Oleh: A.Kholili Hasib
~Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal~ [Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin I]
____________
PENDAPAT imam al-Ghazali ini patut kita telaah baik-baik. Beliau ulama hebat yang menguasai lintas ilmu pengetahuan Islam. Tentu, pandanganannya tidak parsial dan setengah-setengah. Pandangan-pandangan Hujjatul Islam biasanya ditelaah dari beberapa sudut keilmuan. Dan kita yakin pendapatnya tidak berlandaskan hawa nafsu apalagi ambisi politik. Kitab Ihya’ Ulumuddin adalah kitab monumental yang banyak menjelaskan etika, membersihkan hati, cara mematahkan hawa nafsu dan lain-lain.
Pembacaannya terhadap situasi masyarakat juga didorong oleh pengalamannya. Di masa imam al-Ghazali, pernah terjadi situasi dan keadaan negara yang hampir mengalami kehancuran. Banyak oknum-oknum penguasa yang menyimpang dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah gunaan kekuasaan, perpecahan umat dan krisis ulama’. Imam al-Ghazali melihat, problem itu bermuara dari krisis keilmuan. Oleh sebab itu, kritik Imam al-Ghazali ditujukan kepada para ‘ulama duniawi’ terlebih dahulu sebagai pengemban ilmu. Kesalahan ilmu telah membuat krisis ilmu yang berujung kepada lemahnya umat dan umara (rakyat dan pemerintah).
Ini pelajaran sejarah yang penting bagi kita. Membaca kondisi umat sekarang – khususnya Indonesia –, kita sedang krisis ulama. Masih kekurangan ulama-ulama hebat yang berjiwa pejuang dan murni hatinya ikhlas untuk Allah dan Rasul-Nya. Jika jumlah orang pintar dan ilmunya segudang, maka tidak sulit mencarinya. Tetapi yang cukup memprihatinkan adalah, orang-orang yang tidak berilmu tampil di publik memimpin umat. Sedangkan ulama yang ikhlas tak menampakkan diri karena beberapa hal.
Krisis penguasa sebenarnya berakar dari krisis ilmu dan ulama. Jika kita mendapatkan pemimpin dzalim yang tidak sesuai harapan, maka kita harus melihatnya secara mendalam. Ada apa dibalik itu? Jika masyarakat lebih menyukai pemimpin yang buruk, maka memang karena umat sedang mengalami krisis. Kenapa? Karena gagalnya pendidikan Islam.
Selama ini mungkin lingkungan kita baik. Karena kita masih berkutat dalam ’tempurung’ kita sendiri. Sehari-hari kita berinteraksi dengan orang baik, terdidik dan sholih. Pantaslah kita ingin cepat-cepat mengangkat pemimpin dari kalangan ulama. Tapi coba kita meluaskan penglihatan di luar. Masyarakat lebih banyak tidak mengenal ulama. Sedangkan jumlah mereka lebih banyak. Jangankan mengerti syarat-syarat pemimpin adil, mereka pun belum mengerti hukum-hukum ibadah wajib dengan baik. Seorang Muslim yang berfikir sekular tanpa sadar pun juga masih mudah ditemui. Belum lagi, perpecahan di antara mereka sendiri.
Tugas berat para alim-ulama kita harus perbaiki masyarakat dengan pendidikan yang baik. Alim-ulama perlu fokus berusaha mengungkapkan kebenaran dan membersihkannya dari kesalahan, serta menunjukkan mana jalan yang perlu ditempuh dan mana yang perlu dihindari.
Kita sejenak perlu ‘beruzlah’ sejenak. Bukan berdiam diri. Apalagi bukan menyendiri di kamar. Abai terhadap perkembangan situasi masyarakat. Tetapi, berbenah diri. Merespon kritis terhadap berbagai macam kemungkaran untuk diberi solusi.
Jalan mencetak pemimpin yang hebat tidak lah bisa dengan instan. Kuncinya dengan memaksimalkan pendidikan yang baik. Sekat-sekat antar umat Islam harus dikisi dengan cara membersihkan hati (tazkiyatu al-nafs). Ulama tidak perlu saling berebut pengaruh penguasa.
Contoh yang dilakukan imam Ghazali menarik. Dari hasil evaluasi imam al-Ghazali selama uzlah 10 tahun, ditemukan bahwa membangkitkan umat Islam harus dimulai dari memperbaiki diri internal, bukan langsung membangun kekuatan militer dan politik.
Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa runtuhnya peradaban dikarenakan penyakit materialisme dan menurunnya pengembangan ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun mengatakan: “Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi hewan” (Ibnu Khaldun, Mukaddimah, hal. 289).
Jadi, untuk memperbaiki keadaan politik, perlu kembali kepada pendidikan. Dimulai introspeksi, kenali masalah dasarnya. Membangun kesadaran ilmu. Mencetak ulama pejuang, ikhlas dan hati kuat tidak tergoda godaan materialisme.
Maka, mulai saat ini mari kembali kepada ulama. Segala problematika selesaikan sesuai petunjuk ilmu-ilmu (fas’alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamun). Ilmu kita dalami, ulama kita agungkan. Sebab, Nabi Saw tidak mewarisi harta apapun, terkecuali ulama. Pemimpin yang baik itu bukan langsung tiba-tiba ada “bim salabim”, tidak pula langsung turun dari langit. Tetapi, pemimpin Muslim yang hebat itu lahir dari lingkungan bertradisi ilmu, dari umat yang terdidik dengan baik dan yang telah disiapkan jauh–jauh hari dari para pendidik hebat.*
Penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)