TELEPON genggam di tangan saya bergetar beberapa kali, sebaris nama muncul di layar. Beberapa detik kemudian saya sudah mendengar suara di ujung sana. Nadanya terdengar gembira. Saya bertanya-tanya apa gerangan yang hendak disampaikannya. Akhirnya karena tak sabar sekaligus iseng, saya menggodanya, “Mau nikah iya Mbak?” Ia pun berseru tertahan, berusaha menyembunyikan kegembiraannya dan mengiyakan pertanyaan saya.
Saya pun semakin penasaran. Menanyakan siapa gerangan jodoh yang menghampiri si Mbak yang usianya telah menginjak pertengahan kepala empat ini. “Akhirnya”… itulah yang menghiasi benak saya. Ia pun menanyakan apakah saya mengenal sebuah nama. Seseorang yang aktif di sebuah wilayah dakwah yang tak jauh dari tempat saya tinggal. Tiba-tiba saya merinding. Hati-hati saya bertanya, “Mbak, beliau sudah berkeluarga ya?” Jawabannya yang membenarkan membuat hati saya yang sudah dihiasi oleh warna-warni kebahagiaan kini juga diwarnai rasa lain.
Jadi istri kedua. Itulah kabar gembira sekaligus rasa “ngilu” yang datang pada saya hari itu. Poligami. Kata itu masih sering saya eja dengan berbagai rasa hingga hari ini. Walaupun itu adalah perintah-Nya dan bagian dari perjalanan hidup junjungan agung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang harus kita teladani tetapi secara manusiawi, saya belum mampu mengejanya dengan baik dan benar hingga hari ini.
Persoalan ada di Hati
Menjadi yang kedua, ini yang sering mengganjal dalam hati. Yang kedua berarti menjadi yang setelah orang lain. Terlepas dari kata orang sebagai newcommer, pengganggu, perusak dan lain sebagainya, siapapun punya kemungkinan untuk jadi yang kedua. Entah yang pertama masih disisi atau sudah tiada.
Akan tetapi, jadi yang kedua, sungguh persoalan dan jawabannya sebenarnya ada di dalam hati. Berkutat pada apa yang kita pikirkan sebagai persoalan, padahal jalan keluar dari soal tersebut sejatinya juga tergantung bagaimana kita membebaskan diri dari apa yang kita pikirkan dan bertindak yang terbaik.
Lalu apakah menjadi yang kedua berarti mengundang petaka? Pastinya, bila hal ini hanya menyengsarakan hamba-Nya, Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan pernah mengizinkan poligami (An-Nisa [4]:3) atau membolehkan seseorang yang telah berpisah dengan pasangan sebelumnya menikah kembali.
Tepas dari segala kelemahan hati, pelajaran yang saya peroleh pernikahan “si Mbak” sunguh membuka cakrawala baru. Di hari pernikahannya, sang calon suami datang bersama istri pertama dan anak-anaknya. Mulai dari akad terucap hingga resepsi bergulir menjelang senja, istri pertama dan anak-anaknya setia menemani. Semua hal mereka lakukan bersama. Makan bersama hingga bergurau dan menyambut tamu-tamu yang datang. Semua mata yang datang merekam peristiwa itu hingga sekarang dan terkadang masih diputar ulang dalam perbincangan.
Hari-hari si Mbak pun menjadi lebih sibuk. Tak hanya berkunjung ke sanak-saudara atau menghadiri kajian rutin saja, kini hari-hari di akhir pekannya pun penuh terisi dengan agenda bersama sang istri pertama dan keluarga besarnya. Saat ditanya, apakah beliau bahagia, si Mbak ini menjawab sumringah, “Sebenarnya lebih enak begini, kami jadi punya waktu lebih banyak mengerjakan sesuatu untuk ummat.”
Jawaban ini menghadapkan kita pada realitas bahwa mengurus rumahtangga memang menyita waktu. Mendidik anak-anak adalah amanah yang harus dipertanggung-jawabkan dunia akhirat. Mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan rumah tangga pun sangat berat. Jadi, akan lebih menyenangkan bila ada orang yang bersedia berbagi beban.
Seperti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam yang menyuruh seorang lelaki yang mengadukan nasibnya yang miskin untuk menikah lagi. Pernikahan kedua, laki-laki ini tetap miskin. Ia pun kembali datang pada Rasulullah dan mengadukan nasibnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam kembali menuruhnya menikah. Yakin bahwa Rasulullah tidak akan menipu ummatnya, iapun menikah untuk yang ketiga kalinya. Usai pernikahan yang ketiga, seiring waktu berjalan, nasibnya belum juga berubah. Ia tetap miskin. Ia pun kembali datang pada Rasulullah, jawaban yang diberikan padanya tetap sama. Menikah lagi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Carilah rizqi dengan menikah!.” (Riwayat Ibnu Abbas)
Akhirnya lelaki inipun menikah lagi. Pernikahannya yang keempat ini dilangsungkan dengan seorang Muslimah yang pandai menjahit. Keahlian ini ditularkannya pada istri-istri yang lain.
Singkat kata, nasib perekonomian lelaki ini pun berubah. Ia menjadi seorang kaya dengan usaha menjahit baju yang dijalankannya bersama kempat istrinya.
Yang Lebih Baik
Jadi, inilah saatnya membebaskan pikiran dan bertindak tepat. Menjadi yang kedua atau yang seterusnya, tidaklah harus menjadi “penerus” apa yang sudah ada. Namun sebaliknya, menjadi yang kedua seharusnya memacu kita menjadi orang yang membawa perubahan yang lebih baik dalam kehidupan pasangan.
Buang jauh-jauh label yang sering ditempelkan masyarakat awam bahwa menjadi yang kedua berarti merusak keluarga orang. Justru yang harus dibuktikan adalah dengan pernikahan yang terjadi, rizqi menjadi lebih lancar, kesulitan yang sebelumnya kuat menghadang menjadi lebih mudah diatasi, dan membuat wajah pasangan menjadi lebih cerah dibandingkan sebelumnya.
Kehadiran kita sebagai yang kedua juga seharusnya menjadi pribadi yang menginspirasi bagi pasangan dan keluarga besar. Bukan sebaliknya menjadi sumber masalah baru bagi kehidupan pasangan dengan keluarga besarnya. Menjadi yang kedua menuntut kita untuk dapat berpikir lebih dewasa, berhati lapang, dan mengambil tindakan yang didasari keputusan yang tepat. Karena, posisi kita menuntut kita untuk menjadi sosok yang lebih cerdas bersikap dan bertindak.
Jadi yang kedua justru harus lebih pandai mengatur emosi dan bukan mengedepankan perasaan. Sehingga label yang kedua adalah si pembuat masalah, cengeng, dan cari perhatian dapat ditolak mentah-mentah. Masyarakat juga dapat belajar bahwa pernikahan kedua yang dipilih oleh pasangan kita justru adalah jalan yang terhormat dan menambah kebahagiaan.
Jangan sungkan untuk belajar dari dia yang pertama untuk menjadi orang yang dicintai pasangan karena belajar sejatinya bukan untuk menjadi pengekor tetapi lebih untuk membentuk karakter yang lebih baik pada diri kita. Sambungkanlah silaturahmi dengan keluarga besar, juga masyarakat. Bukalah diri sehingga siapapun dapat belajar bahwa menjadi yang kedua dan poligami bukanlah hal yang buruk. Buktikanlah bahwa menjadi yang kedua justru membuat kita lebih terhormat dan memang tepat untuk dicintai. */Kartika Ummu Arina