Hidayatullah.com – Seribuan tempat sholat terancam ditutup lewat sebuah rancangan undang-undang (RUU) kontroversial yang diajukan koalisi partai kanan ekstrem di Italia.
Politisi oposisi juga menentang RUU yang mereka yakini tidak konstitusional dan merupakan bentuk “diskriminasi yang tidak dapat diterima”.
Disampaikan oleh Perdana Menteri Giorgia Meloni dari partai Brothers of Italy, RUU tersebut akan menargetkan ruang sholat yang tidak ada di masjid atau yang tidak pernah mendapat persetujuan resmi untuk digunakan untuk beribadah, seperti tempat berbagai organisasi budaya Muslim.
“Itu tidak masuk akal. Itu akan bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama, ketika negara seharusnya menciptakan kondisi yang memungkinkan orang untuk menggunakan hak mereka untuk menjalankan agama apa pun,” kata Yassine Lafram, presiden Persatuan Komunitas dan Organisasi Islam di Italia (UCOII).
Menurut laporan UCOII yang diterbitkan pada tahun 2017, terdapat 1.217 ruang sholat Muslim di Italia saat itu.
Hanya enam di antaranya yang resmi menjadi masjid – dan dapat dikenali karena fitur arsitektural yang khas seperti menara – dan kira-kira 50 lainnya diizinkan untuk digunakan untuk beribadah.
Sisanya diklasifikasikan terutama sebagai asosiasi budaya tetapi juga digunakan sebagai ruang sholat, dengan sebagian besar didirikan di garasi, gudang, apartemen, dan ruang bawah tanah, menurut laporan UCOII.
RUU yang bertujuan untuk membatasi tempat-tempat ini memiliki ketentuan yang memungkinkan sholat di sana hanya jika kegiatan keagamaan tersebut diatur oleh kesepakatan dengan negara Italia.
Didesain sedemikian rupa, RUU tersebut terutama akan mempengaruhi komunitas Muslim Italia, karena merupakan kelompok agama terbesar di negara yang tidak memiliki kesepakatan semacam itu dengan pemerintah.
Tidak Ada Pilihan Lain
Para ahli mengatakan memperoleh izin untuk menggunakan bangunan sebagai tempat ibadah selalu menjadi proses yang sangat panjang, rumit, dan mahal di Italia.
Upaya untuk membangun masjid sering ditanggapi dengan permusuhan oleh otoritas lokal dan penduduk, yang telah menyebabkan beberapa proyek di seluruh negeri dalam ketidakpastian birokrasi.
Inilah sebabnya mengapa umat Islam di Italia terpaksa membuka pusat budaya semacam itu dan menggunakannya sebagai ruang sholat, menurut para pemimpin agama dan pakar.
“Memang benar mereka menggunakan escamotage ini, seperti yang dikatakan rancangan undang-undang,” kata Fabrizio Ciocca, seorang peneliti di Universitas La Sapienza Roma.
“Tapi Anda harus memberikan alternatif yang kredibel bagi komunitas Muslim jika Anda menutup semua pusat ini.”
Dia menunjukkan bahwa lebih dari 1.000 asosiasi yang berisiko ditutup juga merupakan ruang komunitas yang penting, serta pusat pendidikan untuk pengajaran bahasa Arab atau studi Alquran, kitab suci umat Islam.
Sami Salem, seorang imam atau dai, di Magliana, sebuah lingkungan di Roma, mengatakan komunitas Muslim siap bekerja sama dengan otoritas Italia untuk menemukan solusi yang berkelanjutan.
“Kami membuat banyak pengorbanan untuk menciptakan pusat-pusat ini. Kami siap bekerja sama dengan pihak berwenang,” katanya.
Lafram dari UCOII mengatakan organisasinya telah menghubungi politisi Italia tentang rancangan undang-undang tersebut.
Baginya, sisi terang dari potensi krisis bisa menjadi diskusi serius dengan pemerintah tentang Islam dan status umat Islam di Italia.
“Kami akan menjadi orang pertama yang mengatakan kami tidak ingin salat di gudang atau tempat lain karena masalah martabat,” katanya kepada Anadolu.
“Tapi pihak lain perlu memberikan solusi.”