Hidayatullah.com—Populasi Korea Selatan (Korsel) berisiko punah pada tahun 2750 karena tren penurunan tingkat kelahiran, menurut sebuah penelitian yang dilaporkan surat kabar Daily Star.
Menurut The Times, tahun ini, seorang wanita Korea Selatan rata-rata memiliki 0,72 anak dalam hidupnya.
Sementara tahun lalu, Korea Selatan mencatat penurunan 19.000 bayi dibandingkan tahun 2022, atau setara dengan penurunan tingkat kelahiran sebesar 7,7 persen.
Ini adalah angka terendah yang pernah tercatat sejak rekor angka kelahiran dimulai 54 tahun yang lalu. Pada saat yang sama, meskipun jumlah kematian juga menurun sebesar 5,4 persen dibandingkan tahun 2022, itu masih belum cukup untuk mengimbangi populasi.
Angka kematian juga lebih tinggi dari angka kelahiran di Korea Selatan selama empat tahun berturut-turut. Jika tren itu tidak berubah, orang terakhir Korea Selatan diperkirakan akan meninggal pada tahun 2750.
Situasi ini telah membuat negara itu putus asa untuk meningkatkan kelahiran bayi, sementara wanita harus memiliki tingkat seumur hidup rata-rata 2,1 bayi. Ini tiga kali lipat dari level saat ini.
Para ahli sebelumnya memproyeksikan bahwa bahkan dengan tingkat kelahiran 1,19 yang hampir dua kali lipat dari tingkat saat ini, negara itu akan melihat penurunan populasi 12 juta orang selama 32 tahun.
Malas Menikah dan Punya Anak
Jumlah penduduk Korea Selatan menyusut untuk pertama kalinya pada tahun 2021, dan diperkirakan akan terus menurun , dari saat ini 52 juta menjadi 38 juta, pada tahun 2070.
Pemerintah daerah sudah menerapkan program untuk mendorong masyarakat memiliki anak. Mereka diberikan bantuan tunai, bantuan perawatan kesuburan, dukungan biaya pengobatan, dan pinjaman.
Namun menurut Jung Chang-lyul, seorang profesor kesejahteraan sosial di Universitas Dankook, mengatakan insentif tunai bahkan ‘sama sekali tidak berguna’.
‘Meskipun masalah angka kelahiran yang rendah mungkin tampak penting di permukaan, masalah sebenarnya adalah tidak ada seorang pun yang mengambil tanggung jawab,’ kata Jung, mengacu pada tingginya biaya membesarkan anak dan harga real estate – tidak terkecuali di Seoul, dimana rata-rata harga apartemen di telah meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.
‘Dalam masyarakat di mana anak-anak mulai menerima pendidikan swasta sejak usia dua atau tiga tahun, dan prestasi atau gaji mereka ditentukan oleh kekayaan orang tua mereka dan biaya pendidikan mereka. Mereka yang tidak mampu secara finansial berpikir bahwa melahirkan seorang anak seperti melakukan dosa,’ katanya.
Choi Jung-hee, seorang pekerja kantoran yang baru menikah, tidak memiliki rencana untuk memiliki anak.
‘Hidup saya dan suami saya adalah yang utama,’ katanya. ‘Kami menginginkan kehidupan yang menyenangkan bersama, dan meskipun orang mengatakan memiliki anak dapat memberi kami kebahagiaan, itu juga berarti harus banyak menyerah,’ kata dia.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Gaya hidup berubah
Ada banyak alasan mengapa wanita Korea Selatan menolak untuk memiliki anak, di antaranya biaya pendidikan dan pengasuhan anak yang jauh lebih mahal dari sebelumnya.
Tahun 2021, jumlah pernikahan mencapai angka terendah sepanjang masa, yakni 193.000, di negara yang separuh penduduknya kini percaya bahwa pernikahan bukanlah suatu keharusan.
Beberapa orang, khususnya perempuan, justru memprioritaskan kebebasan pribadi dan dengan sengaja mengabaikan pernikahan alias memilih jomblo.
Kekhawatiran semakin meningkat mengenai tekanan terhadap perekonomian dan sistem pensiun, yang mungkin akan habis dalam beberapa dekade mendatang.*