Hidayatullah.com– Resepsi kesyukuran yang ke-41 tahun Pondok Pesantren Darul Huffadh digelar di Tuju-Tuju, Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Ahad (07/08/2016).
Resepsi ini dihadiri oleh pejabat Pemerintahan Kabupaten Bone, alim ulama, simpatisan, dan ribuan orangtua/wali santri.
Pada acara kesyukuran ini, Pondok Pesantren Darul Huffadh mengkhatamkan 81 santri dan 70 santriwati, serta 46 wisudawan dan 28 wisudawati. Total 225 orang.
Bupati Bone mengapresiasi acara tersebut, serta atas kehadiran Pondok Pesantren Darul Huffadh selama ini.
“Indonesia masa kini telah dilanda krisis moral, merusak tatanan akhlak para pemuda dan pemudi. Oleh karena itu, lembaga pesantren sebagai wahana untuk mencetak para kader. Sebagai bekal dari sumber daya insani mengawasi lingkungannya, agar tidak terkontaminasi (oleh) globalisasi,” pesannya yang diwakili oleh Kabag Pemerintahan Kabupaten Bone Dr. Ade Fariq Ashar.
“Membangun bukan hanya fisik. Tapi (juga) membangun karakter bangsa menuju al-Qur’an dan Hadist. Santri yang menjadi pionir dan motivatornya,” lanjutnya.
Dalam sambutannya, Pimpinan Pondok Pesantren Darul Huffad Ustadz Saad Said mengatakan, ponpes ini didirikan tahun 1975 di kampung Tuju-Tuju diawali dengan tujuh santri.
Dikatakan, sang pendirinya, KH Lanre Said –anak dari pasangan Andi Passennuni Petta Ngatta dan Andi Marhana Petta Uga– dengan semangat yang kuat dan mujahadah yang tak pernah luntur, mampu menciptakan pesantren yang gratis untuk anak bangsa.
Jelasnya, petunjuk Allah tampak pada tahun 1950. Melalui mimpinya, Lanre Said melihat sebuah lampu strongkeng (petromaks Bugis) yang bersinar di puncak Gunung Bilala, tepatnya di Palattae, Bone Selatan.
Dan mimpi ini pun di-ta’bir-kan sebagai awal dari perintah mendirikan sebuah lembaga pesantren khusus untuk penghafal al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam.
Diibaratkan lampu petromaks tadi, bahwasanya santri yang belajar di Pondok Pesantren Darul Huffadh mayoritas dari daerah luar Bone.
Adapun filosofi nama Gunung Bilala, ungkapnya, mengandung pengertian soal ketentuan yang akan dilalui pesantren ini.
Yaitu, tidak memungut pembayaran dari santri, tidak meminta sumbangan dari masyarakat, serta tidak mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan pesantren.* Kiriman Dzaky Almuwahhid, alumnus Darul Huffadh, pegiat komunitas menulis PENA