Sekarang ini, AS tidak lagi bermain-main dengan doktrin agama. Mereka lebih memusatkan perhatian pada proyek yang ‘menyenangkan’, seperti memberikan bibit padi organik kepada petani muslim yang miskin.
Disadari kebijakan mengadopsi taktik Perang Dingin terhadap umat dan negara Islam telah berjalan keliru dan jauh dari harapan. Nyatanya, semakin banyak muslim konservatif tidak menyukai campur tangan AS dalam masalah agama.
Ketidaksukaan mereka terhadap AS meningkat tajam ketika Perang Iraq dimulai. “Perang terhadap Iraq telah ‘merusak semuanya’,” kata aktivis Islam liberal Ulil Abshar Abdalla, sebagaimana dimuat di WP.
Bahkan MUI pun marah melihat upaya AS mengubah bentuk Islam, sehingga mengeluarkan fatwa mengecam “sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.”
Itu sebabnya kemudian Asia Foundation (AF) menghentikan bantuan dana yang diberikan kepada jaringan Ulil dan mengubah programnya. AF walau masih bekerjasama dengan kelompok muslim, tapi menghindari masalah agama yang sensitif. Sebagai gantinya, mereka fokus memberikan pelatihan untuk memantau anggaran, korupsi, dan lobi atas nama rakyat miskin.
“AF yakin debat dalam internal Islam akan berjalan lebih efektif tanpa campur tangan organisasi internasional,” kata Robin Bush, Kepala AF di Jakarta.
Kembali ke Kebijakan ‘Dunham’
Kebijakan Amerika terhadap Islam berubah setelah Barack Hussein Obama menjadi Presiden AS menggantikan George W Bush. Tampaknya Obama memiliki pendekatan lain terhadap negara-negara Islam. Kebijakan itu dinyatakan ketika Obama berpidato di Kairo pada 4 Juni 2009.
“Saya datang ke Kairo untuk mencari sebuah awal baru antara Amerika Serikat dan muslim di seluruh dunia, berdasarkan kepentingan bersama dan rasa saling menghormati – dan didasarkan kenyataan bahwa Amerika dan Islam tidaklah eksklusif satu sama lain, dan tidak perlu bersaing. Justru keduanya bertemu dan berbagi prinsip-prinsip yang sama – yaitu prinsip-prinsip keadilan dan kemajuan; toleransi dan martabat semua umat manusia,” kata Obama.
Walaupun persoalan terorisme masih menjadi pusat perhatian utama Amerika Serikat, Obama berjanji dalam membuka lembaran baru hubungan AS-Muslim akan lebih banyak bicara tentang jaminan kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan.
Anggota Dewan Keamanan Nasional, Pradeep Ramamurthy yang memimpin Global Engagement Directorate (GED), sebuah tim bentukan Obama beranggotakan empat orang, melakukan diplomasi untuk tujuan keamanan nasional. Sejak dibentuk, tim itu tidak hanya mengubah makna memerangi terorisme, tapi juga mengatur bagaimana cara AS melakukan bisnis dan berinvestasi di negara muslim, mempelajari pemanasan global, mendukung penelitian ilmiah, dan menangani masalah kesehatan.
Menurut pejabat kontraterorisme yang tidak diidentifikasikan namanya, para penasihat Obama itu juga menulis ulang dokumen yang menyebutkan “radikalisme Islam” dalam rencana stategis keamanan nasional. Sekarang ini dokumen tersebut masih menyebutkan, “Perjuangan melawan militan radikalisme Islam merupakan konflik ideologi besar pada masa awal abad 21.”
Agaknya pola pendekatan Obama meniru kebijakan yang dilakukan sang ibu, Ann Dunham, pakar antropologi yang pernah tinggal di Indonesia selama lebih dari satu dekade, menjauh dari urusan agama (Islam). Dunham di Indonesia lebih memusatkan perhatian pada isu-isu pembangunan ekonomi. Itu sebabnya ia pernah menolak cendekiawan Nasir Tamara yang bermaksud meminta dukungan dana untuk studi tentang Islam dan politik.
Tetapi apakah Obama bisa konsisten menjalankan kebijakannya, pada saat keputusan pemerintahnya saat ini sebagian justru bertolak belakang dengan janjinya saat kampanye, yakni menarik pasukan AS dari Afghanistan dan menutup Guantanamo? Saat ini justru Obama mengirim pasukan lebih banyak ke Afghanistan dan masih belum menutup ikon tahanan keji Guantanamo.
Bisa jadi Obama masih bersemangat dengan “perang” dan melakukan kolonialisasi terhadap negara muslim, melanjutkan kebijakan pendahulunya, tetapi di sisi lain juga memperbesar hubungan bisnis dan ilmu pengetahuan dengan negara-negara Islam. Atau ia memiliki tahapan kebijakan, sebagaimana disampaikannya pada saat berpidato dalam kunjungan ke Mesir, “Saya mengakui bahwa perubahan tidak dapat terjadi dalam semalam. Saya tahu sudah banyak pemberitaan mengenai pidato ini, tetapi tidak ada satu pidato tunggal yang mampu menghapus ketidakpercayaan yang terpupuk selama bertahun-tahun, dan saya pun tidak mampu dalam waktu yang saya miliki siang ini menjawab semua pertanyaan rumit yang membawa kita ke titik ini…” Kita tunggu saja perubahan dari Obama itu. [Washington Post/si/hidayatullah.com]“/>