Oleh: Rossem (H. Rosidi Semail)
PULAU Melaka, tetapi letaknya di Kelantan, tentu aneh! Kenapa nama Melakaada di Kelantan, padahal jarak antara kedua negara itu hampir 700 kilometer. Tentu ada sejarahnya tersendiri.
Kampung Pulau Melaka sudah ada ratusan tahun sebelumnya, ketika era kesultanan Melayu Melaka masih tegak. Ketika itu Kg Pulau Melaka diperintah oleh kesultanan Jembal, antara sultan Jembal yang terkenal adalah Raja Sakti (1638M).
Hubungan antara dua negara di Pantai Barat dan Pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu itu hanya lewat kapal laut yang berlayar menyusuri Selat Melaka dan Laut Cina Selatan. Belum ada jalan darat saat itu (Abad ke 16 H).
Pemerintah Jembal di masa kejayaan maju dan makmur, pedagang luar datang berdagang. Sungai Pulau Melaka yang dalam airnya serta lebar memudahkan kapal- kapal berlayar dan singgah berlabuh di situ. Hal ini menimbulkan iri hati Sultan Melaka, lalu mengirim mata untuk mengintip kekuatan pertahanan pemerintah Jembal.
Perbuatan dan niat buruk itu diketahui Raja Jembal, lalu mata Melaka itu di tangkap dan diasingkan di sebuah pulau kecil pinggiran sungai. Akhirnya pulau itu dinamakan Pulau Melaka, sempena keturunan orang-orang Melaka itu.
Sekarang nama Pulau Melaka kembali disebut-sebut dan meniti di bibir-bibir rakyat setelah seorang putra kelahiran Kampung Pulau Melaka yang pulang ke rahmatullah pada jam 9.45 malam, 12 Februari 2015 di rumahnya Pulau Melaka.
Putra kesayangan umat itu tak lain adalah Mursyidul Am PAS dan mantan Menteri Besar Kelantan (Gubernur) Negara Bagian Kelantan, Tok Guru Dato ‘Nik Abdul Aziz Nik Mat.
Almarhum menghembus nafas terakhir dalam usia 84 tahun setelah mendapat perawatan di rumah sakit Sultanah Zainab Kota Bharu, karena mengidap kanker prostat yang terdeteksi sejak Pemilihan Umum ke 13 dan kondisinya memburuk setelah bencana banjir melanda Kelantan akhir Desember 2014 lalu. [Baca: Mursyidul Am PAS Nik Aziz Nik Mat Meninggal Dunia]
Nik Abdul Aziz Nik Mat adalah seorang putra asal Pulau Melaka. Ayahnya, almarhum Haji Nik Mat bin Raja Banjar adalah dari keturunan Raja Jembal yang memerintah Kelantan dalam kurun ke 16.
Keturunan Raja Jembal itu masih banyak lagi di negeri Kelantan, terutama di Kota Jembal (Dulunya Toko Lalat), Pulau Melaka, Binjai, dan Banda Aceh. Pemakaman Almarhum bersebelahan dengan pusara ayahandanya Haji Nik Mat Bin Raja Banjar.

Almarhum menikah dengan Tuan Sabariah Tuan Ishak, atas pilihan bibi tua pada 1962. Ketika itu Tok Guru, demikian ia akrab dipanggil masih berusia 31 tahun, sedangkan istrinya kala itu masih berusia 14 tahun.
Hasil pernikahan itu dikaruniai 10 cahaya mata, 5 pria dan 5 perempuan. Antara anaknya yang mengikuti jejak menjadi politikus adalah Muhamad Abduh, sekarang menjadi Wakil Rakyat.
Tanpa Pembantu dan Sekretaris Pribadi
Rumah kediamannya di Kg. Pulau Melaka sangat sedarhana. Rumah lama berdinding papan (kayu), hanya beton pada bagian belakang (dapur). lebih bersemangat karena rumah itu berpagar, sebagaimana rumah-rumah kediaman orang sekarang. Bahkan tidak ada penjaga keamanan mengontrol rumah itu, padahal ia seorang Menteri Besar (23 tahun). Sebagai Menteri Besar, berhak mendapatkan kalwalan polisi di rumahnya.
Tok Guru tak ingin membangun pagar di rumahnya. Tidak ada istilah “privacy” dalam kamus hidupnya. Siapapun dan setiap saat bisa datang ke rumahnya, Tok Guru selalu melayani tamu dengan penuh keramahan, kecuali bila masuk waktu shalat, Tok Guru memimpin shalat jamaah.
Pertama kali saya ke rumah Tok Guru tahun 2000, menemani seorang teman dari Jakarta, Indonesia. Setelah memperkenalkan diri (sebenarnya malu untuk memperkenalkan diri sebagai kartunis ke seorang ulama besar seperti Tok Guru). Tok Guru kemudian melontarkan ungkapan yang sampai hari ini masih segar dalam ingatan saya, “Jadi kartunis Islam,” ujarnya.
Sebulan setelah itu saya hadir dalam sebuah ceramah Tok Guru di Kuala Lumpur, beliau menyebut lagi di hadapan ribuan penonton “Kepada kartunis saya menasihati mereka, jadilah kartunis yang bermanfaat untuk perjuangan Islam”.
Sebelumnya saya pernah mendengar banyak perbincangan, Tok Guru mengambil sendiri minuman (teh/kopi) di dapur rumahnya kepada tamu yang datang.
Hari itu, ketika saya sedang mengantar tamu, saya melihat sendiri bagaimana Tok Guru melayani tamunya dengan baik. Ia masuk ke dapur, dan kembali dengan membawa nampan yang berisi dua cangkir teh untuk kami berdua. Tak ada pembantu di rumahnya, padahal beliau seorang Menteri Besar (Gubernur).
Sebagai Menteri Besar, ia disediakan sebuah rumah dinas, namun Tok Guru justru tidak tinggal di rumah itu. Sebaliknya justru tinggal di rumah sendiri di Pulau Melaka.
Segala fasilitas seperti biaya sewa dan biaya melayani tamu sebanyak RM3,000 (sekitar Rp. 9 juta perbulan) yang dialokasikan pemerintah, justru tak diambilnya dan dikembalikan pada pemerintah.
Di antara rutinitas harian Tok Guru Nik Aziz selama menjadi Menteri Besar Kelantan 23 tahun sungguh membuat orang beriman di manapun iri.
Begitu tiba di kantor di Kota Darulnaim, didahului dengan shalat dhuha, baru kemudian memulai kerja.
Selain itu, memberikan tazkirah (peringatan) pagi untuk semua karyawan di semua kantor di kompleks administrasi negara yang dipancarkan melalui pengeras suara yang terhubung ke setiap gedung dan kantor selama 10 menit. Itu dilakukan setiap pagi hari pada jam kerja (antara pukuk 8.00).
Selama 9 tahun (2005 – 2013) saya bekerja di bawah pemerintahannya di Kota Darulnaim, Tok guru mudah ditemui. Siapa saja bisa datang tanpa perlu janjian atau melewati sekretaris. Tidak ada protokol baginya, wartawan bahkan bisa bertanya apa saja, tak peduli tempat. DI mana beliau ada, di situ wartawan bisa mewawancarainya. Meski seorang pejabat Negara, Tok Guru tak memiliki sekretaris pribadi atau petugas protokoler.
Di pentas ceramah, Tok Guru tidak pernah memilih-milih khalayak. Banyak ceramahnya selalu terkait dengan hukum Islam. Suatu ketika beliau berceramah tentang politik yang dihadiri para pemimpin partai dan warga non-Muslim.
“Di atas muka bumi ini ada dua golongan, yaitu Muslim dan non-Muslim. mereka yang non-Muslim itu kafir, matinya masuk neraka,” demikian ceramahnya kala itu.
Yang menarik, tak satupun warga non-Muslim marah dengan kata-kata Tok Guru itu. Beliau bahkan dihormati kalangan non-Muslim. Itulah salah satu kelebihannya.
Kemampuan 4 Bahasa
Dengan gambar serban dan jubah, Tok Guru menjadi Menteri Besar Kelantan selama 23 tahun mulai 1990 sampai 2013. Ketika televisi menyiarkan segmen berita tentang pengangkatan Tok Guru Nik Aziz pada 1990, kala itu saya bekerja di kantor pemerintah di Kuala Lumpur. Kami bersama teman-teman sekantor menoton segmen berita pagi itu. Seorang karyawan wanita sempat mencelah (menghina) “Dapatkah Nik Aziz berbicara orang putih (bahasa Inggris)?
“Kantor Menteri Besar harus tahu orang putih, ” ujarnya. Saya menjawab, “Kalau Tun Dr Mahathir (ketika itu Perdana Menteri Malaysia) dapat berbicara dua bahasa, yaitu Melayu dan Inggris, Nik Aziz justru berbicara 4 bahasa; Melayu, Arab, Urdu dan Inggris.” Dan wanita itu kemudian terdiam.
Faktanya, meskipun berserban, berjubah, berstatus ulama, namun telah berhasil mengelola Negeri Kelantan dengan damai selama 23 tahun, dengan menempatkan Islam di tempat yang paling tinggi.*/(bersambung)
Penulis kartunis, tinggal di Kelantan Malaysia