Indonesia adalah rumah bagi pasar ekonomi halal domestik terbesar dan akan berpotensi menjadi industri halal dunia
Asih Subagyo│Pembina LPH Hidayatullah
Hidayatullah.com | BEBERAPA waktu lalu, bangsa Indonesia dihebohkan dengan peluncuran logo halal oleh Kemenag, yang kemudian mendapat response yang luar biasa. Terjadi pro dan kontra.
Ada yang berkomentar karena memang faham kidah khat dan kaligrafi, ada yang berkomentar meski tidak faham tentangnya. Hal ini sama, antara yang mendukung dan menolak.
Bahkan tidak sedikit, yang kemudian memberikan alternatif logo, yang sesuai dengan kaidah khat/kaligrafi, bersifat universal, dan tetap memiliki nilai estetika yang tinggi. Tetapi apa buleh buat, keputusan telah diambil, jadi publik mau tidak mau, suka atau tidak suka harus taat dengan kebijakan itu.
Tulisan kali ini, tidak hendak membahas tentang logo halal tersebut. Sudah nggak menarik lagi. Saya mengajak melihat yang lebih jauh dari itu. Yaitu menerobos substansi permasalahan, berkenaan dengan produk halal itu sendiri.
Hal ini terkait dengan potensi dan peluang dari produk halal ini secara ekonomi. Dimana, umat Islam secara global, lebih banyak menjadi pasar alias konsumen daripada menjadi pelaku utama atau sebagai produsen.
Hal ini setidaknya dapat dilihat dari data yang sikeluarkan oleh Dinar Standard yang bertajuk State Of The Islamic Global Economy Report pada bulan Maret 2022 lalu. Masing-masing dikelompokkan dalam enam sektor ekonomi islam yang disorot peluangnya untuk tahun 2022. Yaitu terkait dengan keuangan islam, makanan halal, fashion, travel, farmasi dankosmetik serta media dan rekreasi.
Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa dalam laporan tahunan ini diperkirakan bahwa 1,9 miliar Muslim dunia menghabiskan etara dengan US$2 triliun pada tahun 2021 di seluruh makanan, farmasi, kosmetik, fashion, travel, dan media/sektor rekreasi, yang kesemuanya adalah dipengaruhi oleh konsumsi etis yang diilhami oleh agama Islam kebutuhan. Pengeluaran ini mencerminkan pertumbuhan dari tahun ke tahun diperkirakan sebesar 8,9% dari tahun 2020, dengan aset keuangan Islam diperkirakan tumbuh menjadi US$3,6 triliun pada tahun 2021, naik 7,8%, dari US$3, triliun pada tahun 2020.
Dalam laporan yang sama disebutkan bahwa, terlepas dari ketidakpastian lanjutan terkait pandemi, pengeluaran Muslim global pada tahun 2022 diperkirakan akan tumbuh sebesar 9,1% untuk sektor ekonomi Islam yang dicakup dalam laporan ini, tidak termasuk sektor keuangan syariah. Semua sektor-sektor ini, kecuali perjalanan, telah kembali sebagaimana masa ke pra-pandemi yaitu tingkat pembelanjaan pada akhir tahun 2021.
Pembelanjaan Muslim diperkirakan mencapai US$2,8 triliun pada tahun 2025 dengan Kumulatif 4 tahun Tingkat Pertumbuhan Tahunan (CAGR) sebesar 7,5%.
Dalam laporan ini, ada sebanyak 81 negara yang tercakup dalam pembaruan tahun ini Indikator Ekonomi Islam Global terus berkembang ekosistem ekonomi Islamnya yang kuat. Empat posisi teratas tetap tidak berubah dari tahun lalu, dengan Malaysia mempertahankan posisi teratas selama 9 tahun berturut-turut. Kemudian oleh Arab Saudi, UEA, dan Indonesia.
Pendatang baru yang masuk ke 15 besar adalah Inggris dan Kazakhstan. Sedangkan Turki dan Singapura naik dari posisi 7 dan 8 untuk mencapai posisi 5 dan 7.
Nigeria dan Sri Lanka telah turun keluar dari 15 besar. Setelah delapan tahun, Indikator melihat yang pertama memperbarui metodologinya, menambahkan pemberdayaan teknologi dengan campuran kriteria dan menyesuaikan bobot untuk mencerminkan lebih berat pada industri halal dibandingkan dengan keuangan Islam. Ini telah menjadi salah satu alasan terkait dengan beberapa perubahan dalam peringkat negara-negara tersebut.
Secara ringkas, global islamic economy index, pada masing-masing negara yang masuk 15 besar itu adalah sebagaimana di tampilkan dalam tabel berikut :
Akan tetapi dari data yang ada, didapatkan bahwa, tidak semua industri halal tersebut di produksi dari negara-negara Islam yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Negara-negara anggota OKI sebagian besar bergantung pada impor, dengan defisit perdagangan sebesae US$53,5 miliar untuk produk halal dimana sumber impornya terutama berasal dari negara-negara anggota non-OKI. sepuluh eksportir teratas ke negara OKI membuat sekitar 52% dari total ekspor. Dari jumlah tersebut, hanya dua negara yang berasal dari OKI—Turki dan Indonesia—yang mencakup 7% dari total ekspor. Sedanhkan China, India, USA, Brazil dan Russia merupakan 5 negara terbesar eksportir ke negara-negara anggota OKI. Hal ini dapat dilihat dari grafik berikut ini :
Potensi Industri Halal Indonesia
Sementara, laporan yang dikeluarkan oleh Dinar Standar dan Indonesian Halal Lifestyle Center yang bertajuk INDONESIA HALAL MARKETS REPORT 2021/2022, menyebutkan bahwa Menyongsong Indonesia Maju 2045, ekonomi dan keuangan syariah (di sini disebut sebagai ‘ekonomi halal’) telah diidentifikasi sebagai kontributor utama mengingat peluang global yang luas untuk $1,9 triliun (perkiraan 2020) dan peluang domestik sebesar $184 miliar di pasar belanja konsumen terkait yang belum sepenuhnya tergali.
Secara keseluruhan, laporan ini memperkirakan peluang ekonomi halal Indonesia untuk lebih meningkatkan PDB-nya sebesar $5,1 miliar per tahun melalui peningkatan ekspor dan FDI dan peluang substitusi impor.
Indonesia adalah rumah bagi pasar ekonomi halal domestik terbesar di dunia, didorong oleh pasar global terbesar dengan Populasi Muslim 229,6 juta pada tahun 2020. Pengeluaran domestik populasi ini di seluruh produk dan layanan ekonomi halal mencapai $184 miliar pada tahun 2020 dan diproyeksikan meningkat sebesar 14,96% CAGR untuk mencapai $281,6 miliar pada tahun 2025.
Pangsa ekonomi Syariah dalam perekonomian nasional telah meningkat selama terakhir 5 tahun berturut-turut. Ekonomi Syariah tetap tidak terpengaruh oleh dampak pandemi COVID-19 dibandingkan perekonomian nasional, dengan kontraksi sebesar -1,70% (YoY) dibandingkan dengan -2,07% (YoY) untuk perekonomian nasional (Sumber: Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah 2020, Bank Indonesia).
Bisa disandingkan dengan laporan terbaru di atas, maka ukuran, struktur, dan preferensi berbasis nilai umat Islam Indonesia telah memunculkan juara lokal berskala yang telah menghasilkan setidaknya $500 juta pendapatan setiap tahun di seluruh industri makanan, farmasi dan kosmetik. Ini termasuk Indofood, Mayora, GarudaFood, dan Kimia Farma, serta menarik perusahaan multinasional terkemuka dalam mendirikan usaha lokal, termasuk Unilever dan L’Oreal.
Perdagangan yang terkait dengan ekonomi halal, senilai dengan $200 miliar produk halal (membutuhkan beberapa tingkat kepatuhan) yang diimpor di seluruh OKI pada tahun 2020. Indonesia adalah salah satu pemasok global teratas untuk produk halal dan produk terkait (makanan, fashion, farmasi dan kosmetik) ke negara-negara OKI pada tahun 2020 dan dapat menangkap proporsi yang jauh lebih besar dari peluang perdagangan ini.
Indonesia merupakan eksportir terbesar kesembilan ke OKI, mengekspor $8,6 miliar produk halal (termasuk yang halal secara alami seperti sayuran), jauh lebih sedikit daripada eksportir terkemuka, China, yang mengekspor lebih dari $25 miliar pada tahun 2020, tetapi lebih besar dari ekspor Malaysia. Industri makanan Indonesia tidak memiliki perwakilan di Daftar Perusahaan Global 2000; tetapi juara lokalnya memiliki potensi untuk memperluas jangkauan global.
Tahun 2019, Indonesia menjadi negara OKI dengan peringkat tertinggi di dalam hal FDI, 81% lebih tinggi dari UEA (dengan $13,8 miliar) dan 175% lebih tinggi dari Malaysia (dengan $9,1 miliar). Indonesia menerima 43% dari investasi global dalam ekonomi halal. Ini setara dengan $5,01 miliar dari total $11,78 miliar. Dengan menangkap 10% lebih lanjut dari investasi ekonomi halal, Indonesia dapat meningkatkan PDB sebesar $0,5 miliar.
Sehingga potensi dari halal industri di Indonesia dapat meningkatkan ekspor ekonomi halal sebesar $3,6 miliar per tahun ke pasar OKI dan non-OKI dengan populasi Muslim yang cukup besar melalui fokus pada produksi produk makanan olahan, terutama produk berbasis daging, pakan ternak, dan pakaian wanita, serta obat-obatan dan kosmetik.
Masih dari laporan yang sama, potensi beberapa sektor halal industri di Indonesia, secara secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berkut :
Untuk pangan halal pada tahun 2020 bernilai $135.00 miliar dan akan meningkat pertumbuhannya 14,64% setiap tahun hingga tahun 2025. Untuk fashion senilai $15,60 meningkat 8,34 pertahun, farmasi senilai $5,15 miliar meningkat 5,83% pertahun, kosmetik $4,19 miliar meningkat pertahun 12,62%, media $20,75 miliar meningkat 8,95% pertahun, pariwisata $ 3,37 miliar meningkat pertahun 18,96. Sedangkan aset keuangan syariah $119 miliar meningkat pertahun sebesar 20,5%
Strategi ke depan
Dalam laporan itu, juga disarankan jalur strategis ke depan (the strategic path forwad) adalah perlu kerjasama yang lebih erat antara lembaga sertifikasi halal, produsen, akademisi, peneliti, dan pemerintah untuk memenuhi permintaan konsumen secara efisien dan membuat peraturan yang akan menarik investasi dan memposisikan Indonesia sebagai pemimpin ekonomi halal dan industri halal dunia. Dengan terbatasnya pemain pasar berskala yang dapat berpartisipasi secara global, dengan kesenjangan yang mencolok dalam ruang R&D dan pembuatan bahan-bahan yang sesuai dengan halal.
Sementara itu beberapa prioritas strategis utama yang tercakup dalam laporan ini meliputi:
- Menjadi eksportir halal teratas dengan membidik negara-negara OKI dan non-OKI bernilai tinggi dengan Populasi Muslim dan segmen produk halal yang diprioritaskan.
- Memfasilitasi promosi perdagangan dan eksposur internasional untuk perusahaan lokal sambil juga membantu mereka memanfaatkan intelijen pasar.
- Menerapkan undang-undang yang diperlukan untuk memfasilitasi ekspor, menarik investasi ke sektor halal dan mengembangkan hub industri halal.
- Meningkatkan daya saing produksi melalui adopsi teknologi tinggi untuk produksi dan pengadaan bahan baku yang lebih murah dengan kualitas yang lebih tinggi.
- Merampingkan peraturan keuangan Islam untuk memungkinkan konvergensi yang efektif dengan perkembangan ekonomi halal
Terkait dengan sertifikasi misalnya, Selasa 13 Maret 2022 lalu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah melakukan akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal, yang berfungsi sebagai auditor halal. Dari 9 LPH yang disetujui proses akreditasinya oleh Tim Akreditasi LPH, baru 8 LPH yang memenuhi syarat integrasi sistem LPH dengan BPJPH, sehingga pada saat ini baru 8 (delapan) LPH yang dapat diterbitkan sertifikat akreditasinya. Sehingga totalnya kini ada 11 LPH termasuk LPH Hidayatullah.
Sementara itu, Kementerian Agama juga telah melakukan akselerasi pembentukan LPH di 58 PTKIN. Upaya percepatan ini antara lain dilakukan dengan menjalin nota kesepahaman atau MoU. Hasilnya, saat ini sudah ada 284 calon auditor halal berasal dari 41 PTKIN.
Dengan demikian maka, melihat besarnya potensi industri halal di dunia dan Indonesia saat ini dan kedepan, maka sudah selayaknya menjadikan prioritas bersama di semua pihak. Sehingga selain proyek sertifikasi yang saat ini demikian masif dan marak, juga diarahkan untuk menciptakan start-up dan pengusaha yang bergerak di sektor halal ini, baik dalam sekala lokal maupun global.
Jika hal ini bisa dilakukan dengan sinergi berbagai pihak sebagaimana rekomendasi laporan tersebut di atas, maka kesempatan Indonesia menjadi pusat halal dan industri halal dunia menjadi kenyataan. Dengan catatan pemerintahan juga menerapkan kebijakan dan regulasi yang kondusif untuk menciptakan ekosistem halal ini. Disamping itu juga menegakkan law enforcement, serta melaksanakan good governance dan tidak korup.*