Hidayatullah.com– Kejaksaan Prancis, hari Kamis (11/5/2023), kembali meminta dilakukannya persidangan ulang atas bekas presiden Nicolas Sarkozy dan 12 rekannya dalam kasus dugaan donasi ilegal berupa uang dari pemimpin Libya Muammar Qaddafi untuk biaya kampanye pilpres 2007.
Politisi yang kini berusia 86 tahun itu dituduh menyelewengkan uang rakyat, suap, berkaitan dengan kriminalitas dan pendanaan ilegal untuk kampanye, kata kantor kejaksaan dalam sebuah pernyataan seperti dilansir DW.
Sarkozy diduga menerima jutaan euro yang secara ilegal didapat dari pemimpin Libya Muammar Qaddafi untuk biaya kampanye pemilihan presiden tahun 2007, yang akhirnya dimenangkan Sarkozy.
Di awal masa jabatan sebagai presiden, Sarkozy menjalin hubungan yang cukup akrab dengan Libya, contohnya mengundang Qaddafi untuk melakukan kunjungan resmi pada 2009. Namun, pada 2011, di tengah gelombang Arab Spring yang melanda Timur Tengah dan Afrika Utara, dia menempatkan Prancis di depan negara-negara Barat yang menyerukan pelengseran Qaddafi. Bahkan tersiar kabar bahwa orang yang menembak mati Qaddafi yang ditemukan bersembunyi di gorong-gorong saluran air adalah suruhan intelijen Prancis.
Bekas menteri anggaran Eric Woerth, tangan kanan Sarkozy yang bernama Claude Gueant dan bekas menteri Brice Hortefeux termasuk dari sejumlah bekas pejabat Prancis yang disebut dalam dakwaan.
Belum jelas apakah Sarkozy nantinya akan benar-benar bisa dibawa ke meja hijau, karena permintaan kejaksaan itu hanyalah langkah awal yang harus ditempuh dari jalan panjang sebelum sebuah kasus dapat disidangkan di pengadilan Prancis. Hakim penyidik harus memastikan terlebih dahulu bahwa kasusnya memang layak dibawa ke pengadilan setelah pihak kejaksaan meyakini kasusnya patut ditindaklanjuti ke persidangan.
Pada tahun 2016, muncul seorang saksi yang mengatakan bahwa pada akhir 2006 atau awal 2007 dia membawa sejumlah koper yang disiapkan oleh rezim Libya – dengan uang $5 juta (€5,5 juta) di dalamnya – dan mengantarnya ke kantor Kementerian Dalam Negeri di Paris, yang kala itu dipimpin oleh Sarkozy.
Nicolas Sarkozy, yang bertempat tinggal di Istana Élysée antara 2007 dan 2012 sebagai presiden, selalu membantah klaim tersebut.
Kasus Libya ini bukan satu-satunya skandal yang dihadapi Sarkozy. Dia sebelumnya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara, dua di antaranya ditangguhkan, untuk kasus suap dan penyelewengan kekuasaan. Hasil banding Sarkozy dalam kasus-kasus itu akan diumumkan pekan depan. Dia juga mengajukan banding atas tuduhan penipuan kampanye, yang dibuat pada tahun 2021.
Dia adalah mantan presiden Prancis pertama yang dijatuhi hukuman penjara karena pelanggaran yang dilakukan selama dan setelah masa jabatannya, meskipun Jacques Chirac pendahulunya yang populer juga pernah dihukum – meskipun dengan hukuman penjara ditangguhkan – pada tahun 2011.*