Hidayatullah.com—Aliran Mu’tazilah sempat eksis dan pernah menjadi ideologi di era kekuasaan Daulah Abbasiyah. Karena itu, perlu membedah pemikirannya agar bisa bisa diketahui dan dibandingkan dengan pemikiran Islam liberal. Apakah mereka itu sama identik atau sekadar diakui oleh kaum ‘Islam’ liberal.
Pernyataan ini disampaikan Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Dr. Henri Shalahuddin MIRKH dalam acara ‘Saturday Forum’ di Kalibata Jakarta, Sabtu (27/01/2018) yang mengupas tema “Nekropsi Kalam Mu’tazilah dan Teologi Kaum Liberal: Kajian Perbandingan”.
Saat memulai tema ini, alumni Kulliyat al Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor ini membeberkan mengenai kalam Mu’tazilah dari sejarah hingga pemikiran-pemikiran pokoknya.
Termasuk rukun-rukun Kalam Mu’tazilah berupa: Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’du wal-Wa’iid, al-Manzilah baina al-Manzilataini, dan al-Amru bil-Ma’ruuf wal-nahyu ‘anil munkar, berikut problem-problem teologi yang terkandung di dalamnya.
Termasuk mengurai permasalah seperti khalqu al-Qur`an (kemakhlukan al-Qur`an), kemungkinan melihat Allah di akhirat, kesatuan dzat dan sifat Allah, penafian penisbatan keburukan kepada-Nya, kelembutan Allah, baik-buruk secara akal, syafaat, pengkafiran, dan kewajiban pengutusan nabi.
Pria kelahiran Bojonegoro Jawa Timur 5 September 1975 ini menyebutkan ada tiga poin pokok pemikiran Mu’tazilah: Pertama, menjadikan akal sebagai hakim tunggal. Kedua, tunduknya wahyu pada hukum akal. Ketiga, menganalogikan yang ghaib dengan susuatu yang empiris.
Menurut jebolan ISID (sekarang UNIDA) Darussalam Gontor ini, Kelompok Mu’tazilah pada awalnya berniat baik untuk memuliakan Allah, namun karena salah metode akhirnya justru mengukung kekuasaan Allah subhanahu wata’ala.
Terlepas dari itu, sekte ini juga memiliki kontribusi. Sebagai contoh: pada saat itu, banyak ahli filsafat masuk dan orang Majusi masuk Islam melalui mereka. Di samping, itu sumbangsih terhadap perkembangan sains Islam, juga tidak kecil.
Yang tidak kalah menarik, separah-parah kesalahan mereka di bidang ilmu Kalam, kaum Mu’tazilah tidak sampai menggugat kesucian al-Qur`an, menisbikan hal-hal yang sudah mutlak dalam agama, serta perkara-perkara lain yang biasa dilakukan oleh kaum liberal yang mengaku terinspirasi oleh pemikiran mereka.
Penulis buku “Indahnya Keserasian Gender” ini juga menyebut sedikit perbedaan antara kaum ‘Muslim’ Liberal dengan Mu’tazilah.
“Orang liberal, baik buruk berdasarkan nafsu bukan akal. Sedangkan Mu’tazilah berdasarkan akal,” ujarnya.
Sebab, menurutnya, kenyataan di lapangan memang demikian. Kaum liberal, demi kepentingan tertentu, tak segan-segan membongkar nilai-nilai yang sudah mapan dalam Islam.
Setelah membahas Mu’tazilah, doktor yang menulis disertasi berjudul: “Wacana Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam di Institusi Pengajian Tinggi Islam di Indonesia” ini, membahas secara khusus kaum liberal.
Beberapa poin yang disorot di antaranya tentang hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Depag tentang Islam Liberal berupa masalah-masalah berikut: Al-Qur`an tidak dianggap wahyu tapi produk budaya, salah satu kunci dalam penafsiran agama tidak ada tafsir dan pemahaman absulut terhadap agama, dan pernikahan beda agama menurut Islam liberal sudah tidak relevan karena sesuai dengan tuntunan al-Qur`an bahwa al-Qur`an menganut pemahaman universal tentang martabat manusia yang sederajat.
Pria yang menyelesaikan magisternya di International Islamic University Malaysia (IIUM) ini juga membongkar dasar-dasar Islam liberal, di antaranya: membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, mengutamakan semangat religio-etik bukan makna literal teks, mempercayai kebenaran yang relatif, memihak pada minoritas dan tertindas, meyakini kebebasan beragama, dan memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi.
Dari dua pemaparan mengenai Mu’tazilah dan Kaum ‘Islam’ Liberal, bisa dilihat bagaimana jauhnya perbedaan antara kedua kelompok ini.
“Yang satu masih mengakui, menghormati, bahkan memperjuangkan Islam sebagai agama walau masih banyak kekeliruan. Sedangkan yang satu, sudah berani menganggap al-Qur`an produk budaya, membongkar istilah, hobi merelatifkan yang sudah pasti, dan nilai yang sudah mapan, bahkan menerapkan ijtihad dengan sangat liar sesuai dengan perkembangan zaman dan nafsu pemesan,” ujarnya.
Pada catatan akhir kajian, intelektual muslim yang jago main sepakbola ini menyarankan pentingnya mengenal secara pasti ilmu-ilmu agama Islam.
Menutup diskusi, ia menyampaikan dua catatan penting terkait kaum liberal, yang menurutnya jauh berbeda dengan pemahaman Mu’tazilah.
Pertama, ide memasukkan ideologi rasionalisme ke dalam Islam, memiliki kesamaan dengan paham liberalisme Barat. Kedua, liberalisasi Islam telah membuka pintu bagi ideologi syubhat untuk membongkar doktrinn-doktrin agama Islam yang permanen. Kedua hal ini tentu sangat berbahaya jika dibiarkan begitu saja, pungkasnya.*/kiriman MB Setiawan (Jakarta)