Oleh: Ilham Kadir
DEFENISI sains antara lain adalah “observasi, identifikasi, deskripsi, investigasi eksperimental, dan penjelasan teoritis atas fenomena”. (The American Heritage College Dictionary, edisi ke-3 (Boston: Houngton Mifflin Co., 1993).
Manusia senantiasa terlibat dalam aktivitas semacam di atas dan tidak dapat menghindar dari penggunaan persepsi untuk mengkaji atau meneliti, dan dunia di sekeliling mereka butuh akan aktivitas ilmiah itu. Namun, pada zaman modern pandangan dunia ilmiah memiliki peran yang jauh lebih besar dari pandangan dunia mana pun. Gerakan dan ideologi seperti saintisme, empirisme, meterialisme, dan evolusionisme telah berperan melahirkan ide bahwa sains mewakili satu-satunya harapan yang tersisa untuk memisahkan kebenaran dari kepalsuan serta jalan satu-satunya memajukan kondisi manusia.
Sementara diakui bahwa sains telah mencapai banyak hal melalui peningkatan pemahaman atas dunia kita dan peningkatan materil dalam kualitas kehidupan, harus disadari bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan beserta pelbagai kekurangan yang serius pada ideologi yang hanya berlandaskan pengetahuan empiris dan metode ilmiah–pada dasarnya metode ilmiah adalah mencakup tahap-tahap pengamatan [observasi] pengumpulan data, perumusan hipotesis atau teori, eksperimentasi, dan pengumpulan data tambahan, penafsiran hasil dan kesimpulan–modern sebagaimana diuraikan berikut ini:
Pertama, para pengikut fanatik saintisme, empirisme, dan materialisme berpandangan bahwa tidak ada yang riil di luar materi dan fenomena yang teramati. Jika demikian, maka bagaimana kita dapat berharap sains dan empirisme dapat menyediakan informasi yang bermanfaat dengan wilayah supra-indrawi atau metafisik?
Jika dianalogikan, pendapat ini sama dengan ikan yang mengklaim bahwa daratan dan pepohonan tidak ada. Dengan membatasi bidang sains fisik dan sosial yang sangat luas pada fenomena yang teramati dan bidang eksperimen, hal itu hanya memastikan terjadinya stagnasi di bidang sains, karena kesimpulan-kesimpulan yang bermakna tidak dapat dicapai berkaitan dengan hal-hal yang melampaui fenomena yang termati dalam bidang ekperimen seperti Tuhan, jiwa, malaikat, kehidupan setelah kematian, kondisi pra-eksistensi, ukuran alam semesta, wilayah emosional, spritual, dan sebegainya.
Lebih dari itu, ketika dibatasi pada fenomena indrawi yang ada, sains tidak dapat menyimpulkan secara pasti bahwa apakah ada entitas yang tidak ada.
Kendati beberapa ilmuan tertentu berusaha mengklaim bahwa tujuan sejati sains adalah untuk mencari kebenaran dan menyatakan bahwa sains mencakup inferensi-inferensi dan deduksi yang bermakna mengenai hal yang tidak terlihat (ghaib), orang-orang semacam ini tetap berada pada komunitas ilmiah pinggiran, dan pandangan mereka tenggelam oleh suara yang lebih nyaring dari ilmuah sekuler yang menjadi arus utama (mainstream).
Meskipun sains berupaya mencari penjelasan atas fenomena, sains jelas gagal memberikan penjelasan utama bagi seluruh fenomena, sebagai suatu keseluruhan, berkaitan dengan asal-usul. Sains juga tidak dapat memberikan penjelasan yang berarti dengan pengertian metafisis atas fenomena semacam itu.
Teori Dentuman Besar (Big Bang) tidak dapat memberikan informasi mengenai apa yang menyebabkan terjadinya ‘dentuman’ pada saat terjadinya Big Bang itu, dan tidak pula dapat memberikan penjelasan yang bermakna mengenai peristiwa semacam itu.
Kedua, pengetahuan ilmiah modern dalam kondisi yang berubah, seperti halnya materi selalu berada dalam keadaan yang berubah. Tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia terus mengalami siklus kelahiran dan kematian sementara seluruh benda tak bernyawa mengalami transformasi dan kehancuran.
Hukum-hukum Newton yang dianggap mutlak kebenarannya dan terbukti kesahihannya selama beberapa abad lalu, pada abad ke-20 hukum-hukum itu terbukti benar hanya dalam konteks yang terbatas dan telah digantikan oleh teori-teori Einstein.
Teori-teori pada awal abad ke-20 yang memandang elektron sebagai bola-bola kecil yang saling bertabrakan satu sama lain, telah direvisi tatkala ditemukan bahwa elektron-elektron secara bersamaan dapat berlaku sebagai partikel dan sekaligus gelombang.
Ilmu kedokteran modern terus-menerus merevisi asumsi-asumsinya berkaitan dengan apa yang menghasilkan diet dan gaya hidup sehat, kendati tanpa henti melakukan “riset ilmiah”.
Lalu, bagaimana sesuatu yang harus mengalami perubahan dipandang suatu fakta yang absolute dan tidak dapat berubah?
Ketiga, metode sains dibangun atas asumsi bahwa prilaku atau fenomena yang teramati pada masa lalu akan selalu berulang dengan cara yang sama pada masa mendatang. Namun, dapatkah asumsi ini dipastikan kebenarannya?
Benar, bahwa pengulangan tersebut biasanya terjadi–karena kekuasaan Tuhan–namun tidak selalu. Bagaimana fenomena yang teramati dijadikan sebagai fakta absolut padahal diketahui bahwa mereka terus berubah, kendati perlahan, dan mungkin tidak niscaya berulang pada masa mendatang.
Mengatakan bahwa “matahari akan terbit di Timur besok pagi” adalah pernyataan yang sangat mungkin benar, tapi tidak dapat dipandang sebagai pernyataan yang mutlak benar, karena tidak mutlak pasti bahwa masa lalu akan terus berulang pada masa depan.
Dari sudut pandang teologis, terbitnya matahari di Timur karena perintah Tuhan dan dapat dengan mudah dibalik atau dihentikan. Nyatanya, akan datang suatu masa ketika matahari tidak akan terbit dari Timur lagi.* (BERSAMBUNG)
Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII & Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor