Hidayatullah.com– Kebiadaban rezim Myanmar di Rakhine benar-benar menyentak nurani insan berakal. Bukan sekadar soal jumlah kaum Muslim yang mereka bantai, tetapi juga derita anak-anak yang tak berdosa. Kaum wanita, orangtua, dan anak-anak menjadi pihak yang paling menderita dari kekejaman tentaran Myanmar.
Itulah yang terekam dalam kisah perjalanan pengiriman bantuan ke Bangladesh yang dilakukan oleh Forum Zakat (FOZ) dan diwakili oleh Amin Sudarsono.
“Sabiqunnahar namanya. Perempuan sekira 30 tahun itu menggendong bayi dengan ukuran tubuh sangat kecil, beratnya tidak lebih dari dua kilogram. Kurus kering, kelopak mata cekung dan kulit keriput,” terang Amin Sudarsono yang mewakili beberapa lembaga zakat yang tergabung dalam Forum Zakat Nasional belum lama ini.
“Remuk redam hati saya. Bayi Rohingya yang kurang gizi. Asupan tak ada, air susu ibunya tidak lagi keluar, susu formula apalagi, tak pernah disentuhnya. Tiba-tiba saya terbayang anak ketiga saya, dengan usia yang sama tapi kulitnya halus dan badan gemuk,” imbuhnya dalam laporan tertulis yang diterima hidayatullah.com.
Di samping Sabiqunnahar berdiri gadis kecil, tujuh tahun usianya, yang tak lain adalah anak pertamanya. “Dia (gadis kecil) menggendong bayi kecil juga. Ternyata itu bayi kembar. Namanya Alina dan Alisa. Balita perempuan. Lahir kembar dari rahim Sabiqunnahar,” tuturnya.
Kondisi itu sebenarnya sudah membuat Amin shock. Tetapi, rasa pedulinya terus mendorongnya untuk mengetahui lebih jauh.
“Dimana suamimu?” tanyanya melalui penerjemah. “Hilang diculik tentara di Rakhine,” jawab Sabiqunnahar datar.
“Ya, tidak ada (lagi) tangis, tidak ada raut sedih. Hanya datar. Janda dengan tiga anak kecil itu berkata dengan datar. Terenyuh hati saya,” ucap Amin.
Sabiqunnahar datang bersama lelaki tua berjenggot putih, yang tak lain adalah ipar, alias kakak dari suaminya yang hilang tanpa jejak.
Bersama bayi-bayinya, ia berjalan tujuh hari dari Rakhine, menyeberang perbatasan, mengarungi Sungai Naf, sampai di Teknaf lalu dijemput truk tentara Bangladesh dan diantar ke Kamp Taingkhali, Cox’s Bazar, Bangladesh.
Waktu itu, saat mentari bersinar dengan teriknya, Nahar datang ke posko pengobatan Indonesia. Dokter Iqbal memeriksa, menempelkan stetoskop ke dada bayi Alina. Hanya tulang menonjol.
“Bayangkan, bayi mungil dengan tulang dan kulit tipis. Bekerjap-kerjap mata cekung, tangan menggapai selendang lusuh milik ibunya. Tak ada tangis juga. Hanya mulut kecil membuka,” jelas Amin.
Demikianlah sekelumit kesedihan, nestapa yang dialami oleh Muslim Rohingya di Bangladesh akibat persekusi yang dilakukan secara biadab oleh tentara Myanmar.
“Sebenarnya, banyak kisah harus dituliskan. Banyak cerita mesti dimunculkan, banyak berita perlu dikabarkan. Persoalan Rohingya ini tidak akan selesai dalam sepuluh tahun ke depan. Entah bila Allah menggariskan takdir yang lain bagi bangsa yang teraniaya ini,” terang Amin menambahkan.
FOZ dalam bantuan untuk Rohingya ini membawa amanah dari berbagai lembaga kemanusiaan di Indonesia, seperti Lazis PLN, Laz BSM Ummat, Baitul Maal Hidayatullah (BMH), Rumah Amal Salman, Lazis Jateng, Laz Al-Azhar, Laz Harfa Banten, YDSF, Yatim Mandiri, dan Portal Infaq.*