Hidayatullah.com — Buya Hamka wafat tahun 1981, namun baru diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011. Selama kurun waktu tiga dekade itu, umat Muslim Indonesia praktis ‘kehilangan jejak’ beliau. Demikianlah keprihatinan yang disampaikan oleh Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat, Akmal Sjafril, dalam wawancara yang dilakukan melalui aplikasi Whatsapp pada Senin (08/05).
Selama tiga puluh tahun setelah wafatnya Buya Hamka, hanya Tafsir Al-Azhar dan beberapa buku beliau lainnya saja yang masih banyak beredar. “Selebihnya tidak banyak di pasaran, bahkan tidak sedikit yang sudah lama berhenti dicetak. Baru beberapa tahun belakangan ini buku-buku karya Buya Hamka mulai dicetak ulang secara masif lagi di Tanah Air,” ungkap lelaki yang menulis tesis dan disertasinya tentang Buya Hamka ini.
Hal yang sama, menurut Akmal, justru tidak terjadi di negeri jiran seperti Singapura dan Malaysia. “Waktu saya mengerjakan tesis pada tahun 2009, saya harus berburu karya Hamka di toko-toko buku bekas. Tapi ketika saya mengunjungi Singapura pada tahun 2012, baru saya menyadari bahwa buku-buku Buya tidak pernah berhenti dicetak ulang dan terus beredar di Malaysia dan Singapura,” ujar Akmal lagi.
Dalam forum-forum akademis, pemikiran Buya Hamka masih terus digali di Malaysia. “Saya pernah menyampaikan makalah saya tentang peranan Buya Hamka dalam mencegah konfrontasi Indonesia dengan Malaysia di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Sambutannya sangat bagus, banyak yang tertarik. Pada dasarnya orang Malaysia selalu penasaran jika ada karya yang membicarakan Buya Hamka, sebab nama Buya Hamka sangat mentereng di sana. Seminar tentang pemikiran Buya Hamka tidak pernah absen diadakan setiap tahunnya di Malaysia,” tandas aktivis #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) ini.
Besarnya perhatian warga jiran terhadap Buya Hamka terlihat sangat kontras dengan kondisi di Tanah Air. “Banyak yang kaget ketika mengetahui betapa besar kontribusi pemikiran beliau, karena banyak yang hanya mengenal beliau dari novel-novelnya. Bagi sebagian orang, imej Hamka sebagai novelis bahkan lebih kuat ketimbang sebagai ulama. Sebagiannya hanya bisa melihat permukaan terluar dari novel-novel Hamka, sehingga hanya muncul kesimpulan bahwa Buya adalah penulis roman yang pandai menguras air mata. Padahal di masa lampau sudah cukup banyak yang menganalisis karya-karya fiksi beliau secara mendalam, melihat kandungan nilai-nilai keislaman di dalamnya, kritik-kritik sosialnya dan seterusnya,” ujar Akmal.
“Indonesia sudah ketinggalan beberapa langkah dalam melestarikan warisan pemikiran Buya Hamka. Walaupun begitu, tidak ada kata terlambat, selama belum Kiamat,” pungkas penulis buku Islam Liberal: Ideologi Delusional ini.
Selain menggelar Nobar & Bedah Film Buya Hamka di Jakarta dan Bandung, SPI banyak menggali pemikiran Buya Hamka dalam berbagai kegiatannya. Ketika pada akhir 2022 muncul isu bahwa Hamka mengharamkan Pancasila, SPI merespon beberapa hari kemudian dengan menggelar Studium Generale bertajuk “Sikap Buya Hamka Terhadap Pancasila”. (SPI Media Center)