Hidayatullah.com– Setelah kehilangan paman saya yang berusia 90-an tahun pada musim gugur tahun ini, saya bergegas mengeluarkan pakaian berkabung dari dalam lemari kalau-kalau harus segera menghadiri pemakamannya. Akan tetapi, ternyata pemakaman paman saya belum akan digelar sampai setidaknya enam hari kemudian, dikarenakan krematorium terdekat sudah penuh di-booking.
Begitu pembukaan tulisan Toshihiro Yamanaka di Asahi Shimbun, Selasa (28/11/2023), memulai ulasannya tentang antrean orang mati untuk dikremasi, menggambarkan salah satu dampak populasi Jepang yang menua.
Daftar tunggu yang panjang untuk kremasi sudah menjadi hal yang biasa selama bertahun-tahun di wilayah metropolitan sekitar ibukota Jepang, menurut seorang ahli.
“Masalahnya relatif lebih serius di bagian timur Jepang, dibandingkan di bagian barat negeri ini,” kata Mutsumi Yokota, 58, seorang peneliti senior di All Japan Cemetery Association.
“Keluarga-keluarga harus menunggu delapan sampai 10 hari di prefektur Tokyo dan Kanagawa,” ujarnya.
Asosiasi tersebut merilis hasil surveinya tentang kondisi krematorium dan rumah duka di seluruh penjuru Jepang pada musim panas tahun ini.
Didanai oleh Kementerian Kesehatan, survei itu merupakan kajian berskala besar pertama yang mengungkap kesulitan yang dihadapi 25 persen responden untuk menyimpan jasad sebelum proses kremasi.
Dalam banyak kasus, sejumlah agen khusus dibayar untuk menyimpan jasad dengan biaya umumnya 10.000 ($66) sampai 20.000 yen per hari. Jasad orang yang meninggal hanya dapat disimpan – dengan memenuhi standar tertentu – di rumah dan kuil untuk waktu yang terbatas.
Di tengah pesatnya penuaan populasi Jepang, terdapat lebih dari 1,56 juta orang meninggal dunia pada tahun lalu saja dan itu merupakan rekor tertinggi. Angka tersebut diproyeksikan akan terus meningkat dan mencapai puncaknya sekitar tahun 2040.
Namun, hanya sedikit pemerintah daerah yang berupaya untuk membangun lebih banyak krematorium.
“Tempat kremasi seringkali dipandang tidak menyenangkan, sehingga pendiriannya memerlukan waktu lebih dari satu dekade guna meyakinkan warga dan mendapatkan lokasi yang sesuai,” kata Yokota. “Alasan lain mengapa pemerintah daerah menahan diri untuk tidak mengadakan fasilitas tersebut secara sembarangan adalah perkiraan penurunan permintaan krematorium dalam 20 tahun dari sekarang.”
Guna mengatasi permasalah di atas, operator krematorium membuat kebijakan sendiri.
Saat ini mereka menerima mayat untuk dikremasi pada pagi dan malam hari, padahal sebelumnya jasad orang mati hanya dibakar pada siang hari. Fasilitas yang selama ini terbengkalai juga difungsikan kembali.
Sejumlah operator bahkan dikabarkan tetap menjalankan bisnisnya termasuk pada hari-hari yang secara tradisional dianggap “tidak bagus” bagi pelanggan yang percaya takhayul.
Di belahan dunia lain, sanak atau kerabat tidak harus bergegas untuk menyelenggarakan pemakaman orang yang mereka kasihi, tidak seperti di Jepang.
Itaru Takeda, 58, pimpinan Association of Research Initiatives for Cremation, Funeral and Cemetery Studies, mengatakan layanan pemulasaraan jenazah tersedia banyak di Amerika Serikat. Mereka dapat merias dan mendandani serta mengawetkan jasad agar tidak segera membusuk dan cukup bertahan lama sebelum proses pemakaman.
Upacara pelepasan tidak dilakukan tergesa-gesa, sehingga sanak keluarga, kerabat dan handai taulan dari tempat yang jauh memiliki waktu untuk datang sebelum pemakaman.
“Orang mengucapkan selamat tinggal dengan khidmat perlahan, tidak terburu-buru karena si mayat harus segera dibawa ke pemakaman,” papar Takeda. “Budaya pemakaman seperti itu sudah biasa di banyak negara.”
Di hari pemakaman paman saya, sebanyak 15 tungku api beroperasi serentak dengan kemampuan penuh di krematorium, sementara sekelompok orang berpakaian khusus belasungkawa bergerak dengan secepat mungkin mengangkut jasad si mati ke dalam ruang pembakaran.
Membayangkan suatu hari nanti mungkin jasad saya juga akan dibawa dengan tergesa-gesa seperti itu, sungguh membuat hatiku layu, pungkas Yamanaka.*