinya “Mereka berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa yang kamu bicarakan”. [Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al- Islami (Da¬r al-Fikr, 2001) vol. 1, 18]
Secara istilah, menurut ulama ushul, kata fiqh berarti: {العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية} yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”. [Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al- Islami (Da¬r al-Fikr, 2001) vol. 1, 18]
Adapun al-siyasi, secara bahasa berasal dari “ساس – يسوس – سياسة” yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam hadis: “Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya”.
Bisa juga seperti kata-kata “ساس زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي دبره وقام بأمره” yang artinya: “Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siyasah itu secara bahasa bermakna: “القيام على الشيء بما يصلحه” yang artinya “bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut untuknya.” [Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Shadir, 1968.), vol. 6, hal 108; Ahmad bin Muhammad al-Fayyumî, al-Mishbah al-Munir (al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), hal 295]
Adapun pengertian siyasah syar’iyyah/fiqh siyasah menurut Abdul Wahab Khalaf adalah “ilmu yang membahas tentang cara pengaturan masalah ketatanegaraan semisal (bagaimana mengadakan) perundang-undangan dan berbagai peraturan (lainnya) yang sesuai dengan prinsip-prinsip islam, kendatipun mengenai penataan semua persoalan tersebut tidak ada dalil khusus yang mengaturnya. Kemudian Ahmad Fathi Bahansi menyatakan siyasah syar’iyyah/fiqh siyasah adalah “pengaturan kemaslahatan manusia berdasarkan syara”.

Pengertian lain yang semakna adalah apa yang disampaikan Ali Syariati bahwa ia adalah tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan “khidmah”, tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan “islah”. Kaitannya dengan hal ini, kajian fiqh siyasah meliputi pengaturan hubungan sesama warga negara, antara warga negara dengan lembaga negara dan sesama lembaga negara.
Implementasi dari fiqh siyasah telah dimulai sejak Rasulullah mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial budaya yang diridloi Allah Subhanahu Wata’ala. Terutama tampak setelah Rasulullah melakukan hijrah.
Meskipun demikian bukan berarti bahwa fakta yang sama tidak ditemukan ketika Rasulullah masih tinggal di Makkah, kemudian hal ini diteruskan oleh ke empat khulafa al-rasyidun dan dinasti-dinasti sesudahnya.
Kajian fiqh siyasah menggunakan beberapa metode yang biasa dipakai antara lain: Ijma’, qiyas, al-Masalihul mursalah, shad al-dzari’ah, al-ishtisan dan kaidah-kaidah fiqh lainnya .
‘Abd al-Rahman Taj menegaskan bahwa dasar pokok siyasah adalah wahyu atau agama. Nilai transsendental merupakan dasar bagi pembentukan peraturan yang dibuat oleh institusi-institusi kenegaraan yang berwenang.
Sumber-sumber lainnya yang digunakan dalam proses kajian fiqh siyasah adalah manusia sendiri dan lingkungannya.
Peraturan-peraturan yang bersumber pada lingkungan manusia sendiri seperti pandangan para ahli, hukum adat, pengalaman manusia dan warisan budaya perlu dikaitkan dengan nila dan norma transendental agar tidak bertentangan dengan kehendak dan kebijakan Tuhan seperti yang ditetapkan dalam syariatnya.
Pembahasan lembaga perwakilan dalam sebuah pemerintahan merupakan salah satu dari beberapa hal yang menjadi obyek kajian fiqh siyasah. Salah satu lembaga perwakilan yang pernah ada dalam perspektif politik dan hukum Islam adalah ahlu al-halli wa al ‘aqdi. Istilah ini digunakan sebagai lembaga representatif umat yang mempunyai kedudukan di luar area kekuasaan eksekutif. Ahlu al-halli wa al-‘aqdi mempunyai beberapa fungsi. Adapun fungsi paling mencolok yang sering diungkap oleh Mawardi adalah dalam hal suksesi kepemimpinan.
Ahlu al-Halli Wa Al-‘aqdi
Lembaga ahlu al-halli wa al-‘aqdi pertama kali dibentuk pada masa akhir pemerintahan Umar bin Khattab. Umar menunjuk enam orang sahabat, agar satu orang diantara mereka diangkat sebagai pemimpin negara dengan lima orang sisanya.
Dalam perjalanannya lembaga ahlu al-halli wa al-‘aqdi ini tidak ada lagi secara permanen di zaman Ustman, begitu juga di zaman Ali bin Abi thalib keberadaannya semakin kabur. Hal ini disebabkan situasi politik yang dihadapi Ali pada waktu itu. Lalu pada era dinasti Umayyah dan Abbassiyyah lembaga ini sudah hilang karena corak pemerintahan berubah menjadi kerajaan.
Di Masa kini, ahlu al-halli wa al-‘aqdi kembali popular berkat Muktamar NU di Jombang. Sistem ini dimunculkan sejak tahun 2012 oleh KH Sahal Mahfudh.
Dalam Rapat Pleno kedua PBNU di Wonosobo, almarhum KH Sahal Mahfudh memerintahkan agar PBNU segera memproses gagasan tentang ahlu al-halli wa al-‘aqdi menjadi aturan yang dapat diterapkan dalam pemilihan kepemimpinan di seluruh jajaran kepengurusan NU. Sistem ahlu al-halli wa al-‘aqdi ini dengan sendirinya akan menyumbat intervensi pihak luar dalam pemilihan kepemimpinan NU karena pemegang wewenangnya adalah para ulama yang paling matang secara keilmuan dan ruhani. Wallahu’allam.*
Alumnus Program Studi Hukum Tata Negara, Pascasarjana UIN Surabaya dan kini pendidik di Ponpes Muhammadiyah al-Munawwaroh, kota Malang