Permendikbud 30 sebetulnya mengandung masalah sampai pada taraf filosofis; tercermin pada pemaknaan dan pendefinisian istilah-istilah kunci di dalamnya.
Oleh: Azrul Kiromil Enri Auni
Hidayatullah.com | KASUS mengenai apa yang disebut sebagai kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi menjadi suatu fenomena beberapa tahun terakhir. Sebagai jawabannya, terbitlah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 30 Tahun 2021 (selanjutnya disebut Permendikbudristek No. 30) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang kini memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Awal November 2021, Majelis Ormas Islam (MOI) yang terdiri dari 13 ormas Islam menyatakan substansi kekerasan seksual di dalam Permendikbud ini mengandung paradigma sexual consent ¬(persetujuan seks): baik-buruknya tindakan seksual diukur atas dasar persetujuan saja. Paradigma ini mengurangi – untuk tidak dikatakan menihilkan sama sekali – peran agama sebagai pertimbangan moral dalam aktivitas seksual.
Sikap senada diikuti pula oleh Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Secara umum, Diktilitbang PP Muhammadiyah menyoroti masalah formil dan materil dalam Permen tersebut. Secara formil, Permendikbud 30 tidak mengandung asas keterbukaan dalam proses pembentukannya, juga tidak tertib muatan. Secara materil, Permendikbud tersebut memuat frasa multitafsir, serta mengandung makna yang cenderung meminggirkan nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar moral dalam aktivitas seksual.
Pernyataan serupa juga datang dari Gerakan Indonesia Beradab yang merupakan aliansi dari 203 yayasan, komunitas, forum, hingga organisasi masyarakat. Dilansir dari https://cintakeluarga.org/ (10/11/2021), Gerakan Indonesia Beradab menyoroti frasa-frasa kunci yang problematis dan prinsip mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Rektor Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) Yogyakarta juga turut mengkritisi peraturan tersebut. Yang terbaru, Majelis Ulama Indonesia melalui hasil Ijtima’ menyampaikan agar Permendikbud 30 dicabut/direvisi (https://mui.or.id/, 11/11/2021).
Namun, LBH APIK melalui laman resminya (https://lbhapik.or.id/, 08/11/2021) menyatakan sikap bahwa Permendikbud 30 ini adalah jawaban atas kekosongan regulasi menyangkut pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Ditambah lagi usulan LBH APIK kepada pemerintah agar menguatkan sosialisasi kepada masyarakat terkait unsur relasi kuasa yang seringkali dimanfaatkan oleh otoritas pihak tertentu sebagai alat untuk melancarkan aksi kekerasan seksual. Selain itu, Koalisasi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) dan Komnas Perempuan juga mendukung Permendikbud 30.
Soal “Kekerasan Seksual”
LBH APIK, sebagaimana pernyataan sikapnya pada 8 November kemarin, menyampaikan bahwa banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang tidak dilaporkan. Hal itu karena tidak adanya regulasi mengenai pengaduan dan jaminan bagaimana kasusnya akan ditanggapi. Rasa khawatir muncul dari korban seperti tidak terjaminnya kerahasiaan, adanya stigma negatif yang ditujukan pada korban, hingga tekanan dari pelaku yang memiliki otoritas di Perguruan Tinggi.
Dari survei Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, sebagaimana dikutip LBH APIK, disebutkan bahwa dari total 612 responden, 22,1% di antaranya mengaku pernah mengalami kekerasan seksual di kampus, 73,4% pernah mendengar kasus tersebut di kampus, tapi 67,6% merasa belum terlindungi dari ancaman kekerasan seksual. Sekitar 97.9% setuju perlu adanya regulasi penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Data di atas menjadi dasar bagi dukungan akan pentingnya Permendikbud 30. Akan tetapi, mereka yang pernah membaca draft lama RUU P-KS akan paham bahwa definisi kekerasan seksual di Permendikbud 30 ini sangat mirip dengan RUU itu.
Selain itu, RUU P-KS menemukan titik buntu di DPR akibat tarik-ulur dan pro-kontra yang mengemuka. RUU itu kini berubah menjadi RUU TPKS dan masih dibahas Baleg DPR RI.
Kekerasan seksual sebagaimana Permen 30 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa setiap perbuatan yang disebabkan ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, berpengaruh pada psikis dan/atau fisik hingga kesehatan reproduksi seseorang; kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal menjadi hilang.
Secara substansi kritik atas definisi tersebut setidaknya ditujukan pada “ketimpangan relasi kuasa/gender”. Artinya, ada relasi tidak setara antara korban dan pelaku sebagai satu-satunya penyebab tindakan tersebut.
Jika merujuk kepada pernyataan LBH APIK di laman resminya, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kepercayaan, hingga ancaman terhadap nilai mata kuliah dan Tugas Akhir menjadi alat bagi pelaku untuk menindas korban sampai korban tak berdaya untuk memberikan penolakan.
Persoalannya, tindak asusila secara seksual juga bisa terjadi karena ada kesempatan. Kesempatan yang dimaksud misalnya antara dosen laki-laki dan mahasiswi yang sedang bimbingan skripsi di dalam ruangan tertutup tanpa ada orang lain yang melihat.
Keberadaan orang-orang di sekitarnya secara fisik bisa memengaruhi tindakan seseorang; bila seseorang ada niatan tertentu untuk melakukan pelecehan seksual, ia akan urungkan karena akan ada orang yang melihatnya. Tetapi jika kondisi sudah aman menurut pelaku, ia akan melancarkan aksinya.
Ini menunjukkan tidak secara otomatis dosen memanfaatkan kedudukannya untuk bertindak tidak senonoh; ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender tidak melulu menjadi penyebab tindak asusila tersebut.
Masalah pada Asas
Kita perlu melihat dulu asas suatu perbuatan disebut bermoral atau tidak. Di Indonesia, kita mengenal living law bangsa Indonesia, yang kemudian sari-sarinya diejawantahkan dalam bentuk Pancasila. Ada standar moral yang jamak dipahami, diterima, dan diamalkan bangsa Indonesia; nilai moral berasaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai kemanusiaan dan keadilan pun tidak bisa lepas dari sila pertama. Secara konstitusi, Indonesia merupakan negara yang berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 ayat 1 UUD 1945).
Hal lain yang menjadi sorotan secara materil dalam Permen 30 ialah standar terjadinya kekerasan seksual, sebagaimana tertuang jelas di Pasal 5 ayat 2. Ini bukan tanpa alasan. Penjabaran spesifik dari bentuk kekerasan seksual banyak terpaku pada asas persetujuan; kedua pihak bersepakat untuk melakukan atau tidak melakukan. Asas ini membuka celah bagi berkembangnya nilai humanisme-sekular, meminggirkan agama, terlebih lagi di Permen 30 tidak dijelaskan secara gamblang akan peran agama.
Sementara itu, standar moral bangsa Indonesia merujuk pada apa yang telah jamak dipahami, diterima, dan diamalkan oleh masyarakat Indonesia yang notabene religius; moral berlandaskan agama.
Dalam Islam, misalnya, standar moral, terutama dalam lingkup seksual, bukan sekadar terpaku pada setuju-tidak setuju. Jika kedua belah pihak suka-sama-suka tanpa diikat dengan perkawinan yang sah, ia bisa tergolong dalam perbuatan zina, atau mendekati zina.
Seks bebas masuk dalam lingkup ini. Perbuatan mendekati zina ada banyak macamnya. Berdua dengan lawan jenis di dalam satu ruangan tertutup, tanpa ada orang lain yang tahu dan memantau, tergolong perbuatan mendekati zina yang menjadi pintu gerbang dan kesempatan bagi pelaku untuk melancarkan aksi pelecehan seksual. Jika yang terjadi adalah dalam hubungan suami-istri, kemungkinan yang berlaku adalah tindakan zhalim suami terhadap istri atau sebaliknya yang akhirnya merugikan salah satu pihak, baik secara fisik maupun psikis.
Jika kita terjemahkan kaidah tersebut dalam lingkungan pendidikan tinggi, semestinya baik antara dosen maupun mahasiswa, atau antara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain, bisa saling menjaga diri untuk tidak terjerumus pada tindak asusila tersebut. Disertai dengan kesadaran akan pentingnya menutup celah kesempatan ke arah tindakan yang tidak diinginkan.
Apabila Permendikbud 30 diimplementasikan, mungkin tindakan pemaksaan seksual pelaku yang memiliki otoritas kepada korban akan berkurang. Tetapi, bagaimana dengan tindak asusila dengan persetujuan? Apakah kita terpaksa untuk tidak mengatakan, “Permen 30 ini membiarkan seks bebas”?
Alasan Kemendikbud
Kemendikbud kemudian mengeluarkan klarifikasi atas pernyataan sikap yang dikeluarkan sejumlah pihak menyangkut Permendikbud tersebut. Salah satu poin yang disampaikan adalah adanya Permen tersebut dalam rangka menghapus penghalang tujuan pendidikan nasional (news.detik.com, 06/11/2021).
Mari kita uji pernyataan tersebut;
Pertama, di antara tujuan pendidikan sebagaimana tertuang di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ialah menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu. Kedua, standar adanya kekerasan seksual dalam Permen tersebut ialah “persetujuan korban”, sebagaimana terlihat jelas dalam Pasal 5 Ayat 2.
Artinya, tindakan seksual walaupun suka-sama-suka saja bisa menjadi tidak masalah; tidak mempertimbangkan pasangan itu sah atau tidak dalam perkawinan ya tidak masalah pula. Sementara itu kita tahu, dalam agama (Islam), tindakan seksual yang di luar ikatan perkawinan yang sah juga dilarang.
Dengan nuansa Permen 30 yang demikian, ditambah dengan kenyataan objektif adanya aturan agama (Islam) terkait tindak asusila, kita akan melihat bahwa solusi yang ditawarkan oleh peraturan tersebut hanyalah solusi parsial; berupaya menutup pintu dosa yang satu, tapi membiarkan/mengabaikan pintu yang lain. Aktivitas seksual di luar lembaga perkawinan yang didasarkan persetujuan menjadi kurang diperhatikan, padahal ia juga bertentangan dengan tujuan pendidikan apalagi agama. Jika demikian, kita meragukan sikap Kemendikbud yang menyatakan Permen ini selaras dengan tujuan pendidikan, terlepas dari niat baiknya.
Secara implisit Pak Nadiem – lewat kanal Youtube Narasi News yang diwawancarai Najwa Shihab – maupun yang mendukung penuh Permen 30 menyampaikan pula bahwa ruang lingkup yang diatur hanya menyangkut kekerasan seksual, sehingga fokusnya ialah ada-tidaknya persetujuan; kalau tidak berdasarkan persetujuan, bukan kekerasan seksual namanya.
Ada dua poin penting yang perlu diperhatikan:
Pertama, Katakanlah kita hendak fokus pada kekerasan seksual. Hanya karena fokus kepada kekerasan seksual yang notabene berasaskan pada persetujuan semata (consent), bukan berarti menjadi alasan untuk kurang memerhatikan apa landasan moral yang berlaku di Indonesia. Jika kekerasan seksual yang hendak disorot, syarat persetujuan itu perlu menyesuaikan apa yang berlaku di Indonesia sebagai landasan moral – yaitu agama. Tidak mungkin akar pohon menyesuaikan cabangnya.
Kedua, kita patut menyayangkan pernyataan demikian, padahal suka-sama-suka dalam aktivitas seksual di luar institusi pernikahan juga berbahaya di samping tindakan yang mengandung unsur pemaksaan. Katakanlah ada dua mahasiswa berhubungan seks atas dasar suka-sama-suka. Keduanya melakukan tanpa sepengetahuan orang lain.
Ketika keduanya bertengkar, pelaku mengancam korban akan menyebarkan konten seksnya, lalu korban melapor. Bagaimana Kemendikbud mengomentari hal itu?
Mungkin yang mendukung akan berkata balik, “fokus pada kekerasan seksual bukan berarti juga kita pro seks bebas”. Kita patut bersyukur pada pernyataan tersebut. Kalau begitu, sudikah mereka menjadikan agama sebagai pertimbangan moral dalam hal ini?
Lebih dari Sekadar Kata-Kata
Nuansa Permendikbudristek 30, berdasarkan ulasan di atas, menjadi alasan bahwa memang moral yang terkandung di dalam kekerasan seksual kurang menyentuh agama sebagai dasar pertimbangan. Padahal, secara formil, semestinya Permen ini bisa memasukkan konsideran Pasal 29 ayat 1 dan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945 yang menjadikan agama memiliki kedudukan penting menyangkut kebebasan dan hak asasi manusia dalam konteks kehidupan berbangsa.
Permen 30 memang tidak secara eksplisit mencantumkan kata perzinaan. Secara tersurat juga tidak memberlakukan seks bebas. Letak persoalannya bukan pada adanya kata dan pemberlakuan tersebut secara eksplisit, tetapi pada konsekuensi logis yang bermain di balik frasa kunci yang tercantum di Permen tersebut.
Permen 30 sebetulnya mengandung masalah sampai pada taraf filosofis; tercermin pada pemaknaan dan pendefinisian istilah-istilah kunci di dalamnya. Cara seseorang memandang realitas (hakiki ataupun faktual) dan kebenaran (yang ia pahami) terlihat di situ, terejawantahkan dalam peraturan, apakah ia selaras dengan Pancasila atau tidak.
Dari sisi maksud (tujuan) dan aspek operasionalnya, kita patut mengapresiasi Permen ini. Tapi pada akhirnya aspek operasional berperan melayani dan memenuhi prinsip, nilai, dan cara pandang, selain tujuan. Itu semua tercermin setidaknya di dalam kata-kata krusial dalam pasal 1 ayat 1, pasal 3, dan pasal 5 ayat 2 Permen 30, yang dua pasal di antaranya telah dibahas di atas.
Jika Kemendikbud hendak fokus menangani kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan tinggi, dan mempertimbangkan tujuan pendidikan sebagaimana UU No. 20 Tahun 2003 sebagai orientasinya dan agama sebagai sumber pentingnya, maka secara materil dan substansi, kekerasan seksual saja tidak cukup; asasnya bukan sekadar persetujuan yang sarat netral agama. Secara formil, konsideran perlu diperluas sebagaimana dinyatakan di atas. Jika yang demikian tidak dijadikan pertimbangan, wajar masyarakat yang menolak akan tetap menolak.*
Penulis ialah anggota #IndonesiaTanpaJIL Chapter Surabaya; memiliki minat pada isu-isu moral dan politik-kebangsaan, konstitusi, dan sejarah Indonesia