Hidayatullah.com– Memperingati 60 tahun pendirian, Pondok Pesantren Baitul Arqom mengadakan reuni akbar, yang dikemas dalam seminar peradaban di Balung, Jember, Jawa Timur, Sabtu (21/09/2019).
Acara yang berlokasi di hall utama pesantren ini, dihadiri oleh KH Masykur Abdul Mu’id, selaku pimpinan pesantren, dan Prof Dr KH M Chabib Chirzin, selaku pemateri.
Kiai Masykur dalam sambutannya, mengucapkan banyak terima kasih kepada para alumni, yang sudi memenuhi undangan.
Sebab, ujarnya, mengundang alumni itu gampang-gampang susah, karena kesibukan mereka masing-masing.
“Usia pondok ini sudah 60 tahun. Harus lebih baik. Lebih canggih ke depannya,” gugah alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor ini.
Untuk itu, tambahnya, para alumni Pesantren Baitul Arqom harus mampu mengembangkan diri. Di antaranya meningkatkan kualitas pendidikan, sampai memperoleh gelar profesor.
“Tunjukkan, bahwa alumni pondok itu juga bisa keliling dunia. Jadi, tidak minder menjadi santri,” pungkasnya.
Sementara itu, Prof Dr KH Habib Chirzin, menerangkan, bahwa hakekat dari peradaban adalah membangun nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Yaitu soal etika sosial, etika kemerdekaan, bahkan etika perdamaian.
Sosok yang juga alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor itu pun, mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan oleh pesantren, dalam pendidikannya, merupakan proyek peradaban.
“Karena kegiatan belajar-mengajar di pesantren, itu merupakan proses transfer nilai-nilai,” ujar sosok yang aktif di berbagai organisasi internasional ini.
Ia pun mengungkapkan kekagumannya kepada salah seorang tokoh nasional, alumnus pesantren Baitul Arqom, yaitu Jenderal Polisi (Purn) Badrodin Haiti, yang mampu menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan di Indonesia dengan cara berbeda.
“Mulanya saya sangat heran. Barulah saya tahu, beliau itu alumni pondok Baitul Arqom. Sangat humanis pendekatannya. Belum pernah ada jenderal-jenderal yang melakukan demikian,” sebutnya.
Setali tiga uang dengan pimpinan pesantren, tokoh kelahiran Jogjakarta ini juga mengingatkan para santri untuk tidak minder menjadi santri.
“Karena DNA dari seorang Muslim itu mengalir darah pemenang, kemuliaan, dan kehormatan,” ujarnya.
Selain dua tokoh itu, hadir ratusan alumni dari berbagai kota, para guru, serta seluruh santri/santriwati.* (Khairul Hibri)