Oleh: Ilham Kadir
RANGKAIAN ibadah haji adalah rangkaian ibadah yang paling lengkap dari semua ibadah dalam Islam. Rukun-rukun Islam mulai dari mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian salat, lalu zakat dan puasa adalah tangga-tangga yang mengantarkan pada kesempurnaan ekspresi ketaatan yang dikandung oleh ibadah haji.
Jika dua kalimat syahadat adalah ibadah hati yang diucapkan lisan, maka salat melanjutkannya dengan ibadah tubuh yang lebih lengkap, tidak hanya hati dan lisan, tetapi seluruh tubuh bergerak menerjemahkan ketaatan sang manusia.
Jika salat telah lengkap mengikutsertakan tubuh dalam ketaatan, maka zakat melengkapi ketaatan tubuh dengan mengikutsertakan harta dalam mewujudkan ketaatan. Ketika seorang Muslim sudah lengkap berbuat dengan seluruh jiwa dan hartanya, maka sisi lain dari kehidupan manusia dilengkapi dengan ibadah puasa yang mengharuskan manusia menahan diri dari beberapa hal yang disukai hawa nafsu, sehingga seorang Muslim dengan puasa melengkapi ketaatannya tidak hanya dalam “berbuat” sesuatu tetapi juga dalam “meninggalkan” sesuatu.
Seorang Muslim tidak hanya wajib taat dalam berbuat tetapi juga wajib taat dalam menahan.
Ibadah haji merangkai semua jenis ibadah tesebut dalam rangkaian yang sempurna. Dimulai dari deklarasi ihram yang wajib diucapkan secara lisan, seorang haji harus menahan diri dari berbagai larangan tertentu selama masih berihram. Kemudian dilanjutkan dengan thawaf dan sa’i yang melibatkan seluruh tubuh. Dilengkapi dengan wukuf di Arafah dan lempar jumrah, prosesi diakhiri dengan menyembelih hewan kurban yang merupakan ibadah harta. Bahkan ibadah haji adalah ibadah yang paling menyita energi dan menelan biaya. Seluruh kemampuan yang diperlukan dalam ibadah-ibadah sebelumnya tercurah pada ibadah haji, sehingga pantas dikatakan bahwa ibadah haji adalah puncak ketaatan.
Bahkan, yang menunaikan haji digelari duta Allah atau wafdullah, apa yang mereka mohonkan seantiasa diperhatikan, kemungkinan besar akan dikabulkan oleh Allah, dan apa yang mereka keluarkan dari sebagian materi, Allah tidak akan menyia-nyiakan, tapi diganti dengan dengan berlipat ganda.
Suatu ketika, Nabi ditanya amal apa yang paling utama, ia lalu menjawab, Iman kepada Allah dan utusan-Nya, lantas, kemudian apa? Nabi menjawab, Jihad di jalan Allah, dikatakan lagi, kemudia apa? Nabi menjawab, Haji Mabrur. Dan, imbalan bagi haji mabrur adalah surga.
Balasan ini sangatlah wajar, menginggat proses menuju haji mabrur itu sangat sulit dan rumit. Di samping mempersiapkan diri lahir dan batin, ilmu dan hartanya harus bersih dari barang-barang haram, serta syubhat. Sebab, ini akan menjadi salah satu penyebab utama kemabruran haji seseorang.
Haji seseorang belumlah terasa afdal kalau belum mengunjungi kota Nabi (Madinah), walaupun tidak masuk syarat dan rukun sahnya ibadah haji. Karena Makkah dan Madinah adalah dua kota sakral umat Islam (al-Haramain). Di Madinah terdapat kuburan Nabi Muhammad, yang berjanji kepada para pengikutnya akan memberikan pertolongan syafaaat kepada semua umatnya. Khusus bagi penziarah, Nabi berjanji kepada mereka;
مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
”Barangsiapa berziarah ke-kuburanku, maka ia akan mendapatkan syafaatku.’’ (HR Daruqutni).
Dalam kontek ke-Indonesiaan, banyak sekali orang yang berangkat ke Makkah, baik haji atau umrah dengan menggunakan harta yang kotor, seperti mencuri, menipu, hingga KKN. Sering kita temukan, orang pulang haji atau umrah disambut oleh Polisi, dan beristirahat di Hotel Prodeo.
Seorang kerabat berbisik ke saya, katanya, dia sudah melunasi seluruh ongkos naik hajinya, termasuk memenuhi seluruh persyaratan. Namanya pun sudah muncul sebagai calon jamaah haji. Lalu mengadakan syukuran. Namun, tiba-tiba namanya hilang, dan batal berangkat. Konon ia digantikan dengan orang lain karena penyelenggara setempat kena sogok. Inilah dimaksud oleh Sunan Bonang ‘Janganlah kalian berwudhu dengan air kencing’. Artinya, jangan sampai menunaikan ibadah haji dengan harta yang haram, atau cara-cara kotor yang menodai kesucian ibadah. Haji semacam ini hanyalah panggilan dari iblis yang kian hari kian marak.
Haji Sosial
Karena segenap ibadah mahdah (inti) dalam Islam bertujuan pada satu muara, yaitu takwa, sedang salah satu unsur takwa yang paling pokok adalah kesalehan sosial. Maka ibadah haji harus melahirkan manusia-manusia yang berjiwa sosial. Karena itulah, haji hanya diwajibkan cuma sekali seumur hidup, dan kalau ternyata dikemudian hari masih mampu berhaji tuk sekian kalinya, sebaiknya cukup mendelegasikan niatnya pada orang yang belum berhaji, agar mendapat dua kemulian. Menunjuki orang ke jalan yang benar dan bersedekah untuk orang lain. Atau dananya dipakai untuk menyantuni mereka yang sekadar makan saja susah. Inilah disebut haji sosial.
Dalam sebuah kisah masyhur, seorang ahli ibadah bernama Muwafaq, karena hendak menunaikan haji padahal keadaan hidupnya hanya pas-pasan, maka ia pun menabung uang bertahun-tahun untuk bekalnya. Ketika uang sudah cukup, di saat yang sama ia melihat tetangganya yang sangat miskin dan yatim, tidak mampu membeli makanan. Karena anaknya terus merintih kelaparan, ahirnya Sang Ibu memasak daging bangkai keledai, demi memenuhi kebutuhan perut anaknya.
Melihat tetangganya seperti itu, Muwafaq merelakan uang yang akan digunakan berangkat haji untuk membantu tetangganya. Dia infakkan uangnya untuk menyelamatkan orang lain, dari pada menunaikan ibadah haji. Keikhlasan Muwafaq mampu menggetarkan Abdullah Ibn Mubarak, sampai-sampai semua jamaah haji pada tahun itu diterima Allah sebagai haji mabrur. Muwafaq memang belum menunaikan ibadah haji, tetapi ia telah mendapatkan predikat haji mabrur.
Setiap orang yang sudah berniat haji wajib, sudah menabung tapi, dia gagal berangkat dengan alasan yang syar’i (agama), seperti; ditipu, uangnya dibawa kabur dst. Berarti orang tersebut sudah dikategorikan telah menunaikan ibadah haji.
Bersabda Nabi, “Barangsiapa sudah niat keluar Rumah Allah [Baitullah] menunaikan ibadah haji, maka ia senantiasa dalam naungan-Nya. Jika ia meninggal sebelum melaksanakan nusuk (ibadah haji) di Makkah, maka pahalnya tetap sempurna di sisi-Nya.”
Karena ibadah haji memerlukan dana yang besar dan waktu tunggu begitu lama, maka tidak ada salahnya bagi kita untuk tetap berniat agar suatu saat kiranya dapat diberi rezeki untuk berkunjung ke Baitullah. Sambil mengamalkan ibadah-ibadah yang nilainya setara dengan berhaji.
Al-Imam Ibnu Rajab, salah seorang ulama terkemuka mazhab Hanbali, dalam karyanya, Latha’if al-Ma’arif menukil beberapa amalan yang pahalanya sebanding atau selevel dengan ibadah haji atau umrah. Antara amalan tersebut beliau kutip dari hadis Nabi, atsar para sahabat, dan pendapat para tabi’in.
مَن صلى الغداة في جماعة، ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس، ثم صلى ركعتين، كانت له كأجر حجة وعمرة تامة، تامة، تامة
“Barangsiapa shalat Subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir mengingat Allah hingga matahari terbit, setelah itu shalat dua rakaat, amalan itu baginya sama seperti pahala haji dan umrah. Anas berkata, Rasulullah melanjutkan sabdanya dengan penekanan, ‘Sempurna, sempurna, dan sempurna!.” (HR. Tirmidzi, no. 586).
Ritual haji ke Baitullah adalah syariat Islam yang harus dilakukan bagi yang mampu, namun tidak berarti harus melakukan segalanya, termasuk berbuat curang, atau tidak peduli kepada orang-orang di sekelilingnya yang membutuhkan uluran tangan dengan alasan menabung untuk Haji. Dan, bagi yang belum memiliki kemampuan untuk berhaji, tidak ada salahnya mengamalkan ibadah yang nilainya setara dengan ibadah haji. Wallahu A’lam!*
Penulis anggota Majelis Intelektual-Ulama Muda Indonesia (MIUMI); Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor