DUA TIANG besi penyangga itu berdiri kokoh menuding langit. Plang nama bertulis “Taman Pendidikan Al-Qur’an dan Madrasah Diniyyah Awwaliyah Daarul Islakh” yang tingginya kurang dari 3 meter tersebut tampak mulai sedikit usang dirayapi karat di setiap sisinya.
Di belakang plang, tegak bangunan madrasah berukuran sekitar 3×4 meter persegi. Madrasah dan plang itu berdiri sejak belasan tahun lalu. Berlantai tegel dengan atap berbahan genteng keramik glazur, bangunan ini terlihat masih kokoh meski beberapa bagian dinding temboknya sudah tercabik-cabik dimakan usia.
Adalah Waryono Muslani, lelaki berkacamata, inilah yang berinisiasi. Madrasah itu didirikannya untuk menggiatkan kegiatan dakwah dan pembinaan keislaman di bilangan Pabean Ilir, terletak di Kecamatan Pasekan, Indramayu, Jawa Barat. Kini, ia mengabdi di sana.
Dari perbincangan media dengan beberapa warga yang rutin mengikuti kegiatan dakwah Waryono, kampung asri yang bersebelahan dengan Desa Totoran ini sejak lama memang sepi dari nuansa keislaman. Bahkan santer disebut-sebut, di kedua wilayah ini marak kegiatan misionaris Kristen. Terbukti dengan berdirinya sejumlah gereja, meski di antaranya hanya tampak seperti rumah mukim.
Waryono Muslani adalah putra asli Indramayu. Ia lahir di Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, 52 tahun lalu. Namun, Waryono mengaku, niat awal kedatangannya ke Desa Pabean Ilir sebenarnya untuk mencari pekerjaan menambak ikan. Sama sekali tak terpikir olehnya akan menjadi juru dakwah.
Desa Totoran dan Pabean Ilir sendiri dikenal sebagai kampung yang mayoritas warganya bekerja sebagai penambak ikan. Awal tahun 2000, dari Desa Dadap, dengan niat mencari nafkah, Waryono kemudian menempuh perjalanan sedikitnya 35 km menuju Pabean Ilir untuk tujuan utamanya tersebut.
Masyarakat di sini menjalankan usaha perikanan dan pertanian untuk kebutuhan hidup. Mereka melakukan budidaya bibit ikan bandeng, dari masih benur (benih) sampai menjadi ikan siap panen. Lepas panen, ikan-ikan bandeng ditampung di satu depot, lalu dikirim dan dijual ke Jakarta dan wilayah sekitarnya.
“Awal datang ke sini, niat saya bukan untuk mengajar ngaji, sama sekali tak ada kepikiran itu. Saat itu saya datang untuk cari kerja dengan cara mengontrak lahan tambak,” kata lelaki kelahiran 12 Januari 1960 ini ditemui media ini, beberapa waktu lalu.
Seiring berjalannya waktu, apalagi setelah melihat kenyataan yang ada, Waryono merasa terpanggil. Beberapa bulan keberadaannya di desa tersebut ia tak menemukan ada kegiatan agama Islam sama sekali. Warga lebih sibuk mengurus empang.
“Saya merasa prihatin dengan anak kampung tak terperhatikan pendidikan agamanya, padahal mayoritas penduduk di sini beragama Islam. Tapi masjid pun tak ada,” kata Waryono berkisah.
Akhirnya, dengan tekad yang bulat, Waryono meninggalkan pekerjaannya sebagai penambak empang beralih menjadi guru ngaji. Sebenarnya, sebelumnya hal itu sudah ia lakukan. Pulang dari menambak, ia mengajar ngaji anak-anak kampung dengan metode qiro’ati.
Waktu itu ia memanfaatkan sebuah bangunan yang tak terpakai yang sekaligus dijadikan mushalla. Mulailah Waryono fokus dengan “pekerjaan” barunya itu. Hingga 2 tahun berjalan, Waryono berhasil mendidik santri sebanyak 117 anak, semua gratis.
Suatu hari, ada salah seorang warga datang menanyakan berapa yang harus dibayar selama anak-anaknya dididik di madrasah. “Anak saya sudah pintar ngaji, saya harus bayar berapa,” begitu kata warga itu seperti ditirukan Waryono.
Namun, Waryono bersikukuh tak mau digaji. Tapi warga tetap memaksa. Akhirnya ia menyarankan agar uang bayaran itu lebih baik dipakai saja untuk membangun madrasah. Alasannya, agar kegiatan pengajian anak-anak lebih baik lagi. Lambat laun berdirilah satu madrasah diberi nama Darul Islakh dengan ukuran yang sangat sederhana, hanya 3×4 meter persegi.
Cobaan Pasti Ada
Waktu terus berjalan, kegiatan pembinaan Al-Qur’an dan madrasah Waryono semakin menunjukkan grafik menggembirakan. Kesadaran masyarakat kampung terhadap pentingnya pendidikan agama Islam pun kian menanjak. Murid-muridnya mulai membludak.
Pada suatu hari, awal Januari 2003, ia kembali kedatangan tamu di madrasahnya. Dia seorang warga yang juga ingin memasukkan anaknya ke madrasah itu. Warga tersebut menanyakan apakah murid dapat ijazah setelah lulus. Waryono pun menjelaskan bahwa madrasahnya tak mengeluarkan ijazah karena hanya aktivitas belajar mengaji biasa dan belum mendapat pengesahan dari Diknas dan instansi terkait.
Tak dinyana, rupanya berita itu lekas menyebar. Tak pelak, kabar ini terus dihembuskan sebagian orang yang tak suka dengan kegiatan dakwah Waryono. Warga dipengaruhi agar anaknya yang sudah mengaji di Waryono keluar saja karena tak ada ijazahnya. Padahal saat itu, tak sedikit murid yang harus menempuh perjalanan hingga berkilo-kilo meter untuk menuntut ilmu ke madrasah ini.
Sadar madrasahnya yang menjadi wadah untuk membina aqidah masyarakat dan anak-anak kampung terus dijelek-jelekkan, Waryono pun seorang diri segera mengurus izin madrasahnya agar dapat juga mengeluarkan ijazah. Tepat 1 Juli 2003, izin resmi penyelenggaraan dari kemeneterian untuk madrasahnya yang bernama Darul Islakh akhirnya terbit.
“Saya segera urus semua. Dibantu oleh pengurus NU Indramayu, akhirnya keluar juga izinnya setelah harus berkeliling dari instansi ke instansi,” kata pria yang juga Ketua MUI Kecamatan Pasekan ini.
Dakwah Waryono mungkin tampak sepele; membuka kegiatan TPA dan mendirikan madrasah. Namun bukan berarti itu tanpa rintangan. Ia kerap mendapat intimidasi psikis. Ia kerap dituding datang ke kampung itu membawa aliran sesat.
“Saya dicurigai. Sikap itu muncul, pertama, karena saya memang bukan orang asli di sini, dan saya dianggap tidak jelas alirannya,” ucap pria ini seraya tersenyum.
Sholat ‘Ied Pertama
Menurut pengakuan beberapa orang, di wilayah ini sangat kental aliran kepercayaan. Yang terbesar adalah kentalnya keyakinan masyarakat terhadap ajaran Wihdatul Wujud, atau untuk saat ini identik dengan aliran Islam kejawen.
Fasilitas ibadah dan kegiatan agama Islam pun nihil. Di Pabean Ilir, hanya ada beberapa mushalla yang tak sepenuhnya terawat, baik fisik dan kegiatannya. Masjid hanya ada dua yang rutin digunakan shalat Jum’at, itu pun masing-masing ada di Pabean Ilir dan Desa Totoran yang jarak tempuhnya berkilo-kilo meter.
Melihat kondisi tersebut, Waryono kemudian berinsiatif mendirikan masjid dekat tempat tinggalnya di Desa Pabean Ilir. Ia mengajukan proposal ke mana-mana untuk pendirian masjid tersebut. Akhirnya, pada Idul Fitri 1433 lalu, masjid ini pun jadi dan bisa dipergunakan. Dan, cukup mengharukan juga karena shalat Iedul Fitri tahun ini merupakan shalat Idul Fitri pertama kali digelar di desa ini.
“Sebelum-sebelumnya shalat Idul Ied tak pernah digelar karena keawaman terhadap ajaran Islam. Selain itu juga dipengaruhi keyakinan sebagian masyarakat terhadap kekejawenan,” ungkap Waryono yang tinggal di rumah beratap rumbia ini.
Semenjak kejadian itu, Waryono semakin kencang mendapat fitnah. Ia dituduh sebagai pengganggu kondusifitas di desa itu. Masjid pun mau dirusak oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan kiprahnya yang acapkali mendakwahkan pemurnian Tauhid dari praktik-praktik khurafat.
Kebencian itu kian memuncak ketika suatu hari salah satu murid ngaji Waryono tak menghadiri undangan sesajenan di salah satu empang warga. Sebenarnya murid ini sudah berusaha untuk bisa hadir agar tak dianggap kenapa-kenapa karena ngaji dengan Ustadz Waryono, apalagi dia penduduk asli. Dia merasa harus tetap menjaga perasaan warga kampung lainnya.
Hanya saja, karena acara sesajenan itu pas waktu Maghrib, persis dengan jadwal ngaji dia di mushallah yang dibimbing Waryono. Sang murid ini akhirnya tak hadir. Warga yang menggelar sesajenan itu pun murka, lalu mulai menyebar fitnah bahwa Waryono telah “meracuni” anak-anak mereka.
Pagi harinya warga tersebut mendatangi Waryono. “Kamu jangan sampaikan ajaran macam-macam ke anak-anak, ya!”.
Waryono menanggapinya santun dan menjelaskan bahwa itu adalah kemauan anak-anak sendiri tak mau hadir. Ia pun tak menampik jika telah menyampaikan ke anak anak muridnya bahwa praktik sesajenan bukan ajaran Islam.
“Saya sampaikan, kalau saya dilarang untuk menyampaikan dakwah syariat Islam, tidak mungkin,” ujarnya.
Tantangan Dakwah
Desa yang cukup jauh dari pusat Kota Indramayu ini nampak masih sarat dengan praktik-praktik syirik. Setiap malam Jumat, seperti diakui salah seorang warga, ada tradisi yang disebut dengan suguhan berupa puncet (tumpeng). Tradisi serupa juga dilakukan di malam hari raya yang disebut dengan “unjungan”.
Ada juga tradisi “ngilayah” untuk menyuguhkan makanan kepada arwah seorang manusia yang konon dalam perjalanan ke Desa Pabean Ilir meninggal tanpa diketahui pasti asal-usul dan namanya. Acara itu diramaikan dengan acara wayangan.
Pada awalnya, selain mengajar mengaji, juga tetap menambak hingga tahun 2003. Pada tahun itulah kontrak empangnya habis dan ia pun berniat pulang ke Dadap, kampung kelahirannya.
Ada kejadian mengharukan saat itu. Saat mau pulang, beberapa muridnya tiba-tiba menangis sesengukan. Sang murid kemudian berkata, “Kalau Ustadz pergi, siapa lagi yang akan mengajar kami.” Di sini Waryono tersentak, hatinya tersentuh. Sejak itu ia pun mulai 100 persen all out untuk mengajar ngaji saja. Empang dia tinggalkan sudah.
“Hanya keikhlasan dan doa. Itu yang membuat saya bisa bertahan di jalan ini. Kalau menggantungkan diri pada manusia tidak mungkin, jadi, ya, cukup usaha, ikhlas, dan doa saja,” ucapnya.
Atas pertolongan Allah dan usahanya bersama beberapa murid-muridnya yang kini ikut membantunya, madrasah Darul Islakh mulai memperlihatkan prestasi yang membanggakan. Sejumlah perlombaan bergengsi antar TPA dan Madrasah Diniyah, baik tingkat kabupaten dan provinsi, berhasil disabetnya.
Yang teranyar, pada akhir November lalu, madrasahnya berhasil menyabet gelar Juara I Cerdas Cermat Se-Provinsi Jawa Barat mewakili Kabupaten Indramayu pada ajang Pekan Olahraga dan Seni Antar Diniyah Taklimiyah (PORSADIN) II.
Salah seorang warga, Teja bin Bari, yang kini menjadi tenaga pengasuh madrasah membantu Waryono, mengatakan kegiatan dakwah yang dirintis oleh Ustadz Wariono di desanya tersebut sangat disyukurinya. Warga semakin tercerahkan dan kesadaran beragamanya juga pelan-pelan mulai tumbuh dengan memasukkan anak-anak mereka di madrasah.
“Beliau menyenangkan, suka bersosialisasi, tidak tertutup. Saya yang asli orang sini saja senang dengan beliau,” ungkap Teja.*
Rubrik ini atas kerjasama hidayatullah.com dengan Persaudaraan Dai Nusantara (Pos Dai), bantu dakwah para dai melalui Rekening Bank: Bank BSM: 733-30-3330-7 atau BNI 9254-5369-72 a/n Yayasan Hidayatullah. Informasi berbagai program dakwah dapat di klik di www.posdai.com