Oleh: Chandra Pribadi
Hidayatullah.com | DALAM perspektif universal, manusia sulit hidup tanpa sebuah agama. Dengan agama, manusia hidup menjadi terarah dan menjadikannya sebagai humanisme.
Kalangan penganut relativisme mengatakan semua agama sama dan benar. Mereka mengatakan, semua penganut agama tidak berhak mengatakan agamanya saja yang benar karena kita bukanlah hakim untuk agamanya, sebab menurutnya, setiap jiwa memiliki agama khusus untuk dirinya sendiri, dan tidak ada orang lain yang mempunyai hak untuk menilai agamanya. (Hazrat Inayat Khan, Kesatuan Ideal Agama-Agama, (Yogyakarta: PUTRA LANGIT, 2003)).
Pemikiran yang menganggap semua agama sama, dan sama benar (pluralisme agama) seperti ini tidak dipakai dalam Islam. Sebab dalam Islam, sesungguhnya tidak dibenarkan sebuah ajaran yang membenarkan semua agama, beberapa ayat telah menjelaskan hal tersebut:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ…
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS: Al Kahfi: 29).
Nilai-nilai yang disebut di atas tidak boleh diubah dan diabaikan. Ia adalah harga mati karena itu adalah haq, yakni sesuatu yang mantap dan tidak mengalami perubahan, sebab sumbernya Allah Swt. Karena itu, siapa yang menerimanya silahkan menerimanya dan siapa yang enggan, biar saja dia enggan, Islam tidak memaksa.
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS: Al- Kafirun: 6).
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah-nya, kata din di ayat di atas dapat berarti agama, atau balasan, atau kepatuhan. Sementara ulama memahami kata tersebut di sini dalam arti balasan.
Kalau din diartikan agama, ayat ini tidak berarti bahwa Nabi mempersilahkan mereka menganut apa yang mereka yakini. Apabila mereka telah mengetahui tentang ajaran agama yang benar dan mereka menolaknya serta bersikeras menganut ajaran mereka, ya silahkan, sebagaimana disitir QS. Al-Baqarah: 256.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: Al-Baqarah: 256).
Dalam Surat As Saba’ Allah telah memperingatkan, kelak mereka akan mempertanggungjawabkan masing-masing.
وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ
قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ
“Dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat”.Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (QS: As-Saba’: 24-26).
Ayat surah ini menanggapi usul kaum musyrikin untuk berkompromi salam akidah dan kepercayaan tentang Tuhan. Usul tersebut ditolak dan akhirnya ayat terakhir surah ini menawarkan bagaimana sebaiknya perbedaan tersebut disikapi. Demikian bertemu akhir ayat surah ini dengan awalnya.
Jadi, agama Islam adalah agama yang benar, tetapi merealisasikan kebenaran juga tidak seharusnya dengan kekerasan, seperti memaksa masuk ke dalam Islam, menghukum orang-orang yang tidak masuk Islam. Tentunya hal-hal yang demikian tidak dibenarkan dalam Islam, melainkan menyampaikan kepada mereka tentang kebenaran yang sebenarnya.
Islam adalah agama yang toleransi terhadap agama lainnya, namun hal itu tidak memaksa agama lain untuk masuk ke dalam agama Islam. Tetapi jika toleransi dimaknakan untuk membenarkan semua agama, tentu sangat tidak dibenarkan dalam Islam.
Tuhan Muslim adalah Allah bukan yang lain, jika menyamakan Allah dengan makhluk maka tentunya umat tersebut telah melakukan sebuah kesyirikan yang merupakan dosa besar. Wallahu a’lamu bi as-shawab.*
Peserta PKU-UNIDA Gontor angkatan X
Baca juga: Pluralisme, Klaim Kebenaran yang Berbahaya