Itu salah sebab setelah pergantian kepemimpinan di AS, pola kebijakan yang dijalankan dalam memandang umat dan negara Islam pun berubah. AS tidak lagi dengan strategi mencampuri urusan beragama, tetapi telah berubah dengan pola bantuan dan kerjasama di bidang pendidikan, ekonomi, dan penelitian, walaupun dalam beberapa hal kebijakan ini masih perlu dipertanyakan dan cenderung ambigu.
“Perang terhadap Iraq telah ‘merusak semuanya’,” kata aktivis Islam liberal Ulil Abshar Abdalla, sebagaimana dimuat di WP, berkaitan dengan semakin kerasnya sikap umat dan negara Islam terhadap kebijakan yang dijalankan AS dan konco-konco Baratnya.
Uli pun dalam pidato kebudayaannya belum ini di Taman Ismail Marzuki, serta ungkapannya dalam laman JIL, menyampaikan kesan pesimisme berupa kegagalan sekularisasi di Indonesia. Ketika hal itu kembali ditanyakan pada Ulil, ia menyatakan, “Saya hanya menekankan telaah sosiolog dan ilmuan politik terakhir bahwa memang secara faktual terjadi kebangkitan agama-agama. Ramalan yang dulu dikemukakan para sosiolog modern bahwa begitu modernisasi berlangsung terus, maka agama akan tersingkir, ternyata itu tidak terjadi. Sekarang terjadi kebangkitan agama.”
Tetapi ia menyatakan, kebangkitan agama itu bentuknya banyak. Kebangkitan agama tidak hanya yang konservatif. Dan juga kebangkitan terjadi pada Islam dan Protestan.
Kebangkitan Protestan konservatif sekarang sedang terjadi di Amerika Serikat, setelah pertama kali dimulai di Amerika Latin. Gerakan itu disebut Pentecostalism. Kebangkitan itu sama dengan kelompok-kelompok konservatif Islam yang ada di Indonesia.
”Sebagaimana orang-orang konservatif Islam benci dengan Kristen, orang Pentecosta juga sama. Di Amerika, orang-orang yang anti-Islam, ya kebanyakan mereka-mereka itu. Mereka menduduh Obama sebagai orang yang menyelundup ke Amerika untuk mendukung Osama. Tetapi di sini Obama juga ditolak, jadi ini lucu sekali,” kata Ulil.
Menurut Ulil, kebangkitan juga dalam bentuk melakukan interpretasi kembali ajaran-ajaran Islam secara lebih kontekstual. ”Itu juga, bagi saya, bagian dari bentuk kesadaran dan kebangkitan agama.”
Ia mengatakan, kebangkitan agama itu bentuknya banyak. Ada yang tradisional konservatif, ada yang liberal progresif, dan ada pula yang bentuknya mistisisme atau tasawuf.
Islam dan Demokrasi
Sementara itu dalam pandangan AS terhadap umat Islam dan negara Indonesia saat ini sedang diliputi rasa emosional dan positif. Demikian juga mungkin, pandangan Indonesia terhadap AS.
Dalam pandangan AS terhadap Indonesia, dalam 10 tahun ini selepas terkungkung dalam pemerintahan otoriter di bawah Presiden Soeharto, menjadi negeri dengan penduduk terbesar ketiga di belakang Amerika Serikat dan India yang melaksanakan demokrasi. Sementara Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Menteri Luar Negeri Hillary Clinton mengakui koeksistensi Islam dan demokrasi ketika berkunjung ke Indonesia pada 2009. “Jika Anda ingin tahu apakah Islam, demokrasi, modernitas dan hak perempuan bisa hidup berdampingan, lihatlah Indonesia,” katanya.
Boleh jadi ini merupakan pandangan positif. Sementara rasa emosional disebabkan, kali ini pemerintah AS dipimpin oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia, Barack Hussein Obama. Rasa emosional dan positif di antara kedua negara boleh jadi mempengaruhi pola hubungan dan kebijakan masing-masing.
Indonesia dan Amerika Serikat pun meluncurkan “Kemitraan Komprehensif,” berupa kerjasama strategis antara kedua negara tentang pendidikan, ekonomi, dan isu-isu sosial, walaupun isu kerja sama kontraterorisme masih dikedepankan. Kunjungan Presiden Obama yang akan datang ke Indonesia diharapkan akan meningkatkan profil Indonesia di masyarakat internasional dan membuatnya lebih menarik kepada investor asing.
Pemahaman antara kedua negara terkait kedaulatan masing-masing, diharapkan bisa lebih dipertegas kembali, terutama berkaitan dengan hak-hak beragama. Tidak ada lagi intervensi dan campur tangan terhadap praktik-praktik keagamaan.
Islam yang memiliki kemuliaan dan juga menghormati pihak lain, tidak perlu diragukan sikapnya dalam sepanjang sejarah Islam. Justru negara-negara Barat yang mengusung demokrasi, lebih dituntut sikap demokrasinya dalam memandang Islam dan negara-negara Islam, di saat pandangan negatif Barat terhadap Islam masih begitu kuat. [ain/si/hidayatullah.com]“/>