Sekularisme menyusup ke dunia Islam melalui tafsir ulang wahyu, pendidikan modern, dan kebijakan hukum, demi menjauhkan umat dari tauhid, bahkan memecah kesatuan antar negara Muslim
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif
Hidayatullah.com | JIKA dalam seri pertama telah dijelaskan bagaimana sekularisme menggusur agama melalui pluralisme, relativisme, dan rasionalisme, maka dalam bagian ini kita akan menelusuri lebih jauh bagaimana agama secara sistematis disekularisasi, bukan hanya di Barat, tetapi juga di dunia Islam.
Sekularisasi Agama: Tafsir Ulang Wahyu
Sekularisme tidak selalu menyerang agama secara frontal. Ia bisa masuk melalui jalur “reinterpretasi”. Gagasan ini dikembangkan oleh Harvey Cox, yang menyatakan bahwa agar agama tetap relevan di dunia modern, maka teks-teks suci seperti Bible harus ditafsir ulang sesuai dengan nilai-nilai sekular seperti kesetaraan gender, HAM, dan demokrasi.
“The solution is not to reject secularization, but to learn to love it.” ( Solusinya bukan menolak sekularisasi, tapi mempelajari cara mencintainya),” tulis Harvey Cox di The Secular City (1965).
Cox mengusulkan agar agama berubah menjadi “etika sosial” yang bisa dinegosiasikan. Wahyu tidak lagi absolut. Ia harus tunduk pada arus rasionalisme dan budaya kontemporer. Maka muncullah istilah “agama tanpa Tuhan”—agama yang tidak lagi bersandar pada ketuhanan mutlak, tapi pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Sekularisme di Dunia Islam
Jika di Barat sekularisme muncul dari dalam, maka di dunia Islam ia masuk dari luar—melalui kolonialisme, modernisasi, dan sistem pendidikan Barat.
Di Turki, Mustafa Kemal Atatürk membubarkan khilafah dan mengganti hukum Islam dengan hukum sipil. Bahasa Arab diganti alfabet Latin, adzan diterjemahkan, dan pemakaian simbol-simbol Islam dilarang demi “kemajuan”.
Di Mesir, Muhammad Ali Pasha pada abad ke-19 mengirim para pelajar ke Prancis dan Inggris.
Atas nama kemajuan, ia mengirim pelajar-pelajar Mesir ke Prancis dan Inggris untuk mempelajari ilmu dan teknologi Barat. Namun mereka pulang bukan hanya membawa ilmu teknik, tetapi juga cara pandang sekuler yang menyingkirkan agama dari ruang publik.
Ketika mereka menjadi pejabat dan intelektual, mereka mengganti sistem pendidikan tradisional dengan sistem modern yang memisahkan agama dari ilmu pengetahuan dan hukum dari syariat.
Puncaknya adalah pemikiran Ali Abd al-Raziq, yang menulis buku al-Islām wa Ushūl al-Ḥukm (1925). Ia menyatakan bahwa Nabi Muhammad hanyalah pemimpin spiritual, bukan pemimpin negara. Konsekuensinya, tidak perlu negara Islam. Agama cukup untuk ibadah. Urusan politik, hukum, dan kekuasaan tidak perlu Islam.
Gagasan ini membuka pintu legitimasi bagi proyek sekularisasi dalam tubuh umat Islam sendiri.
Kolonialisme dan Propaganda Nasionalisme
Kekuatan kolonial seperti Inggris dan Prancis menggunakan strategi “pecah belah” untuk menghancurkan persatuan umat Islam di bawah Khilafah Utsmaniyah. Negara koloninal ini menghasut, mempromosikan nasionalisme, memprovokasi agar negara muslim mengirim siswanya ke Eropa, dan juga meminta mendirikan sekolah-sekolah modern yang sekuler.
Negara-negara seperti Saudi, Mesir, Maroko, dan Indonesia dipisahkan dari satu tubuh dunia Islam saat itu yang terpusat di Istanbul. Maka berdirinya Pemerintahan Saudi, Negara Iran, Irak, Maroko, Mesir, dll.
Sebelum abad 20, umat Islam tidak mengenal “visa” atau batas politik. Misalnya, KH Ahmad Dahlan bisa berangkat haji tanpa visa, karena semua wilayah itu adalah satu entitas Islam global.
Kini, dunia Islam terpecah menjadi negara-negara dengan sistem hukum sekuler, nasionalisme sempit, dan kebijakan yang memisahkan agama dari kehidupan publik.
Kasus Indonesia: CLD-KHI dan Agenda Reformasi Agama
Proyek sekularisasi juga hadir di Indonesia. Pada tahun 2015, muncul dokumen kontroversial bernama Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI), yang bertujuan “mereformasi” hukum keluarga Islam agar selaras dengan prinsip kesetaraan gender dan HAM.
Beberapa poin usulannya:
- Nikah beda agama diizinkan, termasuk perempuan Muslim menikah dengan pria non-Muslim.
- Masa iddah perempuan dihapus atau disamakan dengan laki-laki.
- Poligami dihilangkan dengan pembatasan ekstrem.
- Peran wali dalam pernikahan diganti dengan konsensus pribadi.
Draf ini adalah contoh nyata sekularisasi agama dari dalam: bukan melarang Islam, tapi mengubah isi Islam agar sesuai dengan nilai-nilai Barat.
Umat Islam ramai-ramai menolaknya, karena paham bahwa ini bukan reformasi hukum, melainkan infiltrasi ideologi. CLD-KHI adalah bukti bahwa sekularisme kini bukan hanya masuk lewat media dan pendidikan, tetapi juga menyusup ke dalam sistem hukum Islam.
Agama Tanpa Tuhan: Realitas Dunia Sekuler
Di Barat, gereja-gereja dijual dan diubah menjadi kafe atau tempat konser. Buku-buku seperti Religion Without God, Living Without Religion, dan Why Believe in God? Just Be Good menunjukkan bahwa agama kini hanya dianggap sebagai etika sosial.
Wahyu tidak lagi dianggap sumber kebenaran. Kitab suci dibaca sebagai teks budaya, bukan firman Tuhan. Bahkan Al-Qur’an pun ditafsir ulang secara liberal: ayat-ayat jihad dianggap usang, ayat tentang gender dianggap diskriminatif, dan hukum syariah dinilai “tidak kompatibel” dengan HAM modern.
Sekularisme tak lagi terbatas pada ranah akademik atau elit. Ia telah menyusup ke dalam birokrasi, kurikulum, gaya hidup, bahkan organisasi keagamaan.
Ideologi yang Harus Disadari
Sekularisme bukanlah pilihan damai antara agama dan modernitas. Ia adalah ideologi aktif yang bertujuan mengganti wahyu dengan opini, mengganti Tuhan dengan manusia sebagai pusat nilai.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas:
“Not only is secularization as a whole the expression of an utterly un-Islamic worldview, it is also set against Islam.” (Sekularisasi secara keseluruhan bukan hanya bertentangan dengan pandangan dunia Islam, tetapi juga melawan Islam itu sendiri).
Jika tidak disadari, umat Islam akan hanyut dalam arus global yang menjauhkan mereka dari makna hidup yang sejati: tauhid. Perjuangan melawan sekularisme bukanlah dengan kekerasan, melainkan dengan ilmu, iman, dan keberanian menyatakan kebenaran.
Kita harus membangun kembali cara pandang Islam, menanamkan kesadaran spiritual, dan mendidik generasi muda agar tidak tertipu oleh kemasan “kemajuan” yang kosong dari nilai ilahiah.*
Penulis dosen UNIDA-Gontor, anggota Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan MUI Pusat, penulis buku Islam & Diabolisme Intelektual (2017)