Hidayatullah.com–Wacana pluralisme agama dengan segala variannya pada dasarnya bermasalah, mulai dari definisi pluralisme itu sendiri.
Tidak banyak orang yang mendefinisikan paham itu secara definitif sehingga bisa dipahami masyarakat banyak. Meski demikian, para pengasong pluralisme agama, khususnya di Indonesia, masih saja mengkampanyekan pluralisme agama tanpa membuat definisi yang jelas.
Demikian diungkap peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Akmal Sjafril, M.Pd.I, saat menjadi narasumber kuliah Sekolah Pemikiran Islam (SPI) #IndonesiaTanpaJIL di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (23/4/15) lalu.
“Anehnya lagi, kaum pluralis yang katanya menjunjung tinggi keberagaman seringkali malah memaksa orang lain untuk menerima gagasan pluralismenya itu. Jika ada orang yang menolak konsep pluralisnya, mereka akan diberi ‘cap fanatik’,” kata Akmal.
Maka, untuk memahami wacana pluralism itu, lanjut Akmal, Dr. Anis Malik Thoha dalam bukunya, ‘Tren Pluralisme Agama’, membagi varian pluralisme agama ke dalam empat tren, yaitu humanisme sekuler, teologi global, sinkretisme, dan hikmah abadi.
Adapun dalam pandangan Akmal, ada satu lagi tren pluralisme agama yang dapat ditambahkan, yakni Teosofi-Freemasonry.
“Masing-masing tren pluralisme ini memang tidak sama persis, tetapi pada hakikatnya bermuara pada kesimpulan yang sama, yaitu bahwa semua agama itu sama,” ujar alumnus Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor itu.
Demi melakukan kampanye pluralisme itu, lanjut Akmal, kaum pluralis di Indonesia biasa melakukan tambal sulam di antara teori-teori pluralisme agama tersebut. “Padahal, teori-teori tersebut sebenarnya saling bertentangan dalam beberapa bagiannya,” ungkap Akmal lagi.
Di akhir kuliah, Akmal menjabarkan efek pluralisme agama bagi kehidupan beragama, khususnya kaum Muslimin. Di antaranya, disebutkan Akmal, ialah makin merebaknya sekularisme dan skeptisisme. Karena tidak lagi meyakini agamanya benar, masyarakat menjadi tidak lagi mengindahkan agama dalam seluruh segi kehidupan sekaligus ragu terhadap agamanya sendiri.
“Jadi, pluralisme agama itu sejatinya berakibat terminasi, alias penghancuran agama, dan bukannya menjaga eksistensi agama,” simpulnya.*/Nur Afilin