Oleh: Muhammad Saad
Hidayatullah.com-Pernyatan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo merespons tausiyah MUI Jawa Timur terkait dengan pengucapan salam lintas agama dalam sambutan-sambutan resmi, bahwasanya menurut Ganjar, ada yang lebih substansif daripada mempermasalahkan persoalan mengucapkan salam kebinekaan atau salam agama lain. Peryataan ini dikutip oleh oleh Tempo saat wawancara di Hotel Bidakara Jakarta, di sela-sela acara Central java Investment:
“Sebenarnya semua salam itu sama tidak perlu dipertentangkan,” katanya di Semarang, Senin.
Ganjar menyebutkan salam semua agama itu sama dan selama ini dirinya juga kerap menyampaikannya dalam acara-acara resmi karena memang audiensnya tidak berasal dari satu agama saja.
Menurut Ganjar, daripada mempermasalahkan salam kebinekaan tersebut, lebih baik membahas dan melakukan hal-hal yang substantif sebagai upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”. (https://nasional.tempo.co/read/1270903/)
Pernyataan Gubernur Jawa Tengah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini tentu salah. Sebab, bagi dia Salam Kebinekaan atau ucapan salam agama lain, itu tidak ada persoalan. Salam hanya sebuah ucapan yang tidak mengandung nilai-nilai tertentu, terlebih nilai ritual agama. Oleh karenanya tidak perlu dipertentangkan.
Salam merupakan persoalan wilayah agama. Salam bukanlah ucapan “Hai atau hallo”. Salam dalam Islam adalah ucapan doa. Hal ini dibuktikan bahwa setiap agama memiliki ucapan salam tertentu.
Dalam Islam ucapan salamnya “Assalamualaikum” yang memiliki arti “semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian. Dalam Kristen “Shalom” yang diambil dari bahas Ibrani artinya “sejahtera, kesehatan, dan kelengkapan” dalam Buddha “Namo Buddaya” artinya “terpujilah sang Budha” dalam Hindu “Om Swasti Astu” artinya “semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan”.
Dalam keyakinan Islam, doa merupakan bagian ibadah. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “doa adalah otak Ibadah”, diistilahkan otak, menunjukkan doa adalah bagian urgen ibadah. Maka apa yang disampaikan oleh MUI Jawa Timur tentang persoalan larangan salam lintas agama, adalah benar adanya. Harusnya ini menjadi fatwa bukan sekadar tausiyah.
Dalam Tausiyahnya, tercatat dalam poin ketujuh sebagai berikut:
“7. Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah yang tidak pernah ada di masa yang lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari”.
Pernyataan MUI ini sudah sangat tepat, hal ini demi melindungi umat Islam dari perbuatan bid’ah dholalah, bahkan hal ini bisa menghantarkan kepada kesyirikan. Kenapa demikian?
Setelah diketahui bahwa hakikat pengucapan salam adalah doa. Maka mengucapkan salam agama lain, sama saja berdoa dengan menggunakan doa agama lain. Jika hal itu dilakukan karena kebodohan, ini berdosa besar. Jika pengucapan salam agama lain itu disengaja, ini bisa menyebabkan kufur. Sebab dengan sadar dan sengaja orang tersebut meyakini bahwa ucapan salam agama lain yang hakikatnya doa adalah benar adanya. Ini sama saja dengan hukum doa bersama.
Salam merupakan doa. Maka ketika kita mengucapkan salam versi agama lain itu artinya kita berdoa dengan menggunakan cara agama lain. Berarti ini sudah masuk ke wilayah inti sebuah agama. Penganut agama berdoa kepada Tuhannya masing-masing. Resikonya adalah ada semacam pengakuan terhadap Tuhan agama lain. Jadi ini sudah bukan soal bagaimana bertoleransi, tapi ini soal menyangkut mencampuradukkan keyakinan.
Perbuatan demikian dalam kitab sulam Taufiq tergolong sebagai murtad itiqadi yaitu ragu akan ke Esa-an Allah, ragu kepada al-Qur’an serta menghalalkan perkara yang diharamkan oleh syariat.
“Wal Riddatu Tsalatsatu aqsaamin, itiqadaatun, wa afalun, wa aqwaalun, Wa kullu qismin yatasyaabu syuban katsiratan. Fa minal awwali Syakku fillah, au fi Rasulihi, au fil-Qurani…, au hallala harraman bil ijmai maluuman minaddin”.
Perbuatan murtad terbagi dalam tiga bagian; Keyakinan-keyakinan dalam hati, Perbuatan-perbuatan, Ucapan-ucapan. Dan setiap satu bagian memiliki beberapa cabang yang amat banyak, yaitu: Termasuk dari bagian murtad yang pertama (murtad yang berupa keyakinan) adalah, ragu kepada Allah, atau ragu kepada Rasul-Nya, atau Al-Qur’an…., Menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh kesepakatan ulama dalam urusan agama.
Termasuk ragu kepada Allah ialah meyakini kebenaran tuhan selain Allah. Allah dalam Al-Qur’an Surat al-Ikhlas menyatakan bahwa Diri-Nya adalah Esa (qul Huwallahu Ahad).
Berdoa dengan doa agama lain, sama saja meyakini Tuhan agama lain. Kemudian hal ini juga termasuk ragu akan kebenaran Al-Qur’an.
Pengucapan salam menggunakan salam lain agama ditinjau dalam perspektif agama di atas merujuk pada hukum haram, bidah, bahkan bisa jatuh pada murtad. Maka dengan demikian, hal ini merupakan perkara yang sangat urgen dan substantif dalam Islam. Tidak ada perkara yang paling urgen dan substanif di dalam Islam selain umat Islam membersihkan dirinya dari perbuatan syirik. Sebab syirik adalah perbuatan dosa yang tidak diampuni kecuali ia bertaubat.
Dari Abdurrahmân bin Abi Bakrah, dari bapaknya Radhiyallahu anhu , ia berkata, Nabi ﷺ bersabda:
“Perhatikanlah (wahai para Sahabat), maukah aku tunjukkan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. Kemudian para sahabat mengatakan: “Tentu, wahai Rasûlullâh.” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orangtua,” sebelumnya beliau bersandar, lalu beliau duduk dan bersabda, “Perhatikanlah! Dan perkataan palsu (perkataan dusta),” beliau selalu mengulanginya sampai kami berkata, “Seandainya beliau berhenti”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].
Allâh Subhanahu Wata’ala berfirman dalam QS an-Nisa 48:
“Innallaha la yaghfiru an yusraka bihi wa yaghfiru ma duuna dzalikan li man yasya . ma wan yusrik billah fa qad Iftara istman mubinan.”
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisâ. 48)
Meunurut Dr Adian Huasini, syirik dikatakan sebagai kezhaliman yang besar sebab hakikat syirik adalah merendahkan Allah, syirik merupakan perampasan hak Allah yaitu satu-satunya yang berhak disembah. Lebih lanjut Dr Adian Husaini menulis:
“Sekali lagi, kita renungkan, “syirik adalah kezhaliman yang besar!” Syirik itu zhalim kepada Allah. Syirik itu biadab (tidak beradab) kepada Allah. Syirik merupakan bentuk kekurangajaran yang luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syirik disebut zhalim karena tidak “meletakkan” Allah pada tempatnya, sebagai Sang Khaliq.
Syirik itu hakikatnya merendahkan martabat Allah, karena disetarakan dengan makhluk. Karena itu, “riya” disebut dengan “syirik kecil” karena mempersembahkan amal perbuatan kepada makhluk; ; mengharap pujian dari makhluk; bukan pujian dan ridha dari al-Khaliq, Allah Subhanahu Wata’ala.
Syirik juga pada hakikatnya merupakan tindakan korupsi, karena merampas hak Allah Subhanahu Wata’ala, sebagai Dzat satu-satunya yang berhak disembah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada Muadz bin Jabal”. “Taukah kamu apa hak Allah atas hambah-hamba-Nya?” Muadz berkata, Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Lalu Nabi bersabda. (yaitu) hendaknya mereka beribadah kepada kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga…” (HR Bukhari dan Muslim”. (Adian Husaini, “Pendidikan Islam, Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidiaya 2045, hal. 115).
Maka sebagai seorang Muslim yang beradab, tidak ada hal yang prinsipil, urgen, dan substantif kecuali mendahulukan adab kepada Allah dari selain Allah. Adab kepada Allah ialah memurnikan tauhid dan tidak mensyirikkan Allah. Di antara tidak mensyirikkan Allah ialah tidak mengucapkan salam, apalagi menggunakan salam non Muslim kepada non Muslim.
Pesan penulis untuk siapa saja yang biasa menggunakan salam itu hendaklah meninggalkan kebiasaan tersebut. Sebab tidak bisa dikaitkan lagi dengan toleransi. Ingatlah, setiap diri adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Wallahu alam Bishawwab.*
*Penulis adalah santri