Oleh: Muhammad Syafii Kudo
Hidayatullah.com | MEMULAI hari di awal tahun 2020 jagad pemberitaan tanah air didominasi oleh warta berbagai bencana alam. Tanpa menafikan apa yang terjadi di daerah lain, bencana banjir di Jakarta, Bogor, Banten dan daerah sekitarnya dinilai sebagai yang paling parah.
Apalagi Jakarta sebagai ibu kota negara tentu memiliki porsi pemberitaan yang lebih banyak dan disorot lebih tajam dibandingkan daerah yang lain.
Ada sisi unik dari banjir Jakarta kali ini yang layak dikupas dari perspektif akidah, dalam hal ini secara perspektif Aswaja.
Seperti kata pepatah bijak, bencana yang sesungguhnya adalah manakala kita salah dalam menyikapi bencana.
Juga dikatakan bahwa saat kita gagal membaca pesan dari bencana yang terjadi maka hal itu bisa dikatakan sebagai bencana di dalam bencana.
Banjir Jakarta yang kini dipolitisasi oleh pihak yang berseberangan pandangan politik dengan Gubernur DKI bisa disebut sebagai bencana, karena dinilai sebagai nir-etika.
Alih-alih membahas pemulihan infrastruktur publik dan kehidupan sosial warganya serta mencari solusi permanen agar banjir musiman Jakarta bisa dicegah di masa berikutnya, para musuh politik Gubernur tersebut malah berdemo menuntut pemecatan sang Gubernur. Meski hal tersebut sah-sah saja dalam negara demokrasi, namun nilai etika harus pula dikedepankan.
Karena tak etis jika bencana banjir Jakarta yang masih terkait dengan banjir di hulu (Bogor) dan sekitarnya ditimpakan kesalahannya kepada satu pihak saja (Gubernur DKI).
Apalagi penghakiman berlandaskan dendam politik itu dilakukan di saat kondisi psikologis para korban belum sepenuhnya pulih.
Harusnya diakui bahwa bencana ekologis itu adalah sebagai peringatan kepada semua pihak agar mampu berbenah diri.
Daripada saling menyalahkan apalagi demi ambisi dendam politik seyogyanya semua pihak saling legawa untuk bermuhasabah diri.
Alam yang dituding sebagai biang bencana tak lain hanya bagian dari” tentara” Allah.
Alam bergerak sehingga bencana terjadi juga atas izin Allah. Hal itu sebagai pengingat bahwa ada yang salah dengan kelakuan manusia.
“Dan Musibah yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan kalian, dan Allah telah memaafkan banyak kesalahan.” (QS: As-Syura: 30).
Allah “menjewer” manusia dengan bencana “kecil” akibat kesalahan mereka sendiri.
Lihatlah bagaimana hutan, sungai, tanah, laut, dan udara, semuanya itu tak luput dari tindakan jahil manusia.
Maka sangat layak peringatan Allah datang kepada manusia. Karena Allah sudah jauh hari mewanti-wanti dalam FirmanNya,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS: Ar Ruum :41).
Islam menyikapi bencana
“Kebaikan yang menimpamu maka hal itu dari Allah dan keburukan yang menimpamu maka hal itu karena dirimu sendiri. (QS. An-Nisa: 79).
Adab seorang Muslim ketika ada musibah terjadi adalah meyakini bahwa hal itu pasti akibat dari ulah manusia sendiri.
Meskipun semua yang terjadi pasti tak lepas dari campur tangan Allah, “Katakanlah, semuanya dari sisi Allah.” (QS: An-Nisa: 78). Namun itu bukan dalil pembenar untuk menyalahkan Tuhan.
Karena Allah Swt di dalam banyak Hadis sudah mendeklarasikan bahwa Dia mengharamkan semua bentuk kedzoliman bagi diriNya dan memerintahkan kaum beriman agar tidak berlaku dzolim pula.
Maka tentu berbagai bencana yang terjadi harus kita sikapi dengan bijak bahwa itu semua akibat kedzoliman manusia sendiri.
Sebab sebagai seorang Muslim kita berpedoman kepada Hadis Nabi Muhammad ﷺ, “Seluruh kebaikan ada dalam kuasa-Mu dan keburukan tidak dinisbatkan kepada-Mu.” (HR: Muslim)
Itulah akhlak seorang Muslim yang mana tidak menisbatkan sesuatu kepada Allah melainkan hanya kepada kebaikan. Dan jika ada keburukan terjadi maka itu tentu ternisbatkan kepada manusia itu sendiri.
Dalam Rukun Iman yang ke enam disebutkan bahwa kita wajib beriman kepada takdir baik dan takdir buruk.
Karena beriman kepada takdir baik dan buruk terkait dengan kesempurnaan iman seseorang.
“Seseorang tidak beriman sampai dia mengimani takdir, yang baik dan yang buruk.” (HR: Ahmad).
Bencana yang terjadi biasanya diklasifikasi menjadi 3 hal oleh para ulama.
Pertama sebagai ujian bagi orang yang beriman sebab dikatakan bahwa Allah manakala mencintai seorang hamba maka Dia akan mengujinya.
Kedua bencana dinilai sebagai peringatan bagi kaum yang lalai (lupa) agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Ketiga bencana dinilai sebagai azab bagi kaum yang durhaka sebagai akibat kedurjanaan mereka.
Menyikapi berbagai bencana yang terjadi saat ini harusnya dengan sikap yang arif. Daripada saling menyalahkan, seyogyanya kita bermuhasabah diri di posisi manakah kita saat ini. Apakah sebagai kaum yang diuji, diperingatkan, atau yang diazab.
Meskipun para Ulama banyak berpendapat bahwa bencana yang terjadi pada umat Nabi Muhammad ﷺ tidak bisa dikatakan sebagai azab karena Allah memuliakan umat ini sebab kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ.
Artinya bencana yang terjadi di zaman ini adalah ujian atau peringatan semata bukan azab seperti yang terjadi pada umat-umat terdahulu.
Imam Fakhruddin Ar Razi menyebutkan empat dalih bahwa bencana yang menimpa umat ini bukan sebuah azab.
Pertama, karena balasan suatu dosa hanya akan terjadi pada hari kiamat (Qs. Al Ghafir : 17). Kedua, bencana bisa menimpa siapa saja, baik orang shaleh atau tidak, baik yang beriman atau tidak, semua bisa tertimpa. Ketiga, dunia adalah tempat beramal bukan tempat pembalasan.
Keempat, bencana sebagai suatu musibah diturunkan karena menjadi proses yang terbaik bagi manusia.(Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Bairut: Dar al-Fikr, tth. Hal. 173-174)
Jika saling tuding dan saling menyalahkan tetap dilakukan maka bukan solusi yang didapat melainkan bencana baru yang akan dipanen.
Negeri ini butuh figur berjiwa besar baik Ulama, Umaro dan umatnya yang mampu mengakui kesalahan dirinya bukan sibuk menuding pihak lain.
Ini penting dilakukan agar masing-masing diri bisa saling bermuhasabah dan beristiqfar kepada Allah hingga Allah menurunkan ampunanNya supaya bencana tak sering bersilaturrahim ke negeri ini.
“Syekh Atha’ al-Salami (tabiin junior Kota Basrah) saat penduduk negerinya tertimpa bencana, berkata:
“(Bencana) Ini disebabkan dosa Atha’. Andai ia keluar dari negerinya, niscaya bencana tidak akan menimpa mereka.” (Abdul Wahhab al Sya’rani, Tanbih al Mughtarrin, Kairo: Maktabah at-Taufiqiyyah, tth. Hal 87).
Di zaman saling tuding seperti ini, kita butuh para pemimpin yang mampu meniru ketawadhu’an Syeikh Atho’ As Salami yang menimpakan kesalahan kepada diri sendiri saat bencana melanda bukan sibuk menuding pihak lain.
Akar Bencana
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (QS: Al Anfaal : 33)
Berdasar ayat tersebut, Qodhi Abi Fadhl Iyadh dalam kitabnya menukil hadis bahwa Rasulullah ﷺ. telah bersabda, “Allah menurunkan dua keamanan bagi umatku,” yaitu disebutkan dalam firman-Nya: Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun. (QS: Al-Anfal: 33).
Selanjutnya Nabi ﷺ. bersabda, “Apabila aku telah tiada, maka aku tinggalkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah) di kalangan mereka sampai hari kiamat.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ adalah keamanan yang besar (agung) selama beliau hidup dan selama sunah-sunahnya masih hidup abadi dan ketika sunah-sunahnya mati (ditinggalkan) maka lihatlah oleh kalian berbagai bencana dan rupa macam fitnah. (As Syifa’ Bi Ta’rifie Hukukil Mustofa Juz 1 Hal. 37).
Jadi selama Nabi Muhammad ﷺ masih hidup maka Allah tak akan mengadzab umat ini. Juga selama sunah-sunahnya masih hidup maka keamanan bagi umat ini akan tetap terjaga. Sebaliknya saat sunah-sunahnya ditinggalkan maka bencana dan fitnah akan bermunculan.
Solusi pencegah berikutnya, yaitu mengikuti Ahlul Bait yang berakidah Aswaja bukan yang abal-abal (Syiah).
Dari Sayyidina Ali ra ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Bintang-bintang itu pengaman penduduk langit, dan ahli baitku pengaman penduduk bumi. Apabila ahli baitku hilang, maka penduduk bumi hilang. Dalam suatu riwayat lain disebutkan: “Apabila ahlu baitku binasa, maka datanglah kepada penduduk bumi tanda-tanda yang telah dijanjikan kepada mereka.” (HR: Imam Ahmad)
Dari pemaparan ini kita bisa introspeksi diri bahwa banyaknya bencana di negeri ini bukan akibat rusaknya alam semata seperti pandangan kaum materialisme.
Namun akibat mulai matinya sunah-sunah Nabi, kemaksiatan merajalela dan banyaknya Ahlul Bait Nabi yang disakiti.
Sesungguhnya Nabi ﷺ telah bersabda sedangkan beliau di atas mimbar: “Apa keadaan kaum yang menyakiti aku dalam nasab dan kerabatku. Ingat, barangsiapa yang menyakiti keturunanku dan orang-orang yang mempunyai hubungan denganku, berarti ia menyakiti aku, dan barangsiapa menyakiti aku, maka ia benar-benar menyakiti Allah Ta’ala.” (HR:at-Thabrani dan al-Baihaqi)
Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Allah sangat murka terhadap orang yang menyakiti aku (dengan cara menyakiti) keluargaku.”(HR. Ad-Dailami)
Walhasil agar negeri ini aman dari berbagai bencana maka syarat utamanya adalah jangan pernah membuat Allah murka.
Merusak alam, korupsi, zina, khomr dan berbagai kemaksiatan lainnya memang mengundang murka Allah. Namun kemurkaan terbesar Allah adalah ketika kekasihNya (Rasulullah ﷺ) disakiti hatinya. Apa yang menyebabkan Rasulullah ﷺ tersakiti ? Yaitu ketika Ahlul Bait nya disakiti, sunah-sunahnya ditinggal atau minimal dinyinyiri dan manusia tidak melazimi taubat. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Santri Kulliyah Dirosatul Islam Pandaan